Peniti-dasi Barlian (Tan King Tjan, 1922), Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas, dan Harta yang Terpendem (Juvenile Kuo, 1928), Njai Isah (Sie Lip Lap, 1931), dan Gadis Lobang Kubur (Kwee Khee Soei, 1953) merupakan roman-roman yang menampilkan tema mengenai perempuan pada masa kolonial atau perempuan yang menjadi gundik orang asing, baik secara terpaksa maupun dengan kesengajaan ketika perempuan dianggap sebagai "nyai".Â
Berbagai alasan mendorong perempuan untuk menyebut atau anggapan masyarakat sebagai nyai. Ada yang sengaja menjadi nyai, dari lelaki yang satu ke lelaki yang lain agar bisa hidup bersenang-senang, seperti tokoh Ros Mina dalam Kota Medan Penu dengen Impian atawa Nyai Tertabur dengen Mas, meskipun sudah memiliki suami tetapi tetap saja bermain dengan laki-laki lain. Ada yang tersiksa batinnya ketika terpaksa menjual diri demi kebutuhan hidup dalam Njai Isah dengan tokoh perempuan bernama Nyai Isah, tetapi ada pula yang dengan tulus menjadi gundik karena cintanya seperti tokoh Soematri yang menyuruh suaminya (orang Tionghoa) untuk menikah lagi dengan perempuan keturunan tionghoa pula karena persamaan ras dan dianggap sederajat di Peniti-dasi Barlian.
Selain ketiga roman di atas, roman yang berjudul Harta yang Terpendem merupakan karya Juvinele Kuo yang menceritakan tentang perempuan pribumi bernama Idja yang tertindas oleh kekuasaan laki-laki Eropa setelah kehormatannya diambil dan ditinggalkannya begitu saja. Akan tetapi, perempuan itu  bisa menjadi seorang isteri dari orang asing keturunan Eropa. Sementara itu, cerita roman Gadis Lobang Kubur menceritakan perempuan pribumi yang saling mencintai dengan laki-laki Tionghoa yaitu antara tokoh Sitti dengan lelaki Tionghoa yang dicintainya. Namun, percintaan mereka tidak bisa terwujud karena perbedaan ras dan agama.
Konstruksi pernyaian bukan hanya dipandang sebagai bahasan dari sisi seksualitas, tetapi dalam kajian ini akan menunjukkan bahwa pernyaian muncul di antara gejala sosial di masa kolonial. Aspek ras dan agama menjadi objek seorang perempuan pribumi ketika ia harus memilih menjadi nyai dalam kehidupannya. Selain itu, latar belakang sistem pendidikan dan ekonomi yang dimiliki perempuan pribumi pun akan menjadi salah satu kajian dalam penelitian ini yang dipandang sebagai salah satu alasan menjadi seorang nyai.
Perempuan-perempuan pribumi mulai akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 sampai pada tahun 1930-an berada dalam perkembangan kemunculan menjadi gundik atau pernikahan campuran, khususnya dengan orang-orang Tionghoa. Dengan segala dorongan atau sebab-musababnya menjadikan perempuan seorang nyai, maka akan dijelaskan dengan menggunakan teori feminisme multikultural. Dengan demikian, cerita yang diangkat dalam kelima roman tersebut merupakan kehidupan perempuan memiliki permasalahan dalam menentukan pilihan hidup, sehingga perempuan-perempuan tersebut melakukan hal-hal yang dianggap sudah lumrah, yaitu menjadi seorang nyai orang asing, khususnya dalam kelima roman tersebut yaitu menjadi gundik orang-orang Tionghoa.
Feminisme multikultural melihat dan mempermasalahkan ide bahwa ketertindasan perempuan itu menjadi "satu definisi" dan tidak dilihat bahwa rasa ketertindasan peremuan terjadi tergantung dari kelas dan ras, preferensi seksual, umur, agama, pendidikan pekerjaan kesehatan dan sebagainya. Hal tersebut dapat membuat perempuan terasing dan menunjukkan ketidakberdayaan atas aturan dari masyarakat. Dengan demikian, feminisme multikiultural memandang ketertindasan perempuan bukan hanya dari adanya atau pengaruh budaya patriarki saja melainkan berkaitan dengan konsep budaya yang lainnya seperti adanya perbedaan ras, kelas, seksual, perbedaan agama, pendidikan, dan mungkin kebudayaan yang ada pada masyarakat yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Oleh karena itu, teori feminis dan poskolonial memulai dengan usaha untuk melihat keterkaitan antara jender/budaya/etnisitas dengan cara menolak oposisi biner yang menjadi dasar dari otoritas patriarkal dan kolonial. Karena pada dasarnya, budaya patriarkal mengasosiasikan laki-laki dengan segala yang positif, aktif, dan tinggi, sedangkan perempuan diasosiasikan dengan segala yang negatif, pasif, dan rendah.
Sementara itu, dalam roman-roman pernyaian dapat dilihat bahwa perempuan itu memiliki kedudukan yang rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Dari segala faktor yang mendorong pandangan mengenai perempuan adalah dengan melihat pula kebudayaan yang dimiliki oleh perempuan di mana mereka hidup. Seperti halnya perempuan-perempuan yang menjadi tokoh dalam roman-roman pernyaian yang memiliki kehidupan pada masa kolonial dengan pandangan kebudayaan bahwa kaum laki-laki berada di atas perempuan dalam tindakan, kedudukan, dan kekuasaan.
Dalam kajiannya, roman-roman pernyaian merupakan satu wacana yang termasuk dalam pascakolonial, karena pascakolonial hanya bermanfaat bila kita gunakan dengan hati-hati dan dengan persyaratan-persyaratan. Namun sebaliknya, jika kita bandingkan dengan konsep patriarki dalam pemikiran feminis, yang bisa diterapkan sejauh kata itu mengacu pada dominasi laki-laki atas perempuan. Akan tetapi, ideologi dan praktik-praktik dominasi laki-laki itu beragam secara historis, geografi, dan kultural.
Dapat kita temukan bahwa proses feminisme multikultural memberikan wacana dalam mengkaji roman-roman pernyaian dalam Kesastraan Melayu Tionghoa, yakni menggambarkan citraan perempuan yang memiliki permasalahan dari berbagai kebudayaan yang menurunkan kedudukannya sehingga dianggap sebagai perempuan yang tertindas oleh keberadaan kaum laki-laki.
Teori feminisme multikultural dianggap sebagai jalan untuk menaikan kedudukan perempuan di masa kolonial. Karena dengan melihat konstruksi nyai pada zaman kolonial dilakukan bukan karena paksaan semata dari perempuan itu sendiri, tetapi dengan paksaan yang datang dari lingkungan dan kebudayaan itu sendiri yang sudah melekat dan mendominasi pada masa itu. Hal ini berarti bahwa dengan feminisme multikultural dapat menjelaskan konstruksi nyai dalam roman-roman pengarang Tionghoa peranakan.