Pada zaman ini, media sosial adalah panggung yang besar, tempat siapa saja bisa menjadi penonton sekaligus aktor. Kasus Gus Miftah baru-baru ini adalah salah satu contoh bagaimana panggung itu bekerja. Sebuah ceramah yang awalnya mungkin dimaksudkan untuk bercanda berubah menjadi perdebatan luas, memancing reaksi emosional dan akhirnya mengubah jalan hidup seseorang. Tapi apa sebenarnya yang bisa kita pelajari dari sini?
Cermin Digital dan Respon Kolektif
Media sosial ibarat cermin yang memperbesar. Tindakan kecil bisa menjadi sorotan, dan dalam hitungan jam, ia berlipat ganda menjadi diskusi kolektif. Gus Miftah adalah seorang tokoh publik dengan banyak pengikut, tapi di media sosial, ia adalah salah satu dari kita. Setiap orang kini punya hak untuk menilai, berbicara, dan memengaruhi persepsi orang lain. Namun, apakah kita menggunakan hak itu dengan bijak?
Viralitas sering kali tidak dimulai dengan rencana matang, melainkan dari emosi spontan. Kita menyukai, membagikan, atau mengomentari sesuatu karena itu menyentuh sisi terdalam kita---entah itu simpati, marah, atau bahkan sekadar rasa ingin tahu. Tapi setiap klik yang kita buat adalah bagian dari gelombang yang lebih besar, yang mampu mengubah suasana hati orang lain, bahkan karier seseorang.
Merenungkan Peran Kita
Sebagai pengguna media sosial, kita semua memegang peran. Tidak ada yang netral di ruang ini. Kita adalah pembentuk opini, bahkan ketika hanya menjadi penonton yang diam. Kasus Gus Miftah menunjukkan bahwa kritik publik tidak selalu buruk, tetapi bagaimana kita menyampaikan kritik tersebutlah yang menjadi kuncinya. Apakah kita berusaha membangun atau justru menghancurkan?
Bagi para tokoh publik, media sosial adalah pedang bermata dua. Kesalahan kecil bisa menjadi pelajaran besar, baik bagi diri mereka sendiri maupun pengikut mereka. Bagi kita sebagai masyarakat, kasus ini mengajarkan bahwa empati harus menjadi pemandu. Kritik perlu disampaikan dengan hati, bukan sekadar mengikuti arus emosi kolektif.
Media sosial memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran kolektif yang positif. Tapi potensi itu hanya bisa tercapai jika kita, sebagai penggunanya, memilih untuk menjadi bijaksana, berempati, dan bertanggung jawab. Gus Miftah telah mengambil langkah dengan meminta maaf dan mundur dari posisinya. Kini, giliran kita untuk merenungkan: Apakah kita ingin menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun, atau menghancurkan?
Refleksi untuk Kita Semua
Dalam setiap tindakan yang kita ambil di media sosial, ada dampak yang lebih besar dari yang terlihat. Apakah tindakan itu membawa kebaikan? Mari menjadikan ruang digital ini sebagai tempat untuk belajar dan tumbuh bersama. Kita semua adalah bagian dari perubahan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H