Keberadaan Alin dirumahku ternyata justru membuatku semakin penasaran dengan cahaya matahari yang muncul dari dalam kamar.
  Dengan kata lain, dia bukan hanya membawa harapan tapi juga untuk diperhatikan lebih seksama. Ketika aku pergi melihat apa yang sedang Alin lakukan dikamar selain tidur, aku tidak pernah menyangka bahwa akan seperti ini. Dia menemukan sebuah kepingan kenangan yang tersimpan didalam lemari pakaian.
  Sebuah foto pernikahan yang dulu pernah aku simpan didalam lemari. Foto itu memang sengaja dulu aku simpan, aku tidak tahu kalau Alin akan mendapatkan nya.
  Aku tidak bisa melangkahkan kakiku berjalan menuju kepadanya. Dia dalam keadaan yang begitu sedihnya. Tidak seperti saat dia tahu kalau aku pernah mencintai wanita yang bernama Lina.
  Perlahan aku menutup pintu kamar yang sudah aku buka. Kubiarkan dia sendirian didalam kamar, aku tidak ingin mengganggu nya dalam keadaan seperti itu. Jangan sampai aku kesana kemudian dia akan mempertanyakan siapa wanita yang dilihatnya didalam foto bersamaku dengan pakaian pengantin itu.
  Ini yang aku khawatirkan. Kukira perasaan khawatir ini akan datang dari pertanyaan dan ketidak setujuan orang tuaku terhadap kedatangan Alin dirumah ini. Tapi justru, aku yang ceroboh, aku yang tidak teliti, aku yang salah dalam menempatkan kepingan kenangan itu. Semestinya aku membuangnya dari dulu sejak aku berpisah dengan wanita pilihan orang tuaku.
  "Ini bagaimana ?.'' Kataku sendiri menyikapi apa yang baru saja aku lihat.
  Sudah siang, Alin baru keluar dari kamar. Dia menghampiri ku didepan rumah bersama kedua orang tuaku. Ayah yang baru saja pulang dari rumah temannya, menyambut hangat calon menantunya itu. Sementara ibuku langsung memanggil Alin untuk duduk diantara kami.
  Tidak ada kata-kata apa-apa yang keluar dari mulutnya. Sepertinya dia ingin mempertanyakan apa yang dilihatnya didalam lemari tadi.
  Aku paham dia ingin mengatakan nya padaku. Hal itu terlihat jelas dari sorot matanya yang agak berbeda dari biasanya. Cahaya mata yang biasanya memancar penuh kasih itu kini memudar layaknya cahaya matahari yang tertutup oleh awan disiang hari ini.
  Ternyata bukan hanya aku yang memahami hal itu. Mungkin karena sama-sama wanita, ibuku juga mengetahui bahwa ada hal yang sebenarnya ingin Alin sampaikan padaku.
  Mata ibuku bergantian melihat kearah Alin dan kearah ku sampai-sampai aku salah tingkah dengan kedua sudut pandang yang senantiasa memberi tahu ku bahwa aku memiliki kesalahan yang tidak bisa ditolerir oleh sucinya perhatian padaku.
  Karena tidak ingin melihat wajah suram menambah citarasa cuaca disiang ini, ibu dan ayah lalu masuk kedalam rumah dan membiarkan kami berdua diluar.
  kataku padanya, ''keganjilan wajah yang begitu cantik, jangan kamu buat seperti itu, Alin ?.''
  Belum ada respon yang positif darinya bahkan dia terkesan seakan tidak mendengar kan apa yang aku katakan padanya.
  "Aku tidak butuh perhatian mu." Jawabnya dengan nada yang agak panas.
  "Apa salahku !. Mengapa setelah keluar dari dalam kamar, kamu berubah seperti ini. Aku tidak ingin kamu seperti ini, berubah nama menjadi suatu perkara yang tidak aku pahami, membuat ku bingung seperti apa aku akan memanggilmu''_
  "Coba katakan padaku, katakan apa yang terjadi ?. Bisakan untuk tidak menyembunyikan sesuatu dariku ?. Kalau seperti ini, aku juga bingung, Alin."
  "Masihkah kamu tidak tahu apa yang terjadi ?. Apa yang aku tahu, kamu juga tahu tapi sudahlah !. Sebenarnya tidak perlu dibahas dan juga tidak usah merasa ada yang terjadi, cukup aku yang tahu. Ini bukan tentang siapa yang harus diperhatikan tapi tentang keterbukaan informasi yang seharusnya aku tahu sebelum hatiku, perasaan ku, bahkan segalanya kamu dapatkan dariku."
  Mendengar setiap ungkapan amarah itu, aku hanya bisa membalasnya dalam pikiran ku, ''aku paham sebenarnya, Alin. Namun aku berpikir sebisa mungkin seperti apa caranya mengatakan nya padamu. Aku menjaga hubungan, perasaan mu, cinta yang baru saja dimulai ini. Aku lupa kalau sebenarnya kamu tidak mau menerima kenyataan kalau aku selain memiliki pernah mencintai Lina juga pernah menikah dengan wanita yang lain.''
  "Mengapa kamu diam ?. Apakah begini caramu mencintaiku ?. Seharusnya jika kamu memang mencintai ku maka tidak perlulah ada rahasia-rahasia yang kamu sembunyikan dariku. Aku ini adalah awal baru yang semestinya kamu bahagiakan, Syarif."
  Tetap saja aku masih belum bisa mengambil kesimpulan untuk mengatasi amarah emosi yang bersarang di kepalanya Alin. Untung saja aku diselamatkan oleh ibuku yang langsung keluar dari dalam rumah.
  Ibuku ternyata mendengar dari tadi apa yang Alin inginkan dariku. Jika karena ketidak-jujuranku yang membuat nya marah maka ibu mungkin akan menjelaskan kepadanya.
  Ibuku langsung duduk didekat nya Alin. Namun ternyata bukan untuk menjelaskan tentang apa yang dilihat oleh di dalam kamar tadi. Melainkan menanyakan kepadanya tentang keseriusan nya padaku.
  "Nak Alin, ibu cuma pengen tahu, apakah kamu serius dengan Syarif, anak kami ?."
  Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Alin. Alin hanya menatap ibuku dan agak sedikit berbeda dari raut wajah yang tadi.
  '''Semoga Alin akan menjawab iya pertanyaan ibuku barusan.'' Kataku dalam hati.
  "Serius !.'' Jawabnya. "Namun aku ingin tahu satu hal bu, apa bisa ?.'' Lanjut nya pada ibuku.
  "Bisa !."
  "Foto wanita yang berpakaian pengantin didalam kamar tepatnya dalam lemari yang aku lihat sedang berdampingan dengan Syarif, itu istrinya atau siapa ?."
  Ibuku mengira bahwa Alin mempertanyakan foto pengantin itu, biasa saja. Tidak ada apa-apa selain keinginan untuk mengetahuinya. Dengan santai ibuku menjawabnya, "wanita didalam foto itu adalah mantan istrinya."
  Nggak tahu seperti apa perasaan Alin sesaat sudah mendengar pengakuan ibu padanya. Aku hanya melihat, tidak akan ada lagi waktu yang paling indah yang bisa aku habiskan dengan nya.
  "Oh gitu. Aku mau masuk kamar dulu, bu."
  Itu kubilang, dia langsung pamit masuk. Apa jadinya jika sudah seperti ini. Bingung jadinya, ini yang aku khawatir kan, sebuah perasaan yang merasakan rasa sakit bahkan untuk melihat segalanya membaik, aku harus berjuang memberinya kebahagiaan lagi dengan cara yang paling halus.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H