Mohon tunggu...
Jonathan Latu
Jonathan Latu Mohon Tunggu... Wiraswasta - Banser NU

menulis supaya membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangladesh Hancur Karena SJW, Waspadalah Negeriku!

29 September 2019   11:39 Diperbarui: 29 September 2019   11:59 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jangan terlalu mudah percaya sama aktivis social justice warrior. Mereka itu merasa pejuang kemanusiaan, tapi seringkali sangat emosional. Sudut pandangnya hanya 45' dan terbiasa menilai persoalan berdasarkan isi perut mereka saja. 

Jarang yang mau dengan sabar mengelilingi persoalan 360' sehingga bisa lebih bijak menyuarakan solusi. Alih2 memperbaiki sesuatu yang buruk, mereka malah memperburuk keadaan. Ya karena itu tadi, sudut pandangnya sempit, sudah kadung nafsu menempatkan diri sebagai pahlawan kemanusiaan.

Tahun 1992-1993, di Bangladesh tumbuh subur pabrik garmen. Sayangnya, seperti di banyak negara miskin, mereka mempekerjakan anak-anak. Jari2 kecil mereka dieksploitasi untuk menghasilkan misalnya, 150 pcs celana dalam sehari dengan upah 52 cent dollar per hari.

Ada sekitar 50.000 anak yang saat itu dikerjakan di pabrik garmen atau konveksi2 kecil dan menengah. Mereka tentu tidak sekolah, tapi malah jadi tulang punggung keluarga.

Aktivis2 barat terenyuh hatinya. Mereka tak tega dan menteskan air mata ketika melihat anak2 harus banting tulang untuk upah yang sekadar setengah dollar sehari. Lalu muncullah gerakan2 untuk menghilangkan pekerja anak, ga cuma di Bangladesh, tapi juga di seluruh dunia.

Tahun 1993, SJW2 Amerika berhasil membujuk, mempengaruhi, atau mungkin juga menekan salah satu senator, Tom Harkin, untuk menginisiasi Child Labor Deterrence Act. Dengan adanya aturan ini, maka pemerintah maupun swasta di US dilarang mengimpor produksi garmen, tekstile dll dari negara yang masih mempekerjakan anak2 di industri mereka. 

Aturan ini ampuh. Negara2 penghasil garmen tidak bisa ekspor ke Amerika, kecuali kalau mau memenuhi aturan CLD Act tadi.  Dengan keluarnya aturan ini, puaslah para aktivis Social Justice Warrior. Mereka merasa sudah menyelamatkan anak2 di seluruh dunia dari eksploitasi industri.

Lalu apa yang terjadi di Bangladesh? Pemerintah Banglades tidak mau mengambil risiko terhadap perekonomian mereka yang ditunjang oleh industri tekstil. 50.000 anak langsung dikeluarkan dari pabrik2 supaya ekspor tetap bisa berjalan. Banglades tetap dapat pendapatan dari ekspor, tapi bagaimana nasib anak2 tadi?

Menurut penelitian Oxfam, anak-anak tadi faktanya bukan kembali ke sekolah. Sebab keluarganya sangat miskin. selain itu pemerintahan negara miskin juga belum mampu menyediakan alternatif kehidupan yang layak bagi anak2 ini. Karena harus mencari uang, maka mereka tetap berburu pekerjaan lain. Pekerjaan apa saja asal bisa hidup.  Biasanya kerja serabutan dan bertebaran di jalanan. 

Tapi secara keseluruhan pekerjaan2 itu jauh lebih buruk dibanding pekerjaan di Pabrik, baik dari sisi pendapatan, maupun keamanan dan kenyamanan mereka. Dalam jumlah yang sangat signifikan malah bekerja sebagai pelacur anak.

Ini yang saya sebut sebagai reaksi emosional. Terlihat benar, tapi hanya dari sudut pandang 45' sehingga hasilnya pun hanya terlihat benar berdasarkan ukuran isi perut si aktivis,  tidak untuk keluarga dan anak2 di Bangladesh.

Hari ini di sini, media dan masyarakat menyandarkan opini mereka kepada para SJW2 semacam ini. Yang lagi2 seperti kebiasaan mereka, melihat sesuatu dengan sudut pandang 45' lalu bereaksi secara emosional. Menggerakkan protes dengan agitasi yang "membunuh" kredibilitas negara, mamanasi masyarakat supaya anti pemerintah.  

Tidak jarang malah ikut menyiram bensin agar kelompok2 masyarakat terbakar emosi dan akhirnya membakar kelompok masyarakat lain. Bahkan lebih jauh, mereka berusaha merubuhkan tertib sosial. 

Dan mereka puas, berasa jadi pahlawan kalau berhasil mewujudkannya. Seolah-olah terlihat benar, tapi sesungguhnya kalau diikuti, kita sedang memperburuk keadaan.

Di Papua, di Jakarta, di Kendari, di Makassar, dan di beberapa tempat lain sudah terlalu banyak yang menyantap micin dari para SJW2 ini. Alih2 ingin memperbaiki keadaan, mereka sedang mempertahankan kebuntuan politik dan chaos. Kadang bersinergi dengan kelompok yang secara ideologi berbeda secara diametral dengan mereka.

 SJW menyediakan narasi, tapi tak punya massa. Sementara massa pemarah jumlahnya cukup banyak, tapi miskin narasi. Maka bertemulah mereka saling melengkapi.

Di lain pihak, pemerintah berusaha keras memperbaiki keadaan. Cuma terjebak dilema. Kadang ingin tegas menegakkan hukum, tapi ketegasan juga bikin mereka teriak2 meradang. 

Bahwa pemerintah ini represif, membungkam kebebasan dll. Kadang ingin dialog, tapi dialog yang SJW ini pahami adalah kalau mau menerima seluruh tuntutan mereka. Kalau ga mau, berarti pemerintah ga mau dialog.

Saya pribadi berharap lame-duck session di masa transisi ini bisa segera berakhir. Pemerintah bisa berdiri jauh lebih kuat, dengan mesin dan aparatus yang punya kepastian nasib dan posisi politik selama 5 tahun mendatang. Biar ga terguncang-guncang terus oleh manuver SJW yang berkolaborasi dengan massa pemarah.

Tulisan keren dari Hasan Nasbi Batupahat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun