Mohon tunggu...
Qintannajmia Elvinaro
Qintannajmia Elvinaro Mohon Tunggu... Penulis - Sosiologi UIN Bandung

Penyuka sejarah, ilmu sosial, dan sosiologi media

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dua Wajah di Balik Citra Media Sosial, Harus Bagaimana Kita?

16 Maret 2021   09:40 Diperbarui: 16 Maret 2021   09:52 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, media sosial sudah seperti makanan sehari-hari bagi para penggunanya. Beragam hal menarik ditawarkan oleh media sosial ini kepada masyarakat yang tidak jarang berujung pada terjadinya kecanduan. Segala informasi, mulai dari yang bersifat edukatif hingga persoalan privasi dapat diakses di media sosial ini oleh siapapun. Namun, tidak jarang pula media sosial dengan segala suguhannya menjadi ajang untuk bergosip.

Kasus terbaru yang masih hangat dalam perbincangan jagat maya, adalah kasus perselingkuhan seorang figur publik yang sedang naik daun. Sosoknya yang begitu banyak dipuja dan digandrungi banyak kalangan kini malah berbalik mendapat serangan dari netizen Indonesia yang begitu hobi dengan kenyinyirannya. Faktanya, media sosial bukanlah tempat hiburan semata, di balik itu semua, ada sisi-sisi lain yang seringkali tidak terlihat dan disadari oleh masyarakat penggunanya, yaitu para netizen.

Realitas media sosial 

Media sosial adalah bagian dari realitas baru yang disebut sebagai dunia maya. Dalam dunia online ini hadir berbagai realitas baru yeng terdiri dari beberapa hal berikut:

Pertama, media sosial merupakan gudangnya realitas semu. Berbagai citra yang dibangun memang hal-hal yang disetting oleh para penggunanya agar terlihat baik dan mengesankan. Entah itu, seperti potret terbaik, ketampanan, kemewahan dan masih banyak hal istimewa lainnya. Jika bisa meminjam teori dari Jean Baudrillard mengenai sebuah iklan yang sengaja dikontruksi dengan realitas semu (Hyper-reality) lengkap dengan citra (simulacra) yang mendukungnya (Bungin: 2006). Para pengguna media sosial diibaratkan seperti sebuah iklan yang berusaha membangun personal branding mereka di mata masyarakat maya.

Kedua, media sosial sebagai wahana panjat sosial. Banyak orang berlomba-lomba menaikkan popularitas melalui media sosial dengan menggunakan beragam cara. Baik itu, dengan cara yang bermuatan positif maupun negatif. Orang-orang bisa membangun diri mereka agar selalu tampak sempurna. 

Dalam kajian Sosiologi, Erving Goffman (Ritzer: 2007), mengemukakan gagasannya dalam teori Dramaturgi yang memiliki relasi dengan kehidupan di media sosial kini. Menurutnya, ada dua sisi dalam kehidupan ini, yakni panggung depan (front stage) maupun panggung belakang (back stage). Pada panggung depan tentulah sisi baik yang selalu ditampilkan, padahal kemungkinan kenyataan dirinya tak seperti yang ditampilkan itu. Lalu, realitas sesungguhnya itu akan nampak pada panggung belakang (back stage). 

Ketiga, media sosial menjadi tempat ujaran kebencian. Jangan salah, media sosial memang layaknya pisau bermata dua. Jika digunakan dengan bijak, tentu akan mendapat manfaatnya. Namun, jika digunakan dengan serampangan maka keburukan yang akan dipetik. Netizen Indonesia memang banyak yang begitu leluasa berkomentar pedas dengan jari-jari mereka. Apalagi, saat ada pemberitaan buruk pada sosok figur publik, siap-siap lah menjadi sasaran empuk para netizen. Dilansir dari Kompas.com. berdasarkan hasil riset Digital Civility Index (DCI), netizen Indonesia menempati posisi paling tidak sopan se-Asia Tenggara (Dewi: 2021). Selain hoax, ujaran kebencian juga menjadi standar penilaian tersebut. Sungguh fantastis bukan?

Keempat, media sosial sebagai jaringan interaksi yang maya. Tidak menutup kemungkinan, media sosial juga bisa menjadi perantara interaksi antar manusia. Sebuah kelompok atau komunitas bisa dibentuk dengan menggunakan platform yang ada di media sosial. Biar begitu, manusia sebagai makhluk sosial justru tak akan pernah puas dengan segala interaksi yang hanya dilakukan melalui media sosial. Kita tetap butuh komunikasi tatap muka dan interaksi secara nyata. Tak perlu menampik, media sosial memang begitu manjur untuk mengisi kekosongan, namun tidak ampuh dalam mengobati kesepian.

Sikap Kita      

Dengan segala realitas citra yang muncul di media sosial itu, tentu para netizen, selaku pengguna aktif media sosial tentunya perlu menggunakan media sosial dengan kritis. Faktanya, media sosial bukanlah wadah yang bermuatan positif namun juga memiliki dampak-dampak negatif. Janganlah terlalu mudah percaya dengan segala citra yang dibangun pada media sosial. Tak semua yang terposting itu adalah kenyataan, karena itu hanyalah realitas semu belaka. 

Selain itu, terkhusus para netizen Indonesia, yuk jadilah warganet yang baik. Diamlah, jika tak sangup untuk menyampaikan hal yang baik. Analogi sederhananya, coba posisikan dirimu pada diri orang yang sedang kau caci-maki, sudikah? Tentu tidak bukan? Marilah berusaha berkontribusi untuk menularkan aura positif. Terakhir, jangan lupa, kita tetap perlu untuk bergaul dengan manusia lain di dunia nyata, tak usah jauh-jauh minimal dengan anggota keluarga kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun