Mohon tunggu...
qirana falisa rizqiyah
qirana falisa rizqiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca berita²

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Korupsi di Indonesia: Akar Masalah, Dampak, dan Solusi Sistemik

27 November 2024   19:33 Diperbarui: 27 November 2024   19:33 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi: Sebuah Pandangan Kritis terhadap Masalah Sistemik di Indonesia

Korupsi telah menjadi salah satu isu yang paling mendesak di Indonesia. Sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Dampaknya begitu luas, mulai dari melambatnya pembangunan, meningkatnya ketimpangan sosial, hingga melemahnya supremasi hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, korupsi diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akar Masalah Korupsi

Korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor budaya, struktural, dan kelemahan sistem pengawasan. Di beberapa daerah, budaya patronase dan nepotisme masih kuat mengakar, di mana loyalitas pribadi sering kali lebih diutamakan daripada integritas dan profesionalisme. Selain itu, kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran publik dan lemahnya penegakan hukum menjadi lahan subur bagi perilaku koruptif.

Secara struktural, birokrasi yang berbelit-belit dan rumit sering kali mendorong individu untuk mencari jalan pintas melalui suap. Sementara itu, lemahnya perlindungan terhadap pelapor (whistleblower) membuat banyak orang enggan melaporkan kasus korupsi yang mereka ketahui. Faktor lain yang berkontribusi adalah minimnya pendidikan antikorupsi di berbagai jenjang masyarakat.

Dalam konteks politik, mahalnya biaya kampanye juga sering kali menjadi alasan para pejabat publik terjebak dalam praktik korupsi. Mereka merasa harus "mengembalikan" investasi yang telah dikeluarkan selama masa kampanye, sehingga rentan tergoda untuk menyalahgunakan wewenang. Sebagai contoh, kasus Bansos (Bantuan Sosial) yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara pada tahun 2020 menunjukkan bagaimana praktik korupsi terjadi di tingkat pemerintahan. Dalam kasus ini, alokasi dana yang seharusnya digunakan untuk bantuan sosial bagi masyarakat terdampak pandemi COVID-19, malah diselewengkan dalam bentuk suap dan komisi oleh pejabat yang terlibat.

Dampak Korupsi terhadap Masyarakat

Korupsi memiliki dampak destruktif yang sangat luas. Dalam bidang ekonomi, korupsi mengurangi efisiensi alokasi sumber daya. Dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sering kali disalahgunakan, menghambat pembangunan yang berkelanjutan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperparah ketimpangan sosial dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Contoh lainnya dapat ditemukan dalam kasus Korupsi Proyek Hambalang yang melibatkan sejumlah pejabat negara dan kontraktor pada proyek pembangunan sarana olahraga tersebut. Alih-alih untuk meningkatkan kualitas infrastruktur olahraga, anggaran yang sudah besar malah digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan dan memperburuk ketimpangan dalam pelayanan publik.

Korupsi juga berdampak pada kualitas layanan publik. Ketika dana yang dialokasikan untuk fasilitas umum diselewengkan, masyarakat menjadi korban utama. Sebagai contoh, buruknya kondisi jalan, fasilitas kesehatan yang minim, dan kualitas pendidikan yang rendah sering kali berakar pada praktik korupsi di tingkat pemerintahan.

Dari sisi sosial, korupsi menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketika masyarakat melihat pejabat yang korup tetap bebas tanpa hukuman yang setimpal, rasa frustrasi dan apatisme terhadap sistem politik semakin meningkat. Hal ini mengancam stabilitas demokrasi dan memperkuat siklus korupsi. Sebagai contoh, kasus Korupsi e-KTP yang melibatkan sejumlah pejabat, pengusaha, dan politisi, membuktikan betapa parahnya pengaruh korupsi terhadap integritas pemerintahan, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun