Mohon tunggu...
Siti Qolby Nayla Fadlillah
Siti Qolby Nayla Fadlillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah

Hallo! saya adalah seorang mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah, untuk lebih lanjut bisa kunjungi saya di : email : sitiqolby3@gmail.com instagram : qolbyynf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerakan Sosial Nyi Aciah Sebuah Gerakan Wanita Sumedang

11 Juni 2023   23:59 Diperbarui: 12 Juni 2023   00:18 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam penghujung abad-19 sangat banyak sekali terjadi pergolakan sosial atau pemberontakan yang mengakibatkan atau berdampak pada perubahan sosial suatu daerah tertentu di Nusantara. Pulau jawa merupakan salah satu daerah yang menjadi pusat pergolakan sosial tersebut. Maraknya guncangan sosial dalam rangka mewujudkan perubahan dan menuntut keadilan ini berujung menjadi sebuah pemberontakan.

"Proses peralihan tradisionalitas ke modernitas ditandai oleh goncangan sosial yang silih berganti dan menyerupai pemberontakan." (Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888).

Gerakan sosial tentunya bukan hanya berlandaskan atas sebuah kepentingan sosial suatu kelompok, tetapi menyeret pada situasi politik pada masa itu. Eksploitasi Kolonial pada abad ke-19 di Nusantara telah menimbulkan sebuah kondisi dimana hal tersebut memunculkan dorongan bagi para rakyat untuk melakukan sebuah pemberontakan atau mereka menuntut akan suatu hal yang tidak sesuai. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung terus menerus telah menimbulkan disorganisasi di  kalangan masyarakat tradisional beserta lembaga- lembaganya. Dalam menghadapi pengaruh penetrasi Barat  yang memiliki kekuatan disinteragtif, masyarakat tradisional mempunyai cara-cara tersendiri.

Sumedang merupakan salah satu daerah atau kawasan yang mana kala itu sekitar tahun 1870-1871 mengalami sebuah pergolakan sosial yang cukup terkenal. Pada masa itu ada sebuah pemberontakan yang sangat ditakuti oleh para kalangan Hindia Belanda. Mereka menganggap pemberontakan tersebut bukan hanya sekedar pemberontakan, tetapi ada misi mistis khusus yang pribumi kala itu miliki. Pemberontakan tersebut bernama "Pemberontakan Nyi Aciah"

Gerakan Nyi Aciah merupakan peristiwa revolusi sosial menuntut pembangunan pesantren dan perbaikan ekonomi Rakyat Sumedang pada zaman kolonial Belanda.  Namun upaya ini dipersulit oleh orang-orang Eropa yang sudah menguasai Sumedang sejak kejayaan VOC pada abad ke-15 masehi. Golongan kulit putih yang hidup di tatar Sunda ini keberatan apabila Sumedang membangun pesantren.  Apalagi tuntutan ini seiring dengan upaya memperbaiki ekonomi rakyat di Sumedang. Pemerintah kolonial khawatir apabila pribumi bisa maju dalam bidang ekonomi, kekuatan mereka akan meningkat dan menikam Belanda dari belakang. 

Adapun pelopor pergerakan ini merupakan seorang wanita pemberani dari Tanah Sunda. Masyarakat Sumedang menamakan Nyi Aciah yang berarti lambang kesucian, pembawa kebenaran, dan sosok yang paling dinantikan.

Latar Belakang Gerakan Nyi Aciah

Menurut Nina Herlina Lubis dalam buku Sejarah Provinsi Jawa Barat:

Jilid 1" (2013) menjadi latar belakang  gerakan Nyi Aciah, karena pemerintah kolonial memandang peristiwa ini sebagai upaya buruk pemberontakan pribumi. Belanda  pernah menuduh Nyi Aciah sebagai pelopor perempuan yang memiliki reputasi buruk di kalangan perempuan Eropa. Stigma negatif perempuan Sumedang yang pemberani  disamakan dengan dukun yang menggunakan ilmu gaib negatif, hal ini tidak terlepas dari pengakuan masyarakat setempat yang percaya bahwa Nyi Aciah adalah orang suci, dapat menyembuhkan penyakit masyarakat, menyembuhkan kerasukan dan mengajarkan sesuatu  yang misterius. Berbeda dengan wanita Eropa yang takut dengan Nyi Aciah dan tidak mau bertemu, penduduk setempat justru sangat menantikan kehadiran  wanita pemberani ini.

Masyarakat adat merasa terbantu dengan kehadiran Nyi Aciah dan meyakini bahwa Nyi Aciah merupakan titisan dari sosok Ratu Adil yang mampu menyelamatkan masyarakat. Itu sebabnya jumlah pengikut Nyi Aciah semakin hari semakin bertambah. Hampir semuanya berasal dari Sumedang. Namun, ada juga pendatang dari kawasan Priangan Timur, antara lain Ciamis dan Soekapura (Tasikmalaya). Seiring bertambahnya pengikut Ratu Adil dari Sumedang, Nyi Aciah menginginkan adanya revolusi melalui pembangunan infrastruktur keagamaan, seperti pendirian peternakan. Tempat ini dirancang khusus untuk mencerahkan pengikut Anda. Ketika Belanda mengetahui hal ini, mereka langsung marah.

Mereka yang sudah menduga pergerakan Nyi Aciah akan sampai sebesar itu dikhawatirkan akan membahayakan kedaulatannya di Sumedang. Sejak itu, koloni mulai menyiapkan skenario untuk menghentikan gerakan ini dengan benar. Berdasarkan Surat  Residen Priangan tanggal 20 Januari 1871 dan Berita Acara Lisan tanggal 30 Januari 1873 Nomor 33, diketahui  nama asli Nyi Aciah adalah Dewi Siti Johar Manikam. Dia tidak dianggap sebagai keturunan makhluk biasa, melainkan  keturunan atau putri Jumadilkubra, karena dia memiliki kesaktian meski baru berusia sekitar empat atau lima tahun. Berkat kesaktiannya, Nyi Aciah didatangi banyak  orang yang ingin mengobatinya. Nyi Aciah mampu menyembuhkan banyak golongan sehingga mendapat banyak anugerah.

Orang-orang di sekitar Sumedang semakin menyadari kesaktiannya ketika ia berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita  ayah kandungnya, Bapak Naip. Lambat laun, Nyi Aciah dipandang sebagai orang suci dan disegani masyarakat. Orang suci, kemanapun Nyi Aciah pergi selalu ditemani oleh para sahabatnya, termasuk Romo Naip. Karena kesaktiannya, muncul ramalan di masyarakat  bahwa Nyi Aciah akan muncul dua kerajaan Sunda, satu di Keling selatan Banjar dan satu lagi di Tegal Luar.

"Gerakan Nyi Aciah"

Pecahnya gerakan Nyi Aciah terjadi antara tahun 1870 hingga 1871. Meski hanya berlangsung satu tahun, gerakan ini dinilai berhasil membangun infrastruktur keagamaan para petani dan meningkatkan perekonomian nasional di Sumedang. Pesantren Nyi Aciah menerima banyak santri. Salah satu santri yang paling berkomitmen sekaligus menjadi "tangan kanan" Nyi Aciah dalam menyebarkan gerakan itu adalah Mohammad Hasan. Sejak Mohammad Hasan bertekad untuk belajar pada Nyi Aciah, ia mendirikan petani yang sama di daerah Bagelen.

Untuk mempercepat gerakannya, Hasan Mohammad meminta  para penguasa, pangeran dan  bangsawan lainnya untuk tidak menghalangi gerakan tersebut. Lamarannya berdasarkan keyakinannya bahwa Nyi Aciah adalah keturunan garis besar dan karenanya berhak menjadi ratu di kerajaan Sunda. Selain itu, Hasan Mohammad juga mempengaruhi beberapa ulama terkemuka, antara lain R. Mohammad Ahmad (Naib Tasikmalaya), Mohammad Sanusi (Naib Indihiang), Mas Abdul Manan (Naib Malangbong),  Enom dan  Arsinem (pemimpin komunitas Cibian), Ayah Naip dan Ambu Aciah (orang tua Nyi Aciah), Haji Abdullah dan Haji Abdullah Umar. 

Pengikutnya juga banyak, Mohammad Hasan dianggap orang yang sakti seperti guru Nyi Aciah. Mohammad Hasan kemudian menjanjikan  kebahagiaan mutlak kepada murid-muridnya. Bersama Nyi Aciah, ia mengumumkan kepada para santri bahwa ia akan mendirikan kerajaan baru bernama Tegal Luar. Semua masyarakat di Bagellen dan Sumedang harus mendukungnya. Akhirnya seluruh masyarakat  mendukung cita-cita tersebut dengan menjadi pedagang. Pendapatan dari bisnisnya disumbangkan untuk proyek pembangunan kerajaan, memungkinkan gerakan Nyi Aciah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Sumedang, selain berhasil mendirikan pesantren.

Akhir dari Gerakan Nyi Aciah

Awalnya, pemerintah kolonial biasa-biasa saja, tidak memperhatikan gerakan Nyi Aciah. Tetapi ketika pengikutnya bertambah, pemerintah kolonial khawatir mereka akan mendominasi dia. Pada awalnya, pemerintah Hindia Belanda menganggap remeh gerakan Nyi Aciah. Setelah mereka berhasil meyakinkan masyarakat akan kesaktiannya, pemerintah Hindia Belanda sangat memperhatikan perkembangan gerakan keagamaan ini. Nyi Aciah mendirikan pesantren di Sumedang dan Bagellen. Mereka mengkritik Nyi Aciah dan menuduh kelompok ini melakukan berbagai fitnah keji, antara lain. Tapi usaha itu tetap gagal. Masyarakat Sumedang - Bagellen masih mempercayai gerakan suci Nyi Aciah. Mereka percaya bahwa Nyi Aciah adalah orang sakti yang turun ke bumi sebagai ratu keadilan dan bidadari pelindung yang baik. Dituduh mengganggu keamanan dan ketertiban umum, Nyi Aciah dan lima pengikutnya yang diketahui ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal Mei 1871. Dengan penangkapan itu berakhirlah gerakan Nyi Aciah pimpinan Hasan Mohammad. Semua pengikutnya ditangkap dan diasingkan. Sedangkan Nyi Aciah sendiri berhasil dipenjarakan di sebuah lokasi rahasia sejak Mei 1871. Pemberontakan Nyi Aciah mereda. Sedikit demi sedikit, masyarakat Sumedang kembali tertindas, tidak memiliki keberanian maupun tekad untuk melawan. Mereka lemah dan Belanda kembali mengecewakan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun