Mohon tunggu...
qodriyah alfiyah
qodriyah alfiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berbisnis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguji Komitmen Kepedulian Lingkungan Hidup Para Caleg Pemilu 2024 bagi Kewarganegaraan

11 Juli 2023   11:53 Diperbarui: 11 Juli 2023   19:22 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama : Qodriyatul Alfiyah (221420000643)

Prodi : Perbankan Syariah
Dosen Pengampu : Dr. Wahidullah, S.H.I.,M.H
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Tugas Easy Mata Kuliah Kewarganegaraan "Menguji komitmen kepedulian lingkungan hidup para caleg pemilu 2024 bagi kewarganegaraan"


Penting agar pemilu 2024 ditanggapi dengan serius, membawa tujuan dan gagasan kebijakan untuk menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidup generasi mendatang di tengah pusaran pemilu 2024.  

Sistem demokrasi menjadikan partai politik sebagai elemen penting demokrasi. Partai politik menjadi "pabrik" yang menghasilkan pemimpin di tingkat nasional dan daerah. Namun, di tengah dinamika politik saat ini, ada yang luput dari perdebatan publik, yaitu agenda politik parpol dan kandidat pada Pemilu 2024. Pembahasan substantif tentang isu-isu kunci yang dihadapi masyarakat, nyaris sunyi dan di tengah-tengah gejolak konsolidasi elit politik.

Partai politik dan kandidat tampaknya tidak mau membahas masalah terpenting rakyat atau menghadirkan tantangan serius bagi Indonesia dalam proses konsolidasi politik yang sedang berlangsung. Bukankah menghubungkan agenda atau ide menjadi bagian penting dalam menghubungkan kandidat? Pada akhirnya, mereka yang dicalonkan dan dipilih memimpin bangsa ini, mempengaruhi kehidupan kita sebagai warga negara, dan bahkan berdampak signifikan bagi kelestarian lingkungan di masa depan.

Dengan satu setengah tahun sebelum pemilu 2024, jumlah pemilih yang meragukan tampaknya semakin berkurang karena pemilih semakin fokus pada partai pilihannya. Namun, apakah jumlah pemilih yang ragu akan berkurang atau bisa terkonsentrasi kembali? Pemilih ragu-ragu yang dimaksud dalam artikel ini adalah pemilih Polling Nasional Kompas yang belum menentukan partai mana yang akan dipilihnya pada Pemilu 2024.  

Responden dapat menjawab dalam bentuk "tidak tahu/rahasia", "tidak menjawab" atau "tidak ada". Responden yang menyatakan memilih partai politik tidak dianggap sebagai pemilih yang patut dipertanyaka.  

Artikel ini membahas, dengan bahasa sederhana, "sisa" suara pemilih yang belum memutuskan partai politik. Semakin banyak suara dari pemilih yang meragukan, semakin besar kemungkinan susunan pemenang pemilihan umum akan berubah dan sebaliknya.

Dalam survei terakhir pada Juni 2022, profil reaksi mencurigakan berupa corong menyusut. Ternyata hanya 16,0 persen responden yang tidak menentukan pilihan atau menjawab tidak tahu memilih partai politik yang mana. Jumlah itu berkurang setengahnya pada Oktober 2019, ketika periode kedua Jokowi, 2019--2024, dimulai. 

Pola penghitungan ini berbeda dengan hasil pemilu periode pertama Jokowi pada 2014 hingga 2019 yang pola responsnya menyerupai corong naik. Pada periode yang sama, proporsi responden yang masih ragu-ragu naik dua kali lipat dari 17,3% (Januari 2015) menjadi 29,5% (April 2017). Survei yang dilakukan pada April 2019 menemukan 23,3 persen responden tidak memilih.

Politik Non-Hijau Greenpeace Indonesia melakukan pembacaan awal komitmen partai politik peserta pemilu yang kami ikuti melalui media internal partai politik yang terbuka untuk umum. Menurut penelitian kami, partai-partai dengan suara terbanyak di Parlemen saat ini memiliki komitmen lingkungan dalam dokumen organisasinya. Sebaliknya, dalam praktik politik, dokumen organisasi tidak menjadi acuan bingkai mereka, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Kewajiban ini akhirnya hanya menjadi "pemanis" dan pelengkap.  

Pengamatan ini terkonfirmasi ketika kita melihat gerak partai politik mengembangkan kebijakan yang justru memperparah krisis iklim dan melanggengkan ketimpangan ekonomi, seperti UU Cipta Kerja, serta munculnya solusi palsu dalam pasal-pasal Energi Baru dan Terbarukan.

Bagi partai politik dan kandidat yang memperjuangkan isu lingkungan dan perubahan iklim pada Pemilu 2024, hal ini mungkin tidak akan mempengaruhi kelayakan atau bahkan kemenangan mereka. Oleh karena itu, mengangkat isu ini dianggap tidak penting dan menjadi ide atau agenda perjuangan ketika mereka berkuasa. Para kandidat selalu berdebat dan membandingkan isu lingkungan dengan isu ekonomi yang dianggap lebih penting. Efek dari krisis iklim telah memukul masyarakat dengan keras. Krisis air, krisis pangan bahkan kemiskinan semakin meresahkan masyarakat, dan bukan berarti akan menjadi masalah besar bagi pemilih.

Jika saja parpol dan calegnya membaca tren atau trend pemilu pemuda, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemuda atau pemilih muda sangat concern terhadap isu lingkungan dan krisis iklim. Sudah ada kesadaran politik di kalangan anak muda bahwa tidak mungkin pertumbuhan ekonomi dan masa depan anak muda menjadi lebih baik ketika mereka hidup di tengah ancaman krisis iklim yang merusak masa depan mereka.  

Sayangnya, elit politik masih melihat anak muda hanya sebagai angka dan objek politik terkait pemilu. Mereka bersaing untuk mendapatkan suara pemilih muda dan tampaknya berkomitmen untuk masa depan kaum muda padahal yang terjadi justru sebaliknya. tokenisme!

Selain masalah memahami dan mengetahui partai politik dan kandidat yang mampu menghadapi masalah struktural lingkungan, belenggu oligarki yang semakin kuat yang memerintah Indonesia, merupakan faktor penting lain yang mempengaruhi pemilu hanya menjadikan demokrasi sebagai siklus kehidupan. mengubah. untuk elit yang kuat. menyusup ke sistem pemilu hari ini.

Pemilu sebenarnya adalah cara untuk mempertahankan kekuasaan oligarki. Dengan kekuatannya, institusi politik menjadi mesin yang mempercepat kerusakan lingkungan dan krisis iklim dengan berbagai produk politik. Biaya politik yang sangat tinggi menjadi salah satu penyebab terjadinya perbudakan politik, dimana sumber daya alam digadaikan untuk membiayai biaya politik yang sangat mahal, sehingga membahayakan masa depan kelestarian lingkungan.

Profesor Vedi Hadiz telah lama mengingatkan kita bahwa oligarki yang disuapi dan didukung oleh sistem politik otoriter membuktikan bahwa demokrasi memang bisa berkembang seiring. Oligarki beradaptasi dengan sistem politik yang demokratis. Pasca reformasi yang berujung pada demokratisasi, lembaga-lembaga demokrasi dijajah oleh kepentingan-kepentingan oligarkis. Mereka dengan cepat membangun kembali dan mengkonsolidasikan kekuatan mereka, dan kemudian para oligarki memerintah sistem demokrasi yang bertahan hingga hari ini, kecuali sistem ekonomi. Kemauan politik yang kuat diperlukan untuk mengembangkan kebijakan yang dapat mengatasi krisis lingkungan. Ini hanya bisa terjadi jika ada partai politik yang menerapkan kebijakan lingkungan.  

Kelestarian lingkungan merupakan isu global yang tidak dapat disangkal pentingnya. Meningkatnya bencana alam, pemanasan global, krisis air minum, menipisnya sumber daya energi, dll merupakan masalah lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan hidup umat manusia.

Mari kita ambil energi sebagai contoh. Data Stanford MAHB (kumpuran.com, 16 Juli 2021) menunjukkan cadangan minyak dunia hanya bertahan hingga 2052, cadangan gas dunia hingga 2060, dan cadangan batubara dunia hingga 2090. Artinya, kurang dari 70 tahun dunia akan mengalami krisis energi yang jelas akan berujung pada runtuhnya kehidupan manusia. Bayangkan sebuah skenario di mana kita hidup tanpa minyak sebagai bahan bakar transportasi, tanpa gas untuk memasak dan tanpa batu bara untuk pembangkit listrik. Tentu gambaran yang mengerikan!

Tentunya dibutuhkan kemauan politik yang kuat untuk mengembangkan kebijakan yang dapat mengatasi krisis lingkungan. Kemauan politik hanya bisa muncul ketika ada partai politik (parpol) yang memperjuangkan isu dan mewakili kepentingan lingkungan.

Sayangnya, kesadaran lingkungan dalam sistem politik kita di Indonesia masih belum terlalu terasa. Partai politik saat ini jarang mengangkat isu lingkungan. Mereka selalu mengutamakan masalah ekonomi dan kesejahteraan sebagai "kerajinan" utama mereka untuk merebut kursi elektoral.

Pemilu 2024 harus ditanggapi dengan serius, membawa tujuan dan gagasan politik hijau untuk menjaga lingkungan dan kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang ke dalam pusaran pemilu 2024. Gerakan politik hijau perlu mencari jalan untuk menjadi gerakan kerakyatan dan simpatik dengan pemuda banyak anak muda yang skeptis terhadap politik karena praktik politik yang buruk dari elit politik yang berkuasa.

Namun, tidak bisa tetap demikian. Ketika situasi demokrasi memburuk dan krisis iklim menjadi tantangan besar, kekuatan masyarakat sipil harus berpikir di luar pemilu 2024 tentang bagaimana perubahan struktural diperlukan untuk membuat demokrasi bekerja untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan. Tanpa perubahan struktural dalam sistem ekonomi dan politik yang mengeksploitasi pemerkosaan alam dan degradasi lingkungan, politik hijau akan terus menghadapi tembok atau kekuatan oligarkis. Akhirnya hari lingkungan yang indah. Kami berharap politik hijau tidak hanya menjadi "Pemanis" di pemilu 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun