Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menabung atau Self-Reward? Tunda Gratifikasi Vs YOLO

28 September 2024   10:37 Diperbarui: 28 September 2024   13:39 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Alexander Grey on Unsplash 

Namun, ada salah satu godaan; hidup cuma sekali dan uang ga dibawa mati.

You Only Live Once (YOLO)

Di sisi lain, ada mindset atau pola pikir YOLO, di mana orang memprioritaskan hidup untuk saat ini, sering kali membenarkan pengeluaran impulsif dengan gagasan bahwa hidup ini singkat, dan masa depan tidak ada yang bisa menjamin.

Pola pikir ini diperkuat oleh media sosial, di mana orang memamerkan gaya hidup mewah, liburan mewah, dan pembelian mahal.

Rasa takut ketinggalan (Fear of Missing Out atau FOMO) juga memperkuat filosofi YOLO, mendorong orang untuk berbelanja dan menghabiskan uang sekarang daripada menunggu nanti.

(Baca artikel saya tentang FOMO di sini)

Keinginan untuk hidup di masa sekarang berakar pada sistem penghargaan (rewarding) otak kita. Saat kita memanjakan diri, otak melepaskan dopamin, neurotransmitter "perasaan senang", yang memperkuat perilaku tersebut, sehingga kita cenderung mengulanginya.

Inilah sebabnya mengapa membeli sesuatu yang baru bisa terasa sangat memuaskan, meskipun sebenarnya tidak perlu. Itulah sebabnya mengapa menghabiskan uang  bisa terasa lebih memuaskan daripada menabung untuk masa depan yang tampak jauh dan abstrak.

Terlebih lagi, pola pikir "Saya bekerja keras, saya pantas mendapatkannya" merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang sering kali membenarkan pengeluaran yang kita sebut self-reward, bahkan ketika pengeluaran tersebut mungkin tidak sejalan dengan tujuan keuangan jangka panjang. Untuk mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan saja banyak dari kita masih belum mampu, sehingga konsep self-reward sering kali hanya menjadi alasan untuk pengeluaran yang sebenarnya bisa tidak dilakukan. Keyakinan ini memanfaatkan konsep yang dikenal sebagai bias hak, di mana kita merasa bahwa karena kita telah berusaha—baik melalui kerja keras, menahan stres, atau berkorban—kita telah mendapatkan imbalan, bahkan jika imbalan tersebut harus dibayar dengan harga mahal.

Keyakinan bahwa "Saya bekerja keras, saya pantas mendapatkannya" merupakan respons alami terhadap usaha yang dilakukandan stres yang dialami, tetapi dapat menyebabkan jebakan finansial jika tidak dikelola dengan hati-hati. Penting untuk mencapai keseimbangan antara memberi penghargaan kepada diri sendiri dan tetap berkomitmen pada masa depan finansial kita. Dengan mengenali pendorong psikologis di balik pola pikir ini, kita dapat mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab sambil tetap memastikan kesuksesan finansial jangka panjang.

Lagi pula, kita berhak mendapatkan ketenangan finansial sama seperti kita berhak self-reward sesekali yang terkontrol.

Bias Kognitif: Mengapa Kita "Berjuang" Menabung

Keputusan kita tentang uang sering kali dipengaruhi oleh bias kognitif, yang merupakan jalan pintas mental yang dapat menyesatkan kita. Salah satu bias tersebut adalah bias masa kini, kecenderungan untuk menilai terlalu tinggi reward langsung di masa kini dan meremehkan potensinya masa depan. Hal ini membuat menabung untuk tujuan jangka panjang, seperti pensiun, menjadi lebih sulit karena kepuasan atas keamanan finansial di masa depan tidak terasa semenarik langsung jajan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun