Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekuatan dan Tanggungjawab Media Sosial: Pelajaran dari Kasus Gus Miftah

6 Desember 2024   22:03 Diperbarui: 6 Desember 2024   22:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada zaman ini, media sosial adalah panggung yang besar, tempat siapa saja bisa menjadi penonton sekaligus aktor. Kasus Gus Miftah baru-baru ini adalah salah satu contoh bagaimana panggung itu bekerja. Sebuah ceramah yang awalnya mungkin dimaksudkan untuk bercanda berubah menjadi perdebatan luas, memancing reaksi emosional dan akhirnya mengubah jalan hidup seseorang. Tapi apa sebenarnya yang bisa kita pelajari dari sini?

Cermin Digital dan Respon Kolektif

Media sosial ibarat cermin yang memperbesar. Tindakan kecil bisa menjadi sorotan, dan dalam hitungan jam, ia berlipat ganda menjadi diskusi kolektif. Gus Miftah adalah seorang tokoh publik dengan banyak pengikut, tapi di media sosial, ia adalah salah satu dari kita. Setiap orang kini punya hak untuk menilai, berbicara, dan memengaruhi persepsi orang lain. Namun, apakah kita menggunakan hak itu dengan bijak?

Viralitas sering kali tidak dimulai dengan rencana matang, melainkan dari emosi spontan. Kita menyukai, membagikan, atau mengomentari sesuatu karena itu menyentuh sisi terdalam kita---entah itu simpati, marah, atau bahkan sekadar rasa ingin tahu. Tapi setiap klik yang kita buat adalah bagian dari gelombang yang lebih besar, yang mampu mengubah suasana hati orang lain, bahkan karier seseorang.

Merenungkan Peran Kita

Sebagai pengguna media sosial, kita semua memegang peran. Tidak ada yang netral di ruang ini. Kita adalah pembentuk opini, bahkan ketika hanya menjadi penonton yang diam. Kasus Gus Miftah menunjukkan bahwa kritik publik tidak selalu buruk, tetapi bagaimana kita menyampaikan kritik tersebutlah yang menjadi kuncinya. Apakah kita berusaha membangun atau justru menghancurkan?

Bagi para tokoh publik, media sosial adalah pedang bermata dua. Kesalahan kecil bisa menjadi pelajaran besar, baik bagi diri mereka sendiri maupun pengikut mereka. Bagi kita sebagai masyarakat, kasus ini mengajarkan bahwa empati harus menjadi pemandu. Kritik perlu disampaikan dengan hati, bukan sekadar mengikuti arus emosi kolektif.

Media sosial memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran kolektif yang positif. Tapi potensi itu hanya bisa tercapai jika kita, sebagai penggunanya, memilih untuk menjadi bijaksana, berempati, dan bertanggung jawab. Gus Miftah telah mengambil langkah dengan meminta maaf dan mundur dari posisinya. Kini, giliran kita untuk merenungkan: Apakah kita ingin menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun, atau menghancurkan?

Refleksi untuk Kita Semua

Dalam setiap tindakan yang kita ambil di media sosial, ada dampak yang lebih besar dari yang terlihat. Apakah tindakan itu membawa kebaikan? Mari menjadikan ruang digital ini sebagai tempat untuk belajar dan tumbuh bersama. Kita semua adalah bagian dari perubahan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun