Sering kita dengar ujaran dan kias tentang hal yang (seolah) bijak terkait urusan politik. Paling sederhana adalah "politik itu seni, dan juga cair sehingga jangan pada baperan"
Hal itu sering sekali muncul dan lewat di linimasa hampir semua platform media sosial kecuali instagram. Entah itu nasehat dari seorang elit politik tertentu, ataupun nasehat dari teman ke temannya lagi yang mulai baper urusan politik.
Apakah baper dalam berpolitik adalah hal yang salah? Saya termasuk penganut madzhab "anti baper dalam politik (...tapi bohong)" alias baperan juga sebenarnya. Gimana gak baper, pertarungan Ahok dan Anies cukup menyita emosi yang mengharu biru.
Menjelaskan ke semua orang tentang adanya politisasi agama dimana saja, kapan saja dan sejelas-jelasnya. Mengikuti drama yang sedemikian rupa di pengadilan Ahok sampai pada vonis penjara, masih baper juga dengan menggelar aksi aksi di beberapa titik keramaian dan berteriak "ini zolim!!"
Namun semua emosi yang tumpah ruah menjadi hilang ketika Ahok sendiri yang meredakan semua, bahkan Ahok yang membubarkan para Ahokers yang pada aksi di Mako Brimob dan juga di LP Cipinang waktu itu. Karena sayangnya kita semua, maka kita nurut dan bubar untuk 2 tahun kemudian.
Ahok ini sosok menarik, dimana dia sudah ada partisi di kepalanya tentang politik dan bukan politik. Sebagai "elit" politik Ahok menerima hukuman tersebut sebagai bentuk ketaatan pada konstitusi. Bukan kabur ke Saudi dan memprovokasi dari sana jadi yutuber dan model flyer aksi togel.
Ada 2 pesan yang sangat kuat dari Ahok, pertama adalah jangan baperan kecuali kalian siap dengan resikonya dan tunduklah pada konstitusi, karena itulah harga tertinggi dari sebuah ketaatan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cinta itu epic, banyak sekali kisah pejuang-pejuang cinta yang berkalang nyawa demi cintanya. Kekuatannya juga luar biasa dalam membangun kepercayaan, harapan dan memberikan nyawa pada jiwa-jiwa yang kering akan arti dan hakikat kehidupan.
Prabowo jadi menteri? Apa iya? Benarkah? Itu gosip kan?
Bahkan ada yang mau bunuh diri jika Prabowo jadi menteri. Saya paham sekali dengan hal itu, selama kampanye Pilpres 2019 kemarin adalah ajang Ahokisasi jilid 2 di mana 2 kekuatan masyarakat dibenturkan sedemikian rupa.
Yang pilih Prabowo jauh lebih Islam dari yang pilih Jokowi, padahal Prabowo aja Natalan dan sempat viral, kemudian curut khilafah yang numpang di Prabowo berujar narasi toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika dll. Males bacanya, manusia-manusia munafik cari muka jilat pantat.
Kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang seperti itu, polarisasi seolah dipelihara oleh tangan-tangan jahat supaya kita pecah belah karena Pilpres 2019. Bahkan sampai selesai pemilihan masih ramai aksi-aksi yang ditumpangi teroris dan makan korban jiwa juga di 22 Mei 2019.
Mirip seperti Ahok, yang melahirkan gerakan angka togel bahkan ada alumninya, polarisasi dijaga sekali untuk aset demokrasi. Redanya kapan? Pertemuan di MRT adalah sebuah titik redam yang luar biasa (bagi yang waras), bahkan suasana media sosial yang awalnya ngeri-ngeri sedap jadi adem.
Banyak masyarakat yang rindu akan kedamaian, lelah dengan eskalasi politik yang tidak ada habisnya. Saya sendiri sebenarnya juga bosan, di WAG keluarga bahkan terjadi saling tendang anggota keluarga hanya karena beda pilihan politik. Iya "politik jangan baper" ini justru jadi penyebab baper terbesar pertama di dunia.
21 Oktober 2019 Prabowo ke Istana dengan kemeja putih, kemudian menyampaikan bahwa diminta Jokowi untuk membantu di urusan Pertahanan Negara. Media massa ramai sekali dengan analisa, nyinyiran, jilatan dan juga memantik level depresi seseorang sampai pada keinginan untuk bunuh diri ketika Prabowo jadi menteri.
Narasi soal riuhnya perpolitikan nasional karena Pilpres 2019 jadi hantu bagi 2 pihak, pihak pendukung Jokowi dan Prabowo tentunya. Wajar kaget, ada kengerian dari banyak faktor yang menghantui "Jika Prabowo Jadi Menteri".
Ini bukan lagi soal "jangan baper" tapi ini tentang perasaan ribuan orang yang harus dijaga karena ini ngeri. Iya ribuan aja bukan jutaan, karena mayoritas masyarakat akan mendukung dan bodo amat sama semuanya.
Mari bicara sesuai maqom dalam hal politik dan kenegaraan, kita ini kawulo alias rakyat yang dilindungi konstitusi untuk memilih calon presiden dan hal itu sudah terlaksana. Kemudian, Jokowi adalah Presiden terpilih yang punya hak prerogatif memilih siapapun jadi menterinya. Jadi agak aneh kalo ada yang maksa Jokowi jangan pilih ini itu dll, bukan hakmu.
Usul boleh, teriak boleh, ngomel boleh, kecewa harus, marah juga silakan. Tapi semua itu tidak akan mengubah sebuah keputusan yang lebih tinggi yaitu keberlangsungan Indonesia sebagai negara yang punya ikhtiar untuk menjadi besar dan kuat di dunia. Keutuhan Indonesia adalah harga tertinggi yang harus dijaga oleh semua pihak, Prabowo sekalipun bertanggung jawab akan hal itu.
Biarkan Jokowi memakai haknya memilih siapapun jadi menteri, dia Presidennya. Kita (kawulo) jangan kendor untuk teriak ini itu, toh masih ada reshuffle dan pernah dilakukan. Memang berat pilihannya, tapi ketika kita tahu diri maka semua hal memberatkan ini akan disembuhkan oleh waktu (wikwikwikwik asiyaaaaappp...)
Ada satu hal, saya gak terlalu paham sih tapi sekilas memantau pasar modal sangat bergairah dengan dinamika pemilihan menteri ini. Yah dibanding dengan kebaperan kita yang tidak bisa dilihat datanya, bergairahnya pasar modal dan naiknya beberapa saham ini kabar baik bagi ekonomi Indonesia.
Penutup: Gus Dur dan Ahok adalah contoh kesetiaan dan tunduk pada konstitusi, kebesaran jiwa dan hati mereka ingin rasanya segera ditularkan ke kami ini semua penggemarnya. Apa yang terjadi pada mereka berdua adalah gambaran tentang Indonesia, dimana mereka rela mengorbankan segalanya demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H