Indonesia merupakan negara kepulauan, dari sabang sampai merauke memiliki budaya dengan ciri khas penduduknya masing-masing. Sehingga sebagai warga negara Indonesia harus bangga karena bisa dikatakan tinggal di negara yang multikultural. Beragam budaya menjadi identitas masyarakat Indonesia. Sudah sepatutnya kita melestarikan kebudayaan Indonesia. Tentunya dari kebudayaan itu lahirlah segudang kesenian yang memerlukan tangan yang bisa mengulurkan sampai turun temurun.
Kita akan menuju pada salah satu daerah yang terletak di wilayah utara Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Indramayu. Indramayu adalah daerah yang unik. Kenapa bisa dikatakan unik? karena menurut dari situs resmi kabupaten Indramayu menyatakan bahwa secara bahasa dan suku, Indramayu termasuk Jawa, walaupun secara geografis terletak di Jawa Barat.
Apabila melihat data dari Kepmen ATR/BPN tahun 2021, Indramayu termasuk memiliki lahan sawah yang paling luas di Jawa Barat yakni kurang lebih 122.920 hektare. Maka tidak mengherankan kalau banyak kebudayaan yang berkaitan dengan persawahan antara lain upacara mapag tamba, sedekah bumi, upacara ngarot, dan masih banyak lainnya. Dari berbagai upacara yang disebutkan, upacara Ngarot memiliki daya tarik tersendiri karena kelebihannya. Oleh dari itu, upacara Ngarot sangat menarik untuk dibahas pada artikel kali ini.
Artikel ini disusun dengan menggunakan teknik studi literatur yang dilakukan melalui pengumpulan berbagai sumber. Diharapkan dengan adanya artikel ini dapat menjadi pengetahuan bagi para pembaca tentang Upacara Ngarot sehingga agar bisa menyebarluaskan informasi di berbagai media dalam rangka melestarikan kekayaan budaya.
Upacara adat ngarot merupakan pesta kasinoman dalam rangka menyambut datangnya hujan sebagai pertanda akan dimulainya menggarap sawah. Tradisi Ngarot dapat bertahan dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Upacara ngarot diselenggarakan di bulan-bulan musim penghujan, antara November-Desember (Tresnasih, 2016).
Tujuan dari upacara ngarot di Desa Lelea diselenggarakan adalah untuk mempersatukan pemuda di Desa Lelea, mempererat rasa saling gotong royong, dan memacu rasa kemandirian pemuda di Desa Lelea. Adapun satu petuah yang mengandung nasihat dimana anak muda di Desa Lelea dapat mengisi masa mudanya dengan bekerja keras, serta berpedoman pada ajaran agama agar kehidupannya senantiasa selamat dunia dan akhirat.
Awalnya upacara ngarot di selenggarakan di balai adat, tetapi kemudian disaat pergantian kuwu desa di pindahkanlah ke balai desa. Acara di balai desa meliputi pembukaan, pituah kolot Desa Lelea, mengungkap sejarah ngarot, amanat kuwu, penyerahan sarana tani dari kuwu serta pamong desa kepada perwakilan bujang-cuene, dan peresmian acara dengan memukul bende. Usai peresmian, ketiga grup kesenian yakni tari topeng, ronggeng ketuk, dan jidur akan tampil secara bersamaan di masing-masing tempat yang telah disediakan. Tari topeng menghibur para cuene, sedangkan tari ronggeng ketuk menghibur para bujang.
Wujud fisik kebudayaan ngarot dapat kita lihat dari penentuan pakaian peserta biasanya dilakukan musyawarah terlebih dahulu, guna memutuskan warna sampai corak pakaiannya. Sementara itu, pakaian para kasinoman memakai busana khusus, bagi perempuan memakai penutup kepala dari berbagai bunga, di antaranya adalah bunga cempaka. Berbeda lagi dengan laki–laki hanya menggunakan pakaian dengan dominan warna hitam.
Keunikan dari upacara ngarot ini pun mengundang antusiasme masyarakat. Sebab biasanya upacara diikuti oleh orang tua, akan tetapi upacara Ngarot ini digemari para pemuda. Namun tetap pelaksanaan rangkaian upacaranya melibatkan tokoh desa, istri perangkat desa, perwakilan lembaga desa dan seniman. Keunikan selanjutnya terdapat pada syarat bagi kelompok muda-mudi yaitu harus belum menikah.
Budaya lokal tercermin dari nilai dan norma yang terkandung dalam upacara tersebut. Dijelaskan dalam artikel yang ditulis oleh Riyanti (2018) bahwa norma sosial dapat dilihat dari tujuan upacara Ngarot, yaitu
Pertama, sebagai wadah mempersatukan bujangan, menanamkan rasa gotong royong antara bujangan dan ratu, melatih mereka agar lebih mandiri atau berjuang. Tidak tertinggal ajaran agama dan menanamkan kecintaan pada pertanian. Semua cita-cita tersebut sebenarnya adalah standar yang dianut oleh nenek moyang Lelea dan diwariskan kepada anak-anak muda Lelea.
Kedua, pada upacara Ngarot terdapat kuwu, papa kuwu biangi yang posisinya berada di paling depan dalam arak-arakan. Posisi tersebut menunjukan bahwa pemimpin itu sebagai suri teladan untuk anggotanya.
Ketiga, bunga kenanga yang segar dan bunga melati yang berwarna putih dalam Upacara Ngarot. Hal ini menunjukkan agama mengajarkan bahwa kesucian atau keperawanan seorang perempuan harus terus dijaga.
Keempat, sesi pemberian alat pertanian pada generasi muda ketika upacara Ngarot. Kegiatan ini mengajarkan bahwa bujang cuene agar bisa memberdayakan potensi masyarakat sebagai wujud pengabdian untuk desanya.
Penelitian upacara Ngarot pernah dilakukan oleh Nafiatul Hikmah di tahun 2018. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengetahui pentingnya kearifan lokal dalam budaya ngarot di Desa Lelea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif upacara Ngarot pada bidang sosial budaya ialah warga Desa Lelea bisa berkomunikasi satu sama lain dengan baik, kebersamaan, gotong royong dan saling menjaga rasa hormat. Kemudian di bidang agama berdampak bagi masyarakat yang dapat mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Selain itu menurut (Nisfiyanti, 2011) dalam upacara ngarot ini memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang tentunya dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari seperti gotong royong, dan kebersamaan.
Selanjutnya, keunikan upacara Ngarot dalam pantangannya. Pantangan yang pertama, ketika pelaksanaanya antara lain, upacaranya harus dilaksanakan pada hari rabu. Jadi selain hari Rabu dilarang melakukan upacara karena hari rabu merupakan waktu kedatangan Prabu Lelea ke daerah yang sekarang disebut dengan Lelea. Pantangan kedua, pasangan yang sudah menikah tidak dibolehkan untuk menjadi peserta upacara.
Pantangan tersebut berkaitan dengan mitos upacara Ngarot yang juga menjadi keistimewaan bagi masyarakat Indramayu. Mitos pertama adalah jika seorang yang tidak suci mengikuti tradisi Ngarot maka bunga yang ada di atas kepalanya akan layu. Tidak suci yang dimaksud yaitu remaja yang sudah melakukan pergaulan bebas. Mitos ini berdampak baik karena bisa memupuk rasa malu dan takut sehingga dapat menumbuhkan sikap para muda-mudi yang menghindari perilaku dilarang dan menyimpang norma. Mitos kedua, upacara Ngarot dijuluki sebagai ajang pencari jodoh karena saat upacara berlangsung biasanya para orang tua akan membujuk anaknya agar mencari pasangan hidup. Konon diyakini bahwa apabila pemuda berhasil menemukan pasangannya maka hubungannya akan langgeng hingga dipisahkan oleh maut.
Dampak baik dari keunikan budaya lokal dalam upacara Ngarot semestinya dipertahankan pada era globalisasi. Apalagi peserta dari upacara Ngarot adalah para pemuda. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa bisa dimanfaatkan sebagai penyambung budaya lokal agar tidak hilang tergerus zaman. Potensi pemuda masa kini yang cerdas berteknologi menjadi peluang agar budaya lokal seperti upacara Ngarot bisa dilestarikan di era digital. Mereka dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang upacara Ngarot secara mudah dan meluas pada masyarakat luas. Informasi tersebut bisa berupa foto, video, tulisan, dan banyak lainnya. Setidaknya dengan hal itu, masyarakat luar daerah Indramayu akan mengetahui tentang tradisi ini. Berhubung upacara Ngarot hanya ada di Desa Lelea saja, pemuda bisa mengadangan live streaming agar semua orang dapat mengakses tanpa harus pergi ke tempat tersebut. Tindakan itu dirasa dapat menarik perhatian wisatawan bagi yang penasaran agar bisa berkunjung ke daerah Indramayu untuk melihat langsung pelaksanaan upacara Ngarot.
Faktanya, dari hasil studi literatur ternyata sudah ada beberapa yang menggunakan Upacara Ngarot sebagai sumber belajar bagi peserta didik. Hal ini merupakan upaya melestarikan dengan cara menanamkan nilai yang terkandung di upacara Ngarot kepada peserta didik. Walaupun tidak merasakan secara langsung, namun dengan kegiatan mengamati atau menganalisis membuat mereka paham makna dibalik upacara Ngarot.
Contoh pertama, terdapat pembelajaran sosiologi dengan menerapkan nilai kearifan lokal upacara Ngarot yang dilakukan oleh Ayu Riyanti. Menurutnya, lembaga pendidikan mempunyai peran penting dalam mengimplementasikan pendidikan berbasis kearifan lokal . Misalnya, upacara Ngarot mengajarkan belajar bercocok tanam untuk remaja, pembelajaran ini sangat cocok di zaman modernisasi sebab remaja sudah mulai tertarik bekerja dalam industri dibandingkan bekerja petani.
Contoh kedua, terdapat pembelajaran sains konsep plantae dengan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dari upacara Ngarot yang dilakukan oleh Fatihatul Qolbi dan kawan-kawan. Menurut mereka, siswa dapat mengkritisi alasan petani mengadakan proses penyiangan dan menaruh gulma ke area persawahan pada upacara Ngarot dan menganalisis jenis tumbuhan yang bisa menghambat pertumbuhan padi melalui konsep pembelajaran ini.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, tim penulis menghimbau kepada para pembaca sebagai sesama warga negara Indonesia sepatutnya membudidayakan tradisi lokal seperti upacara Ngarot. Terlebih budaya ini berdampak baik pada masyarakat khususnya kalangan muda. Oleh karena itu, melalui tulisan ini diharapkan memberikan manfaat dapat menambah pengetahuan kepada pembaca. Kita sebagai sesama warga negara Indonesia harus bisa melestarikan adat istiadat yang ada di indonesia, dan juga harus memiliki jiwa toleransi yang tinggi dalam melihat kebudayaan Indonesia yang beragam ini.
Penulis:
Echa Putri Sutrisno, Qori Aulia, dan Rienzani Callista.
Sumber Referensi
Hady, Sholihul (2015). Tradisi Ngarot Sebagai Kontrol Pergaulan Remaja Di Desa Lelea Indramayu.
Nisfiyanti, Yanti. “Kajian Nilai Budaya dalam Upacara Mapag Sri di Desa Lelea” dalam Jurnal Patanjala Vol. 3 No. 3 September 2011. Hlm. 442-455
Samian. 1992. Sambutan Kepala Desa Lelea pada Upacara Adat Ngarot Tanggal 25 November 1992. Indramayu.
Tresnasih, Ria Intani & Lasmiyati. 2015. Upacara Ngarot. Pencatatan Warisan Budaya Takbenda (WBTB). Disbudpar Provinsi Jawa Barat
Yasin, M. F., Priyanto, A. S., & Setiajid, S. (2017). Interaksi Simbolik dalam Budaya Ngarot Masyarakat Desa Jambak Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu. Unnes Political Science Journal, 1(1), 48-56.
Yunus Winoto, M., Wahyu Sahliani, J., & Khaerul Anwar, R. (2021). Nilai-Nilai Luhur Pada Tradisi Upacara Ngarot Di Desa Lelea Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat Menggali Nilai-Nilai Luhur Pada Tradisi Upacara Ngarot : Kajian Budaya. In Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam (Vol. 21, Issue 1).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H