Tingkat elektibilitas dan popularitas seseorang bisa saja berbeda. Namun, hal ini jarang atau bahkan dianggap sepele. Disangkanya, berbanding lurus. Elektibilitas tinggi berarti popularitas juga, begitupun sebaliknya.
Tentu kita masih ingat, pada pilpres kemarin, Capres Jusuf Kalla (JK) sangat populer. Tetapi hasilnya, perolehan suaranya sangat jauh ketinggalan dari SBY. Memang, JK populer dan tidak bisa kita pungkiri, apalagi di kampung halamannya, Sulawesi Selatan. Tetapi popularitas saja tidak cukup meyakinkan masyarakak untuk memilihnya. Terbukti, perolehan suara JK di Sulsel tidak signifikan.
Kesalahan para kandidat adalah terlalu yakin dengan popularitasnya. Merasa di atas angin di banding kandidat lain. Hal mana terjadi juga di beberapa daerah yang sebentar lagi akan melaksanakan Pilkada. Kandidat yang merasa unggul ini lupa bahwa masih banyak faktor yang membuat seseorang menjatuhkan pilihannya. Bukan karena bertebarannya baliho, banyaknya mobil yang di branding dan intensitas kunjungan ke warkop atau bagi-bagi angpao.
Sekali lagi, popularitas kandidat bukan jaminan masyarakat akan memilihnya. Mr. "clean" atau rekam jejak tak tercela adalah faktor yang sangat menentukan. Masyarakat sudah semakin kritis dan cerdas. Boleh-boleh saja kandidat memberi umpan dengan materi tapi itu tidak akan berpengaruh atas pilihannya nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H