Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat Jawa
(ADS)
Masyarakat Jawa memiliki strata sosial yang berbeda yang dilihat dari berbagai sudut pandang. Kriteria kekuasaan atau kelas sosial, di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa dipandang sebagai masyarakat yang beragam, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas diduduki oleh orang priyayi  yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar di samping keluarga keraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara, sedangkan orang kebanyakan disebut wong cilik seperti petani-petani, atau pekerja kasar lainnya termasuk kelas bawah. Sementara jika dilihat dari kriteria pemeluk agamanya, masyarakat Jawa biasanya membeda-bedakan orang santri dan orang agama kejawen. Kedua golongan ini memili persamaan dalam ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Jika dilihat dari latar belakang pembentukan strata sosial kaum pribumi pada masa Perang Dunia II, Belanda telah membagi golongan sosial masyarakat Jawa terbagi menjadi empat golongan, yaitu: (1) Europeanen, atau orang Eropa, orang Belanda totok dan orang Belanda-Indo; (2) Vreemde Oosterlingen, atau orang Timur Asing, di antaranya orang Tionghoa, Arab, India, dan lain sebagainya; (3) Inlanders atau pribumi, orang yang memiliki kedudukan terhormat seperti raja, priyayi, dan pengusaha; dan (4) Tiyang alit, atau orang kecil, golongan petani, buruh, dan pekerja kasar lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa  pada masyarakat pribumi, khususnya masyarakat Jawa, telah terjadi kesenjangan sosial sehingga dapat menimbulkan tingkatan atau kelas sosial. Kelas sosial tersebut dapat mempengaruhi kehidupan dan tatanan kedudukan yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat Jawa.
Geertz mengatakan bahwa kelas-kelas sosial dalam masyarakat Jawa dapat pula dilihat dari tingkatan pekerjaan. Tingkatan kelas tersebut di antaranya: (1) pejabat pemerintah; (2) kelerek atau juru tulis tinggi dan administrator tinggi, guru-guru tinggi (sekolah menengah, sekolah guru, dan sebagainya); kelerek atau juru tulis rendahan dan guru-guru rendahan; (4) pedagang, pemilik toko, petani pemilik; (5) pengrajin kecil, pedagang kecil, buruh perkebunan; (6) buruh tani tak bertanah, penganggur, dan pengemis. Pernyataan Geertz tersebut telah mengindikasikan pula bahwa perebedaan kelas sosial menjadi tolok ukur kehidupan masyarakat Jawa dalam membentuk norma-norma sosial. Kedudukan masyarakat Jawa yang memiliki kelas sosial tertinggi dapat menguasai serta menghegemoni masyarakat yang berada di kelas bawahnya. Masyarakat dengan kelas sosial rendah harus manut dan patuh terhadap peraturan dan kekuasaan dari orang yang berkelas sosial tinggi. Hal tersebut terjadi dan akan terus terjadi sehingga masyarakat Jawa membentuk ruang lingkup sendiri dengan norma dan adat istiadat untuk kelangsungan hidup sosial yang beragam.
Koentjaraningrat menambahkan bahwa masyarakat Jawa dibagi menjadi dua golongan. Pertama golongan pegawai pemerintahan yang bekerja di kantor pemerintah daerah, di instansi-instansi pemerintah, dan orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan kepegawaian, yang bekerja di belakang meja tulis. Posisi pekerjaan di atas diisi orang dari golongan bangsawan atau priyayi. Kedua, golongan orang biasa dan para pekerja kasar. Mereka dikenal dengan tiyang alit. Mereka merupakan pekerja yang menempati sektor informal, seperti petani, pedagang kecil, dan nelayan. Pekerjaan yang tiyang alit geluti adalah pekerjaan yang tidak memerlukan banyak keahlian.
Pernyatan-pernyataan di atas tentang stratifikasi sosial masyarakat Jawa berpengaruh pula pada kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa. Jika melihat pada kelas sosial masyarakat Jawa, N. Dwidjo Sewojo memberikan status kepada perempuan-perempuan Jawa pada empat kelas sebagai berikut.
(1) Golongan miskin. Para perempuan di kelas sosial ini tidak mendapatkan pendidikan; (2) Golongan menengah (cukup mampu). Para perempuan di kelas sosial ini juga tidak bersekolah dan mereka pun melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Biasanya para perempuan menikah pada usia 12 sampai 15 tahun; (3) Golongan santri. Para perempuan di sekolah ini tidak bersekolah, tetapi mereka mendapatkan pelajaran agama di rumah; dan (4) Golongan priyayi, para bangsawan. Beberapa dari mereka belajar di bangku sekolah dasar.
Para perempuan yang termasuk golongan miskin tidak pernah mendapatkan pendidikan. Mereka belajar melakukan pekerjaan di sawah hingga mereka bisa menjual hasil sawahnya. Namun, mereka terkadang belajar menjahit untuk pakaiannya sendiri. Kehidupan yang miskin telah membuat perjuangan hidup yang sangt keras bagi perempuan kelas sosial seperti ini, tetapi para perempuan mendapatkan kebebasan karena tidak ada sistem yang mengatur kehidupannya. Untuk perempuan pada kelas sosial menengah tetap tidak mendapatkan pendidikan dan mereka hanya belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (pekerjaan rumah). Jalan kehidupan yang keras membuat para perempuan tersebut menikah pada usia muda, yaitu usia 12 sampai 15 tahun. Setelah menikah biasanya para perempuan memiliki beban ganda, selain harus melakukan pekerjaan rumah, mereka pun harus membantu suaminya di sawah atau berdagang. Dengan demikian, para perempuan sebenarnya dapat menafkahi dirinya sendiri tanpa harus bergantung kepada laki-laki. Sementara itu, kaum perempuan dari kelas sosial santri banyak mendapatkan pendidikan agama di rumah. Mereka biasanya menikah pada usia 15 tahun. Mereka sangat dihargai oeleh suaminya karena dianggap memiliki kelebihan daripada perempuan-perempuan pribumi yang berada pada kelas sosial lainnya.
Golongan yang terakhir adalah perempuan dari golongan priyayi atau bangsawan yang sebagian dari mereka mendapatkan pendidikan di luar rumah. Pada usia 12 tahun biasanya para perempuan dipingit dan melakukan sedikit pekerjaan rumah karena sudah ada pelayan. Namun, pada usia 15 tahun sudah saatnya untuk menikah, para perempuan pun tetap terkekang oleh kekuasaan laki-laki. Dengan demikian, perempuan-perempuan dari kelas sosial di atas tetap diperbudak oleh keadaan untuk melayani kaum laki-laki. Para perempuan tidak bisa lepas dan bebas untuk mencari jati dirinya karena para perempuan sudah terikat oleh sistem patriarki yang memberi kekuasaan kepada kaum laki-laki untuk memperbudak kaum perempuan.
Pada dasarnya setiap kelompok dalam masyarakat memiliki stratifikasi sosial yang sudah ditentukan dan menjadi dasar dalam membangun hubungan harmonis. Masyarakat Jawa dengan berbagai perbedaan sosial menjadi satu-kesatuan dan saling membutuhkan. Dengan adanya oposisi biner, kelas atas-kelas bawah, masyarakat Jawa dipandang sebagai masyarakat yang harus menekankan sikap rasa hormat antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan kelas sosial menjadikan masyarakat Jawa kaya akan adat istiadat dan norma-norma masyarakatnya karena mereka dapat saling membantu, saling menghargai, dan saling menghormati.
Sumber:
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002).
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Aswan Mahasin (terjemahan), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).
Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H