Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

We Listen, We Don't Judge: Dilema Meneliti Perilaku Masyarakat

15 Desember 2024   22:53 Diperbarui: 15 Desember 2024   23:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sekolah (sumber: freepik.com/rawpixel-com)


Pada tahun 2004 sampai 2005 saat masih menjadi mahasiswa S1 Sosiologi, saya pernah melakukan penelitian tentang perilaku kelompok siswi di sebuah sekolah khusus perempuan di Purwokerto. Penelitian ini menjadi salah satu pengalaman paling mendalam dalam perjalanan akademik saya, sekaligus memberikan pelajaran penting tentang etika meneliti. Penelitian ini tidak hanya mengungkap berbagai motif di balik fakta-fakta kenakalan remaja, tetapi juga menguji sejauh mana seorang peneliti mampu menjaga batasannya dalam situasi yang penuh dilema moral.

Sejak awal, pihak sekolah menetapkan syarat bahwa hasil penelitian tidak boleh terekspos keluar. Kampus pun menghormati keinginan ini, sehingga penelitian saya berlangsung dengan transparansi dan saling pengertian. Penelitian ini tidak cukup dengan wawancara formal, karena para siswi ini tidak mau membuka rahasia komunitas sebelum saya diterima sebagai bagian dari circle mereka. Butuh waktu, teknik komunikasi, keterlibatan, dan kepercayaan. Hal ini membuat saya sempat menjadi teman dekat para subjek penelitian, bahkan menjadi teman cerita mereka. Saya mendengar banyak hal yang mungkin tak pernah mereka ungkapkan kepada guru atau bahkan orang tua mereka. Hubungan ini menciptakan kedekatan yang mendalam, tetapi juga meletakkan beban moral yang besar di pundak saya.

Setelah melalui wawancara dan pengamatan mendalam, hasil penelitian akhirnya berhasil mengungkap berbagai pola perilaku siswi, mulai dari kenakalan ringan hingga yang lebih berat. Namun, peristiwa yang menyusul setelah laporan diserahkan menguji komitmen saya terhadap prinsip We Listen, We Don't Judge sebagai peneliti. Beberapa waktu setelah laporan diserahkan, pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan salah satu siswi yang dianggap terlibat dalam kenakalan berat. Keputusan ini menjadi pukulan berat bagi saya secara pribadi. Bagaimana tidak? Siswi yang dikeluarkan adalah salah satu individu yang telah membuka dirinya kepada saya, berbagi cerita yang penuh kejujuran dan kerentanan. Saya merasa, meskipun secara profesional saya telah menjalankan tugas sebagai peneliti, secara moral saya seolah-olah telah mengkhianati kepercayaan yang mereka berikan.

Sebagai peneliti, saya merasa kecewa dengan keputusan ini. Bagi saya, tindakan mengeluarkan siswi tersebut bukanlah solusi yang benar-benar menyelesaikan masalah. Kenakalan remaja sering kali berakar pada faktor yang lebih kompleks, seperti lingkungan keluarga, tekanan sosial, atau dinamika kelompok. Mengeluarkan satu individu tanpa upaya rehabilitasi atau dukungan hanya menggeser masalah, bukan mengatasinya. Namun, apa yang bisa saya lakukan? Sebagai peneliti, tugas saya bukanlah mengintervensi keputusan lembaga yang menjadi subjek penelitian.

Prinsip We Listen, We Don't Judge mengingatkan saya bahwa seorang peneliti harus berperan sebagai pengamat yang netral, bukan sebagai hakim yang menentukan apa yang benar dan salah. Dalam konteks ini, menjaga batas peran sangat penting untuk mempertahankan integritas penelitian dan menghormati kepercayaan yang telah diberikan oleh subjek penelitian. Namun, saya tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang menghantui. Saya bertanya-tanya, apakah data dan temuan yang saya kumpulkan menjadi alat yang akhirnya merugikan mereka yang telah mempercayai saya? Apakah saya telah gagal menjaga keseimbangan antara tanggung jawab akademis dan empati kepada subjek penelitian?

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menjadi seorang peneliti bukan hanya soal mengumpulkan data dan menganalisisnya. Penelitian adalah tentang membangun kepercayaan, mendengarkan tanpa menghakimi, dan menghormati otonomi subjek. Keputusan sekolah untuk mengeluarkan siswi tersebut mungkin tidak sejalan dengan keyakinan pribadi saya, tetapi tanggung jawab saya adalah memastikan bahwa penelitian ini tetap berpegang pada prinsip etika.

Selain itu, penelitian ini juga membuka mata saya tentang pentingnya pendekatan yang lebih holistik dalam menangani masalah remaja. Sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya perlu memprioritaskan solusi yang berkelanjutan, seperti program konseling, pembinaan, atau pelibatan orang tua. Penelitian sosial dapat menjadi alat untuk memahami masalah secara mendalam, tetapi implementasi solusi tetap berada di tangan para pengambil keputusan.

Bagi saya, prinsip We Listen, We Don't Judge adalah pengingat bahwa peneliti tidak hanya bekerja untuk mengungkap fakta, tetapi juga untuk menjaga harmoni dalam relasi dengan subjek penelitian. Pengalaman ini, meskipun penuh dilema, telah membantu saya memahami makna sebenarnya dari etika penelitian: mendengarkan dengan empati, berkomitmen pada kesepakatan awal, dan menghormati batasan peran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun