Jingga
Sore kala mentari mengepakkan sayap menuju ufuk barat, aku mendengar untaian dendang nada menyayat sukma - samar samar pelan menghilang di antara derai kabut yang terluka. Firasatku tembang kesaksian tentang rakus serakah kawula bumi.Â
Sore kala bias wewangian melukis lembayung, sayup sayup irama gemericik berbisik pelan menghinggapi nuansa, menyelimuti alam raya, menggiring syahdu pesan Ilah, akan sembah sujud adalah jatah lakon yang mesti, laksana menghatur upeti pada tuan sahaja.
Sore kala lenyap, malam bergeser mengatur cengkram gulita. Akal menghujam kuasa nafsu, mengaburkan dendang - menggantinya dengan lagu penghantar tidur - dan seketika sebal dan pedih ciut terkubur dalam ingatan; lelap menunggangi tubuh.
Sore berganti, kayuh sepeda berlari mengejari dian, mengulang masa hari Jumat. Berjarak, aku menanti nada nada keserakahan kawula negari yang lain. Saat suara suara kesedihan menggelayuti, telah. Hanyut, sadarku kelimpungan terbawa arus, menjauh dari bayang bayang realitas kolonial.
Sore tetiba utopis; jingga.
08/08 18:08Â
zetbe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H