Mohon tunggu...
Qoriah Rahmawati Ridho
Qoriah Rahmawati Ridho Mohon Tunggu... Guru - guru

hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penanganan Kasus Keterlambatan yang Memerdekakan

13 Februari 2023   23:03 Diperbarui: 14 Februari 2023   07:34 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENANGANAN KASUS KETERLAMBATAN YANG MEMERDEKAKAN

            Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi sedikit praktik baik yang mungkin  bisa kita ambil pelajaran berharga / mungkin bisa kita mulai coba terapkan dilingkungan sekolah /kampus / institusi dimana kita sebagai pemimpin pembelajaran. Permasalahan tentang keterlambatan adalah sebuah masalah umum yang pasti sering  terjadi diseluruh sekolah/ kampus/ sebuah institusi. Namun sering kali penanganan yang dilakukan belum bisa mengatasi permasalahan keterlambatan tersebut  sehingga hasil dari penanganannya jauh dari harapan. Hal tersebut  menggerakan hati saya untuk menulis di artikel ini sedikit berbagi tips yang mungkin bermanfaat.

            Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang solusi dari kasus keterlambatan murid sebaiknya kita lihat terlebih dahulu tentang penyebab keterlambatan tersebut  mengapa sering terjadi. Murid terlambat masuk kelas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu terlambat karena sengaja, tidak dapat bangun pagi karena malam begadang main game dan tidak terkontrol oleh orang tuanya,  terlalu lama menunggu angkutan, berangkat sekolah dengan waktu yang mepet, saling menunggu teman/ menjemput teman, ban motor pecah,  jarak dari rumah ke sekolah yang terlalu jauh, faktor ekonomi keluarga misalnya anak kesiangan karena harus bekerja malam hari membantu orang tua mencari nafkah, anak terlambat bangun pagi karena ia suka tidur malam melewati jam tidurnya, terlalu  lama ketika sarapan pagi atau mandi sebelum ke sekolah, atau mungkin anak memiliki masalah di sekolah yang menjadikannya enggan masuk sekolah hingga harus dipaksa oleh orang tuanya sehingga ia sering terlambat tiba di sekolah. Dan tentu masih banyak lagi faktor – faktor penyebab permasalahan keterlambatan.

Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada individu untuk belajar dan berpikir secara kritis, sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan merdeka.

            Sebagai makhluk sosial tentulah kita memiliki kebutuhan. Menurut teori kebutuhan Maslow terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Nah apabila salah satu dari kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka kadang kita mengalami penyimpangan perilaku . Kalau untuk murid , maka mereka akan memenuhi kebutuhannya tersebut dengan melakukan hal- hal yang menurut kita sering kita anggap sebagai penyimpangan “ bandel” termasuk  diantaranya kasus pelanggaran / terlambat kesekolah.

            Selain faktor penyebab keterlambatan dan teori kebutuhan  manusia di atas ada hal yang berkaitan dengan keterlambatan / kasus pelanggaran yang dilakukan murid disekolah yang perlu kita perhatikan juga. Yaitu sekolah sebagai sebuah ekosistem pendidikan. School Well-Being dapat diartikan sebagai sekolah yang seluruh muridnya mempunyai rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental, kualitas hidup yang baik, agar mampu menyelesaikan tantangan, mencapai kebahagiaan, dan kepuasan dalam kehidupan. Jadi sekolah yang baik adalah sekolah yang menjadi taman bermain dan belajar, tempat yang dirindukan oleh para muridnya seperti filosofi KHD membentuk sekolah  sebagai Taman Siswa. Apabila hal ini terwujud maka salah satu faktor penyebab murid datang kesekolah yang salah satu faktor murid enggan masuk kesekolah karena memiliki masalah disekolah jelas tidak mungkin terjadi lagi.

Dalam mengatasi keterlambatan murid sering kita jumpai pola lama  yaitu penanganan kasus keterlambatan yang masih menganut azaz hukuman. Menurut model penanganan tersebut adalah hal yang wajar bagi pelaku pelanggaran untuk menerima hukuman sebagai efek jera. Artinya model penghukuman seperti disuruh hormat tiang bendera, berdiri dilapangan, memotong celana murid  , menggunting rambut secara asal, mengambil barang bawaan murid untuk disita seperti bedak,lipstik, pod , dan lain – lain yang dianggap melanggar aturan masih di pandang efektif dan perlu dilakukan bagi beberapa sekolah yang masih belum melakukan perubahan / transformasi ke arah yang lebih baik. Sebagian sekolah yang masih menerapkan aturan pola lama tersebut kalau saya amati karena para pemangku kepentingan  masih meragukan model penanganan kasus murid bermasalah dengan berpusat pada murid itu. Mereka berpandangan kalau penanganan tanpa hukuman itu mustahil membuahkan hasill / berhasil. Paradigma itu mereka yakini dan seolah menjadi kesepakatan bersama sehingga semua elemen sekolah membenarkan tindakan tersebut dan terus melakukannnya. Sementara kalau kita lihat dan cermati sekolah yang masih menerapkan hal tersebut karena para pihak yang langsung terlibat dalam penanganan kasus adalah mereka yang belum mengerti seutuhnya tentang pendidikan yang memerdekan / berpusat pada murid. Mereka belum mengetahui secara utuh yang dimaksud dalam amanah pendidikan nasional kita bahwa tugas utama sebagai guru adalah mendidik dan menuntun. Apa yang akan terjadi pada murid kita kedepan apabila guru yang seharusnya menjadi panutan dan “sosok idola” bagi mereka malah mencontohkan hal- hal yang kurang baik bagi muridnya. Kita mungkin mengetahui tentang trapesium usia,dimana pengalaman yang paling berkesan baik itu pengalaman paling menyenangkan / menyedihkan akan terus terkenang sepanjang hayat. Maka sudah seyogyanya kita sebagai guru harusnya menorehkan kenangan yang baik – baik saja kepada murid kita, agar mereka bisa mengenang sekaligus mencontoh kita , kebaikan kita tentunya jangan sampai sebaliknya. Menghukum murid, melabeli murid, adalah tindakan sia – sia  yang justru tidak memecahkan masalah namun malah memperburuk keadaaan.

Di beberapa sekolah yang masih  menerapkan penghukuman bagi murid yang melakukan pelanggaran disiplin / terlambat akan mengalami dua hal yang mungkin bisa terjadi. Yang pertama mereka akan berhasil “mengatasi keterlambatan / kasus pelanggaran muridnya” tersebut.  Namun sebenarnya hal ini  sifatnya temporary. Murid  menuruti perintah gurunya dengan keterpaksaan, dengan rasa sakit hati karena merasa diambil haknya namun murid tidak bisa menolak karena takut tidak diluluskan / akan ada masalah dengan nilai mereka. Intinya penyelesaian masalah namun menyimpan konflik atau mungkin rasa dendam karena guru bersfifat sebagai penghukum itu tidak akan lama bertahan. Ada kalanya penyelesaian kasus dengan cara menghukum malah memperburuk kondisi, murid semakin banyak yang melanggar / terlambat , semakin cuek dengan teguran gurunya karena mereka lebih memilih dipotong celananya /  memilih disuruh hormat tiang bendera dan lain – lain  dan hal tersebut akan mereka jadikan pilihan namun mereka akan terus saja melanggar. Intinya murid akan berprinsip lebih baik melanggar saja toh nanti dihukumnya seperti itu dan mereka memilih dihukum saja ,  tidak tergerak untuk berubah baik. Hal ini dimungkinkan karena murid sudah tidak percaya dengan aturan sekolah tersebut, murid sakit hati karena dilanggar haknya,dan murid merasa sudah tidak dihargai lagi.

Yang saya jelaskan diatas adalah gambaran yang terjadi ketika sekolah sudah tidak menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran. Lalu kira- kira apa yang bisa kita lakukan agar hal seperti itu tidak terjadi bagaimana penyelesaian kasus pelanggaran / keterlambatan murid bisa mendapat solusi ?

 Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan diantaranya adalah :

Sepakati dulu bahwa untuk dapat menciptakan sebuah sekolah yang well being seperti yang sudah saya jelaskan diatas adalah sekolah yang mampu menempatkan  kepentingan murid di atas segalanya / sekolah berpusat pada murid.

Seluruh elemen sekolah memahami , menyepakati transformsi yang diharapakan  kurikulum merdeka dan menjalankannya secara utuh. Contohnya untuk kasus penanganan keterlambatan murid maka tidak lagi menggunakan pola hukuman namun harus melakukan penanganan dengan restitusi serta mengikuti tahapan dalam restitusi dalam menangani kasus murid tersebut. Sehingga kekhawatiran akan ketidak berhasilan penanganan dengan metode restitusi yang digalakan pemerintah itu tidak ada lagi. Sebenarnya kekhawatiran para pemangku kepentingan tersebut berawal dari

Ketidakpahaman mereka tentang restitusi dalam menangani kasus/ permasalahan murid. Mereka belum melakukan secara utuh apa yang dimaksud pola penanganan kasus dengan metode restitusi namun langsung mengambil kesimpulan itu tidak mungkin bisa  berhasil, sehingga menghukum dianggap sebagai solusi terbaik  mengatasi kasus / pelanggaran disiplin murid salah satunya keterlambatan. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang. Pada intinya dengan restitusi murid akan bisa tergerak berbuat baik karena sudah yakin dengan apa yang akan mereka lakukan kedepan itu hal yang baik dan bermanfaat bagi dirinya. Tidak ada paksaan, reward / purnishmen namun tergerak karena sudah yakin, sudah memiliki kesepakatan kelas yang terbangun sendiri dengan tuntunan dari guru – gurunya tentunya.

Pastikan sudah ada solusi terhadap kebutuhan murid yang belum terpenuhi yang mungkin menjadi faktor penyebab keterlambatan tersebut dengan melakukan coaching kepada murid tersebut. Coaching adalah suatu metode untuk menuntun murid mencari sendiri solusi terhadap permasalahan yang dihadapi . Murid sudah bisa mencari solusi  sendiri terhadap masalah yang dihadapi tugas kita sebagai guru hanya menuntunnya bukan menggurui. Pergunakan prinsip kemitraan pada saat melakukan coaching kepada murid yang bermasalah tersebut .Jadikan solusi hasil coaching tersebut menjadi sebuah kesepakatan yang akan dia lakukan ke depan agar tidak melanggarkesepakatan / keyakinan mereka sehingga tidak terlambat lagi

Kebijakan yang bisa diambil oleh sekolah adalah mengadakan tindakan disiplin dengan membentuk kenyakinan kelas untuk memperbaiki sistem maupun aturan ketika jam pelajaran telah dimulai. Kebijakan tersebut dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pihak yang terkait, mulai dari siswa, Guru pelajaran jam pertama, guru BK, wali kelas, kesiswaan , satpam dan seluruh elemen yang ada pada ekosistem sekolah.

Secara teknis penanganan kasus permasalahan murid yang salah satunya adalah masalah keterlambatan  adalah bisa dilakukan sebagai berikut:

Dalam penanganan kasus pelanggaran kesepakatan kelas / keterlambatan dimulai dari tingkatan paling bawah yaitu lingkungan  kelas. Bersama para walikelas managemen sekolah dan murid menetapkan terlebih dahulu tentang kesepakatan kelas khususnya yang menyangkut keterlambatan berikut kesepakatan apabila ternyata terjadi pelanggaran kesepakatan tersebut. Kesepakatan kelas tersebut dijadikan keyakinan kelas yang harus dijalankan bersama. Berikan kesempatan kepada murid sebagai pemimpin pembelajaran menentukan sendiri keyakinan kelasnya. Guru dan seluruh pemangku kepentingan hanya sebagai fasilitator/ menuntun saja. Setelah kesepakatan kelas tercapai maka tandatangani bersama dan berikan tembusan kepada wali murid tentang kesepakatan yang dijadikan keyakinan kelas tersebut misalnya lewat informasi walikelas. Sehingga kedepan apabila ada yang melanggar keyakinan tersebut murid tidak akan merasa terzolimi karena telah mengerti dan menyepakati segala kosekuensinya. Berbeda dengan peraturan. Kalau peraturan maka seolah murid dipaksa tunduk mengikuti bukan menyakini seperti halnya kenyakinan kelas. 

Apabila ternyata ada pelanggaran keyakinan kelas tersebut maka teknisnya adalah murid tersebut tidak dihukum namun didata dan langsung ditangani oleh guru piket dan data yang diperoleh dari guru piket tersebut disambut secara kolaborasi oleh walikelas. Setiap hari walikelas akan merestitusi secara langsung apabila ada murid yang terlambat. Walikelas akan menggali informasi dari murid yang terlambat tersebut menanyakan apa penyebab keterlambatan, kebutuhan dasar apa yang belum terpenuhi mencari solusinya dengan teknik coaching seperti yang sudah disebutkan di atas. Solusi yang diperoleh dari hasil coaching dijadikan kesepakatan untuk dijalani. Tugas Bk membantu walikelas melakukan tugas tersebut manakala ada walikelas yang berhalangan dihari dimana mungkin ada muridnya yang mengalami terlambat. Juga lewat bimbingan BK murid lebih bisa maksimal tercoaching dalam permasalahannya tidak hanya masalah pelanggaran kesepakatan kelas namun masalah akademis misalnya coaching tentang pemiihan jurusan dan lain –lain. Tugas kesiswaan atau pembina OSIS bukan malah menjadi aktor utama yang di”takuti” murid bukan malah menjadi pelaku utama pemotongan celana, penghukum dan lain –lain. Sebagai pemimpin pembelajaran harus lebih kreatif mencipta ide / gagasan membantu kepala sekolah bagaimana bentuk pelanggaran keyakinan kelas ini bisa ada solusi yang memerdekakan murid. Sebagai pemimpin pembelajaran harusnya mampu mempimpin berdiskusi dengan walikelas, guru BK  dan seluruh elemen sekolah berkolaborasi  meyakinkan  agar masalah ditiap kelas yang di hadapi sudah selesai pada hari itu juga. Murid adalah makhluk sosial dimana secara sosial emosional mereka memiliki latar belakang, kebutuhan sosial emosional yang berbeda namun  bisa kita sentuh hatinya kita ajak berdiskusi dan kita tumbuhkan keyakinannya. Murid pada dasarnya memiliki nilai kebajikan universal yang ada pada dirinya. Nilai- nilai itulah yang harus kita junjung tinggi bersama, insyalloh dengan kita hargai mereka , mereka pun pasti akan melakukan hal yang sama. Dalam penanganan kasus pelanggaran keyakinan kelas  misal keterlambatan , saya memiliki keyakinan bahwa masalah ini tidak mungkin tidak terselesaikan apabila akar dari permasalahannya sudah mendapat solusi, anak yang terlambat terpantau langsung oleh walikelas,sehingga murid merasa diperhatikan, kebutuhan mereka terpenuhi dan tidak ada lagi yang melakukan penyimpangan / melanggar kesepakatan kelas yang sudah mereka yakini.

Untuk menangani masalah pemotongan seragam dibeberapa sekolah yang masih melakukan, hal ini saya sangat tidak setuju. Selain itu melanggar ajaran agama tentang menyia-nyiakan barang /mubadzir juga melanggar hak asasi manusia.Bagaimana orang tua harus menyediakan kembali seragam bagi anaknya. Bagaimana kalau ternyata mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu ? Tentu hal ini menjadi perhatian serius dan menggerakan hati kita semua. Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang pengawas sekolah yang saya anggap senior. Saya mendapat pencerahan tentang masalah pemotongan seragam tersebut. Masalah celana / rok yang terlalu sempit ini bisa diselesaikan dengan pengumpulan seragam  para alumni untuk disumbangkan ke sekolah. Nah pada saat ada murid yang dianggap celana/ roknya sempit maka tidak perlu dipotong namun murid tersebut disuruh memilih dan menngganti rok/ celananya yang sempit dengan rok/celana sumbangan alumni. Menurut saya inil ebih baik dilakukan daripada sekolah melakukan pemotongan rok/celana murid.

Ada teori yang sedikit banyak ada persamaan maupun perbedaan dengan model penangan kasus pelanggran disiplin / keterlambatan yang saya jelaskan diatas.Yaitu penanganan kasus keterlambatan dengan menggunakan teori Behavior /tingkah laku .  Teori behavior yaitu reinforecement positif adalah teori untuk merubah tingkah laku anak yang kurang baik untuk menjadi lebih baik dan disiplin. Kebijakan yang diambil untuk suatu tindakan disiplin untuk memperbaiki sistem atau aturan pada saat jam pelajaran dimulai adalah siswa yang terlambat langsung di pertemukan dengan guru dan langsung dinasehati di tanya sebab keterlambatanya dan di perhatikan setiap hari, apabila siswa itu tidak terlambat siswa tersebut harus di beri pujian agar siswa tersebut semangat dan tidak datang terlambat lagi. Persamaan dan perbedaan pola penangan kasus keterlambatan dengan behavior adalah kalau dalam pendekatan restitusi tidak menggunakan  reward ataupun purnishmen namun menggugah kesadaran diri melalui keyakinan kelas yang dimilikinya, mencari solusi atas permasalahan yang dimiliki secara mandiri. Penghargaan efektif jika kita menginginkan seseorang melakukan sesuatu yang kita inginkan, dalam jangka waktu pendek.  Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang tersebut akan bergantung pada penghargaan yang diberikan, serta kehilangan motivasi dari dalam. Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang baik, maka selain kita senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut lagi, kita pun menjadi tidak menyadari tindakan baik yang kita lakukan. Itulah mengapa dalam metode restitusi tidak kita lakukan penghargaan / reward. Persamaannya adalah masing – masing melakukan penggalian informasi penyebab keterlambatan namun kalau behavior langsung menasehati kalau restitusi adalah dengan mencari solusi dengan coaching. Kalau lewat menasehati menurut saya masih kadang siswa banyak yang mengabaikan namun kalau menggugah kesadaran sehingga siswa menyakikninya hal ini akan lebih efektif tentunya. Namun dibandingkan dengan cara menghukum tentunya cara behavior masih lebih baik.

            Sebagai penutup saya mengajak agar semua sekolah diseluruh negeri ini  bisa menciptakan sekolah yang Well Being, sekolah yang menjadi Taman Siswa. Terus Maju Pendidikan Indonsia

Stop kekerasan, Stop Melabeli  Murid dan Stop Menghukum Murid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun