Mohon tunggu...
Aqida Suci Alaika
Aqida Suci Alaika Mohon Tunggu... -

16 y.o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balasan Surat Tak Terduga

25 September 2014   04:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:37 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seranya Hilyara atau yang biasa disebut Anya sedang bermain dengan temannya.  Aku sedang memandangnya dari kejauhan. Ya, memang seperti ini yang sering kulakukan. Aku memang sudah tetarik dengan Anya sejak masuk SMA. Entah mengapa, ada sesuatu dalam dirinya membuatku sangat tertarik padanya. Memang ia tak secantik Jenna, cewek terpopuler angkatanku yang selalu menjadi pembicaraan teman-temanku. Namun Anya beda, ia memiliki sesuatu yang tidak dapat kudeskripsikan dengan kata-kata.

Siang itu, aku bergegas ingin ke kantin. Aku mengajak Alan, teman dekatku untuk menemaniku ke kantin. Untuk kesekian kalinya, aku bertemu dengan Anya. Langkahku terhenti, aku terus memandangnya.

“Jangan diliatin aja dong, Kel. Ajak ngobrol, kek” sahut Alan menggodaku.

“Masih gak berani gue” jawabku pelan.

“Mau sampe kapan kayak gini terus? Rumah lo, kan deket sama dia. Ajak berangkat bareng aja. Ajak lari pagi atau jalan sore, kek. Katanya lo sering liat dia kalo sore. Atau lo kirim surat ke dia”

Mendengar kalimat Alan barusan, aku tertegun. Memang benar yang dikatakan Alan. Rumahku berada dalam satu komplek yang sama dengan Anya. Itu jalan yang mudah untukku berkenalan dengannya. Namun membayangkannya membuat nyaliku mulai ciut kembali. Aku terlalu takut untuk melakukan itu.

“Ayolah, Kel. Kalau takut terus kapan kenalnya? Kirim surat aja ke dia pake nama samaran. Udah, kan selesai?” kata Alan seakan dapat membaca pikiranku.

Aku berpikir kembali. Itu bisa menjadi ide terbaik dan teraman yang dapat kulakukan untuk dapat lebih dekat dengan Anya. “Iya, makasih, Lan. Gue coba, ya”

Aku kembali melihat sekeliling kantin, mencari sosok yang telah menjadi hal pertama yang ada dalam pikiranku. Aku berhasil menemukannya, Anya sedang duduk memakan roti. Tanpa sadar senyuman telah tersungging di bibirku. Aku harus berani melakukannya!Batinku dalam hati.

Langit sudah hampir gelap. Aku yang baru saja selesai dari les gitar segera bergegas pulang ke rumah. Seperti biasa, aku sengaja melewati rumah Anya. Dengan berhati-hati, aku melirik ke arah dalam rumahnya. Anya sedang duduk di teras melihat langit berwarna oranye. Aku meliriknya lagi. Dan saat itu, ia juga melihatku serta tersenyum padaku. Oh tuhan! Anya memberi senyumannya kepadaku! Jantungku berdegup dengan cepat. Aku mepercepat langkahku agar dapat menghilang dari sana. Pipiku terasa panas akibat malu dan senang. Rasanya waktu berjalan dengan sangat lambat. Namun untunglah rumahku sudah tidak jauh dan Anya sudah tidak melihatku lagi.

Di kamar, aku masih memikirkan bagaimana kejadian tadi sore berlangsung. Aku masih mengingat persis semanis apa senyuman Anya, secantik apa wajah Anya saat itu. Memikirkannya saja sudah membuatku tersenyum tidak jelas! Tiba-tiba aku teringat dengan saran dari Alan tadi siang. Aku berpikir sejenak untuk melakukannya atau tidak. Namun nyaliku ini sudah tumbuh. Langsung kuraih kertas dan pulpen di dalam laciku.

Hilyara,

Senyummu telah mengalihkan duniaku. Kau telah memenuhi isi pikiranku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.. Aku hanya dapat melihatmu memandangmu dari jarak jauh. Memerhatikan semua segala tingkah lakumu, mencari tahu semua tentangmu, mencoba tidak peduli terhadapmu. Namun kau tak akan pernah tau.

?

Aku membaca ulang surat yang telah kutulis. Terlalu banyak coretan, batinku. Namun aku tetap membungkus surat itu dengan amplop putih. Aku harus bisa melakukan ini! Aku tidak boleh terus menerus menjadi seorang pengecut. Besok pagi, aku akan mengirimkan surat ini kepada Anya!

Paginya aku berangkat ke sekolah dengan wajah penuh semangat. Sebelum ke sekolah, aku menyelipkan surat yang telah kutulis tadi malam ke dalam kotak surat rumah Anya. Dengan melihat sekeliling rumahnya, aku memasukkan surat itu dengan hati-hati dan tersenyum puas. Alan yang melihat tingkahku yang beda hari ini bisa menebak apa yang membuatku seperti ini.

“Gimana, Kel? Udah buat suratnya?” tanya Alan di lorong kelas.

“Udah, Lan. Kemaren gue lewat rumah Anya dan dia senyum sama gue, Lan! Gila! Seranya Hilyara memberikan senyumannya kepada Kellalo Mahesa! Ah, gue seneng banget, Lan!” jawabku penuh semangat.

“Lebay lo, ah! Dia senyum ke tukang siomay lewat depan rumahnya kali” sahut Alan menggodaku.

“Ya enggaklah, Lan. Jelas-jelas yang lewat rumah dia saat itu cuma gue. Ah, gue seneng banget pokoknya!”

“Iya, deh gue percaya. Yaudah yang semangat ya, Kel. Semoga sukses!”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tiba-tiba dari arah berlawanan, Anya sedang berjalan menuju kelasnya sendirian. Rupanya ia baru sampai ke sekolah. Alan menyenggol pundakku dengan pelan, memberi kode bahwa Anya sebentar lagi akan berpapasan. Namun, yang terjadi adalah Anya sama sekali tidak melirikku. Aku sedikit kecewa akan itu. Mungkin Anya belum membaca suratku, maka ia belum menanggapi usahaku. Atau mungkin ia terlalu malu untuk senyum kepadaku di sekolah. Aku berusaha untuk berpikir postif.

Malamnya aku bersiap menulis lagi. Kuingat kembali tadi sore Anya tersenyum lagi kepadaku. Senyum yang sama, tempat yang sama, membuatku semakin senang. Mengingatnya aku semakin bersemangat untuk menulis surat keduaku ini.

Hilyara,

Aku yang kemarin. Aku telah mengirimkan surat pertamaku kemarin, sudahkah kau baca? Kuharap iya. Perlu kau tahu bahwa kau merupakan bagian dari segala mimpi indah yang sejauh ini kudapatkan. Kau tak tahu bahwa dibutuhkan berjuta kekuatan hanya untuk mengungkapkan. Begitu besar rasa yang telah kutahan. Dan mengapa aku masih bertahan? Ya, karena akan selalu ada harapan di tengah sebuah penantian, bukan? Semoga hari-harimu indah :)

?

Kuhembuskan nafas sesaat setelah surat keduaku selesai. Kumatikan lampu kamarku, berharap melihat Anya di dalam mmipi dan berharap akan ada perubahan menyenangkan esok hari.

——————–

Tak terasa sudah sebulan ini aku kirimkan surat setiap pagi kepada Anya, namun tidak ada perubahan sama sekali. Setiap kali bertemu Anya, ia sama sekali tidak tersenyum padaku bahkan ia tidak melirikku. Namun, pada sore hari saat aku melewati rumahnya, ia selalu terduduk di teras dan tersenyum padaku. Bahkan aku sempat membalas senyumannya. Apakah ia malu jika menyapaku di sekolah? Aku sendiri tidak tahu.

Sore itu, aku melewati rumah Anya lagi. Seperti biasa, Anya duduk di teras rumahnya. Dan lagi, ia tersenyum padaku. Aku memberanikan diri untuk membalas senyumannya. Namun tiba-tiba ia berdiri dan keluar menghampiriku. Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu harus apa.

“Kello?” kata Anya pelan, hampir tidak terdengar.

“I… Iya?” jawabku dengan gugup.

“Aku ingin jalan-jalan. Sudah lama aku tidak keliling komplek. Mau menemani aku?”

“B… Baiklah”

Aku dan Anya berjalan beriringan menyusuri jalan yang tidak terlalu ramai. Sungguh, aku sangat bingung ingin berbuat apa. Aku terlalu gugup berjalan di samping Anya.

“Kel, bagaimana kamu menekspresikan perasaanmu kepada seseorang?” tanya Anya tiba-tiba.

“Heh? Mengapa kamu bertanya seperti itu?” kataku kebingungan.

“Tidak, aku hanya bertanya.”

“Tergantung. Kalau rasa kesal, akan kupendam sekuat mungkin. Kalau rasa senang, akan kupamerkan kepada semua orang. Kalau rasa sedih, akan kututupi hingga tidak terlihat. Kalau rasa cemas, akan kutumpuk dengan pikiran positif” Jawabku dengan senyum lebar.

Anya tertawa kecil hingga membentuk bulatan kecil seperti lubang di pipinya “Kamu seperti anak kecil, ya ternyata. Masa kalau senang dipamer ke orang, sih?”

“Iya, dong! Kalau kamu seperti apa?”

“Semua perasaan, senang, sedih, marah, kesal, cemas, panik, biasa kusimpan rapat-rapat. Banyak hal yang tidak dapat dijelaskan, bukan? Aku lebih memilih diam.”

“Mengapa begitu? Bukankah lebih enak diceritakan kepada teman atau orang untuk berbagi?”

“Iya, hanya saja aku bukan tipe orang yang terbuka.”

“Hmm… Begitu. Maka, cobalah untuk membuka dirimu. Kamu tidak akan tahu rasanya diberi saran oleh orang jika kamu terus menutupi dirimu sendiri.”

“Iya. Makasih, ya, Kello. Senang berteman denganmu. Udah mau maghrib, aku pulang dulu, ya. Terima kasih banyak sekali lagi.”

Anya langsung bergegas pergi tanpa menghiraukan jawaban dariku. Obrolan kami sore ini mengalir dengan sendirinya walau awalnya aku canggung. Entah mengapa ada sesuatu yang aneh dalam perasaanku. Namun, aku tak terlalu memikirkannya. Malam ini aku harus tetap menuliskannya surat. Surat ke 31.

Hilyara,

Kau tidak tahu bahwa sedang ada ratusan kupu-kupu kecil yang berterbangan di dadaku saat kumemikirkanmu. Kau membuat semua mimpiku menjadi nyata. Sorot matamu menghilangkan semua keraguan dalam diriku. Kau membuat semuanya seakan terasa sempurna dan tak ada habisnya. Siapapun dirimu, bagaimanapun rupamu, entahlah apakah ini dapat disebut cinta, tapi mohon percayalah padaku. Semoga harimu tetap dan akan selalu menyenangkan :)

?

Aku tidak dapat berhenti tersenyum saat membaca ulang suratku hingga tak sadar aku sudah terlelap dalam tidurku.

Esok harinya, aku sangat bersemangat masuk sekolah. Tak pernah kusembunyikan senyum di wajahku ini. Tiba-tiba, Anya datang ke arahku. Alan yang berada di sebelahku tersenyum menggodaku.

“Kello, boleh bicara sebentar?” tanya Anya yang sudah berada di hadapanku.

“Iya” jawabku yang tampak santai. Jantungku tidak berdegup kencang seperti kemarin.

Anya mengajakku menjauh dari Alan. Lalu ia mengambil sebuah amplop warna merah dari dalam saku bajunya. “Ini ada surat, balasan dari semua surat-surat yang telah kamu kirimkan. Tolong jangan kaget saat membacanya. Kuharap kamu mengerti, dan akan tetap mecintainya apa adanya. Bukankah itu yang telah kamu tuliskan saat di surat tadi malam?”

“Maksud kamu apa?” tanyaku gelagapan.

“Sudah baca saja dulu. Aku akan menjawab semua pertanyaan saat nanti selesai kau baca. Lebih baik bacanya di tempat sepi ya, pulang sekolah kita bertemu di taman belakang sekolah.”

Aku mengangguk kebingungan sementara Anya telah pergi meninggalkanku sendirian. Aku sangat penasaran apa isi dari surat ini, aku telah membayangkan bahwa isinya adalah balasan perasaan Anya yang ternyata ia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Membayangkannya pun sudah membuatku hampir gila. Maka kuputuskan akan membacanya saat pulang sekolah nanti agar setelah selesai aku segera menemui Anya di taman belakang sekolah.

Bel pulang berbunyi, aku berpamitan dengan Alan untuk segera pergi. Aku segera pergi ke taman belakang sekolah, membuka amplop merah itu dan membaca isinya

Kellalo Mahesa,

Aku yakin kamu akan kaget saat membaca suratku. Aku yakin kau mengira aku Anya, kan? Kamu salah, Kellalo. Aku adalah Serayla Hilyara. Orang-orang biasa memanggilku Ayla. Kamu kebingungan, ya? Ah aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu kebingungan. Namun di sini aku hanya ingin mengungkapkan segala perasaanku.

Kau ingat kemarin saat aku bertanya tentang bagaimana cara mengekspresikan diri? Ya, aku lebih memilih diam bukan? Namun saat ini, aku buka diriku untukmu. Aku terlahir dengan sedikit kesalahan dalam paru-paruku. Kata mama, itu wajar. Namun lama kelamaan aku sering merasa sakit hingga jatuh pada titik terlemah. Aku tak bisa hidup layaknya anak-anak seusia kita. Namun aku selalu mendapat dukungan dari kakakku, Seranya Hilyara. Ya, kami adalah sepasang kembar yang sangat mirip hingga sulit untuk membedakannya. Orangtua kami terlalu sibuk hingga kamilah yang melengkapi satu sama lain.

Orang yang kamu lihat di teras setiap sore adalah aku. Orang yang memberikan senyumannya pada saat itu adalah aku. Orang yang mengintipmu dari balik jendela kamar saat pagi-pagi kamu menyelipkan suratmu dalam kotak surat adalah aku. Namun, kenyataan pahitnya adalah kamu menganggapku sebagai Anya, bukan sebagai Ayla. Entah apa reaksimu setelah ini, berhenti mengagumiku atau justru tetap menerimaku sebagai Ayla.

Kelallo, kau bilang saat kau kesal akan kau pendam bukan? Maka pendamlah rasa kesalmu atas kesalahanku menipumu selama ini. Saat kau senang akan kau pamerkan bukan? Maka pamerkanlah rasa senangmu karena kau telah menerima kebenaran bahwa aku ini Ayla. Saat kau sedih akan kau tutup bukan? Maka tutuplah serapat mungkin sedihmu itu karena orang yang selama ini kau kagumi adalah Ayla bukan Anya. Saat kau cemas akan kau timpa dengan pikiran positif bukan? Maka berpikirlah bahwa hanya aku yang dapat menerimamu sampai nanti.

Kellalo, kau tidak tahu betapa setiap kali kumembaca suratmu senyum mengembang lebar di wajahku. Betapa mataku bersinar cerah melihatmu lewat depan rumahku. Kau membuat semua mimpiku menjadi nyata. Namun, akankah semua harapanku tetap hidup? Akankah kau menerimaku sebagai Ayla? Ah, ya! Aku memang tak pandai merangkai kalimat manis sepertimu, namun percayalah bahwa perasaanku lebih besar dari yang kau sangka. Semoga kau tidak terkejut :) dan semoga harimu lebih berwarna!

Hilyara

Seketika itu juga aku kaget membaca suratku. Rasanya seperti melayang tak menapakkan kaki di tanah. Segera kumencari Anya untuk meminta penjelasan. Seperti orang yang kerasukan, aku berlari panik mencari dimana Anya. Namun usahaku tak berhasil. Aku mencari Anya ke seluruh penjuru sekolah namun ia sudah tidak ada. Maka aku berlari sekuat tenaga pergi menuju rumah Anya. Aku tidak memikirkan sejauh apa jarak rumahnya.

Aku hampir sampai di rumah Anya, dan dari kejauhan aku melihat sesosok perempuan tersenyum kepadaku. Sorot matanya lain, senyumannya tidak semanis saat aku melihatnya di teras rumah. Ia tidak dapat membuat jantungku berdegup kencang. Aku memelankan lariku hingga berjalan pelan, menghampiri perempuan yang entahlah Anya atau Ayla.

“Anya?” tanyaku sambil ngos-ngosan, memastikan bahwa aku berbicara dengan Anya.

“Bagaimana kau bisa berkesimpulan bahwa aku adalah Anya?” sahut Anya.

“Entahlah. Aku hanya berpikir perempuan yang setiap sore memberikan senyumannya padaku bukanlah kamu. Senyummu tidak selebar senyumnya. Atau aku salah?”

“Bagaimana jika dugaanmu salah?”

“Aku hanya yakin dengan dugaanku. Cara berbicaramu berbeda, auramu berbeda, sorot matamu berbeda, semua dalam dirimu berbeda dengan perempuan pada setiap sore itu”

Seketika yang diajak berbicara tersenyum. “Bagaimana kalau seperti ini? Apa kau masih yakin dengan dugaanmu?”

Aku semakin bingung. Kuperhatikan perempuan itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Apakah Ayla benar-benar ada? Atau ini hanya permainan yang dibuat Anya semata untuk mengujiku? Aku memperhatikan lagi semuanya. Perempuan yang di depanku sangat mirip dengan perempuan yang selalu memberikan senyumannya kepadaku setiap sore, namun aku masih merasa janggal.

Sementara aku berpikir, perempuan di hadapanku terlihat menunggu jawaban dariku dengan penasaran. “Hm… Kamu memang sangat mirip dengan entahlah yang kau sebut Ayla itu. Tapi… Ah! Aku menemukannya! Kau tidak memiliki lesung pipi! Benar begitu?” jawabku dengan sangat bersemangat saat aku tahu perbedaan antara Anya dan Ayla. Jadi, benarkah Ayla itu ada?

Tiba-tiba datang sesosok perempuan yang memakai baju merah muda dan rambutnya diikat setengah. Sungguh saat itu jantungku berdegup dengan sangat kencang! Bagaimana tidak, terdapat dua perempuan yang memiliki kesamaan wajah di hadapanku. Ini membuatku gila! Aku sampai memperhatikan keduanya dengan saksama, mencari perbedaan diantaranya. Saat itu juga perempuan yang baru saja datang tersenyum padaku, memperlihatkan lesung pipi manisnya. Sorot mata yang sama, senyuman yang sama.

“Aku kehabisan kata-kata. “Mau jalan-jalan sore denganku?” tanya Ayla dengan senyumannya. Aku hanya dapat membalas ajakannya dengan anggukan.

“Jagain Ayla ya, Kel. Jangan sampai dia kelelahan” pesan Anya dengan tersenyum.

Aku dan Ayla kini berjalan berdampingan. Aku sangat bingung bagaimana membuat kondisi ini menjadi tidak gugup. Jantungku pun sampai saat ini masih berdegup kencang.

“Bagaimana perasaanmu? Bagaimana kau tahu bahwa yang di depan tadi adalah Anya?” tanya Ayla pelan, membuka topik pembicaraan.

“Hm… Aku hanya merasa ada yang beda. Aku telah merekam tentangmu. Sorot matamu, senyummu, auramu. Aku hanya tidak merasakannya saat tadi berhadapan dengan Anya” jawabku gugup.

“Lalu?”

“Jantungku tidak berdegup kencang saat aku berada di hadapan Anya tadi” jawabku sepelan mungkin.

Ayla terlihat kaget sekaligus bahagia mendengarnya. Ia merasa semua mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Sesaat mereka berdua bertatapan, terjebak dalam kebisuan.

“Semua masih terasa mimpi bagiku. Kau membuat semuanya berjalan tak teduga dan mengakhirinya dengan sempurna. Walaupun ini baru di awal, aku akan mencoba menjadi yang terbaik untukmu, Serayla Hilyara”

Ayla hanya tersenyum mendengar pernyataanku. Senja kali ini terasa sangat berbeda. Kami terus berjalan mengelilingi komplek di bawah langit oranye. Semua masih terasa layaknya mimpi bagi kami. Tapi itu bukan masalah bagiku, karena sekarang aku sedang bersama perempuan yang selalu membuat jantungku berdegup kencang, Serayla Hiraya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun