Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pernah Mulas, Mual, atau Pusing Ketika Panik atau Cemas? Mari Mengenal Konsep Psikosomatis

26 Juni 2023   17:25 Diperbarui: 1 Juli 2023   13:55 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Nik on Unsplash

Bukan tidak aneh, jika ketika seseorang divonis satu penyakit kronis lalu panik, stres, atau cemas.

Tapi, selain menjadi akibat, hal-hal seperti panik, stres, atau cemas juga bisa jadi sebab.

Beberapa dari kita mungkin pernah tiba-tiba mulas ketika cemas karena tiba-tiba dipanggil atasan, atau sakit kepala ketika panik karena tiba-tiba disuruh presentasi tanpa persiapan yang cukup, atau mual sebelum ujian, atau mungkin merasa panas dingin ketika merasa stres karena akan tampil di depan umum.

Hal-hal di atas merupakan fenomena psikosomatis; yang secara sederhana dapat diartikan sebagai "ketika pikiran mempengaruhi tubuh", di mana faktor psikologis bermanifestasi sebagai gejala atau kondisi fisik.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara stres, kecemasan, dan respons psikosomatis seperti mual dan migrain. Dengan mengeksplorasi konsep psikosomatis, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kesejahteraan mental kita memengaruhi kesehatan fisik kita.

Pembahasan dalam artikel ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu kajian hubungan antara pikiran dan tubuh, sejarah perkembangan teori gejala psikosomatis, serta cara mengatasi dan menghindari gejala psikosomatis.

Hubungan antara pikiran dan tubuh

Hubungan antara pikiran dan tubuh adalah ide pokok dari teori psikosomatis. Psikosomatis terjadi ketika keadaan psikologis kita dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan fisik kita. Panik, stres, cemas, dan faktor emosional lainnya dapat memicu respons fisiologis, yang menyebabkan gejala seperti mulas, sakit kepala, mual, dan lain-lain. Gejala-gejala ini berfungsi sebagai pengingat yang kuat bahwa kondisi mental dan emosional kita terkait erat dengan kesehatan fisik kita.

Ada banyak keadaan emosional yang dapat menjadi pemicu psikosomatis, misalnya panik, stres, dan cemas. Saat kita mengalami stres atau kecemasan, sistem respons stres tubuh kita menjadi aktif, menyebabkan pelepasan hormon stres seperti kortisol. Stres yang berkepanjangan atau kronis dapat mengganggu berbagai fungsi tubuh, termasuk pencernaan dan sirkulasi darah, yang dapat menyebabkan gejala seperti mual. Selanjutnya, ketegangan dan penyempitan pembuluh darah sebagai respons terhadap stres dapat memicu migrain atau sakit kepala parah.

Pengalaman psikosomatis dapat dipahami melalui model biopsikososial, yaitu karena interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Model tersebut menunjukkan bahwa keadaan psikologis dan emosional kita memengaruhi fisiologi kita, dan sebaliknya. Dalam kasus stres dan kecemasan, beban psikologis dan emosional dapat bermanifestasi secara fisik, menyebabkan berbagai gejala.

Teori psikosomatis menyatakan bahwa bahwa emosi, pikiran, keyakinan, dan stres dapat berdampak langsung pada fungsi dan proses tubuh. Berikut adalah faktor yang mempengaruhi hubungan antara pikiran dan tubuh:

  • Faktor Emosional dan Psikologis:
    Faktor psikologis, seperti stres, kecemasan, depresi, dan trauma, dapat memengaruhi kesehatan fisik. Reaksi dan keadaan emosional dapat memicu respons fisiologis dalam tubuh, yang menyebabkan perubahan detak jantung, tekanan darah, kadar hormon, fungsi kekebalan tubuh, dan banyak lagi. Misalnya, stres kronis dapat menyebabkan kondisi seperti hipertensi, gangguan pencernaan, dan melemahnya fungsi sistem kekebalan tubuh.
  • Respons Stres dan Jalur Neuroendokrin:
    Stres memainkan peran penting dalam hubungan antara pikiran dan tubuh. Saat kita mengalami stres, tubuh mengaktifkan respon stres yang biasa dikenal dengan respon fight-or-flight. Respons ini melibatkan pelepasan hormon stres, seperti kortisol dan adrenalin, yang dapat berdampak luas pada tubuh. Stres yang berkepanjangan atau kronis dapat mengganggu proses tubuh, menyebabkan berbagai gejala dan kondisi psikosomatis.
  • Gangguan Psikofisiologis:
    Teori psikosomatis mengakui adanya gangguan psikofisiologis, di mana faktor psikologis berkontribusi pada memperparahnya atau eksaserbasi gejala atau kondisi fisik. Contohnya termasuk migrain, sindrom iritasi usus besar (IBS), fibromyalgia, dan gangguan gejala somatik. Gangguan ini sering melibatkan interaksi yang kompleks antara tekanan emosional dan gejala fisik.
  • Modulasi Sistem Saraf Pusat:
    Sistem saraf pusat, yang meliputi otak dan sumsum tulang belakang, memainkan peran penting dalam hubungan antara pikiran dan tubuh. Proses emosional dan kognitif dapat memodulasi fungsi sistem saraf pusat, memengaruhi fungsi tubuh, persepsi nyeri, dan respons imun. Neurotransmiter, seperti serotonin dan dopamin, terlibat dalam mengatur suasana hati dan sensasi fisik.
  • Efek Placebo dan Nocebo:
    Teori psikosomatis mengakui pengaruh faktor psikologis pada hasil pengobatan. Efek plasebo mengacu pada fenomena di mana seseorang mengalami peningkatan gejala atau kesehatan karena keyakinan akan keefektifan suatu pengobatan, bahkan jika pengobatan itu sendiri tidak efektif. Sebaliknya, efek nocebo terjadi ketika ekspektasi dan keyakinan negatif tentang pengobatan atau kondisi menyebabkan pengalaman efek samping negatif atau gejala yang memburuk.

Memahami hubungan antara pikiran dan tubuh sangat penting dalam teori psikosomatis karena menyoroti pengaruh dua arah antara kesejahteraan mental dan fisik. Dengan mengenali dampak faktor psikologis terhadap kesehatan fisik, pendekatan psikosomatis bertujuan untuk mengatasi tekanan emosional yang mendasari dan gejala fisik, mendorong kesejahteraan holistik dan mendukung penanganan kesehatan secara terpadu.

Sejarah perkembangan teori psikosomatis

Sejarah dan perkembangan teori psikosomatis bermula sejak awal abad ke-20 ketika para peneliti dan dokter mulai mengeksplorasi interaksi antara faktor psikologis dan fisik dalam kesehatan dan penyakit. Teori psikosomatis berkembang melalui kontribusi dari berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, kedokteran, dan ilmu saraf. 

Akar teori psikosomatis dapat ditelusuri kembali ke Sigmund Freud, seorang psikiater yang menginisiasi psikoanalisis dan psikologi secara umum. Freud mengusulkan bahwa konflik bawah sadar dan tekanan emosional dapat bermanifestasi sebagai gejala fisik. Dia memperkenalkan konsep penyakit psikogenik, menunjukkan bahwa faktor psikologis dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan fisik.

Pada pertengahan abad ke-20, psikosomatis mulai berkembang dalam bidang kedokteran. Pelopor seperti Franz Alexander, George Engel, dan John E. Sarno memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman fenomena psikosomatis. Mereka menekankan peran stres, emosi, dan faktor kepribadian dalam menimbulkan dan memperparah gejala dan penyakit fisik.

Perkembangan model biopsikososial pada tahun 1970an semakin memajukan teori psikosomatis. Model yang dikemukakan oleh George Engel ini memperluas perspektif kesehatan dan penyakit dengan mempertimbangkan interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Diakui bahwa pikiran, tubuh, dan lingkungan sosial saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain dalam kesehatan dan penyakit.

Penelitian dalam psikofisiologi dan sistem respons stres memberikan wawasan lebih lanjut tentang mekanisme yang mendasari hubungan pikiran-tubuh. Hasil penelitian seperti milik Hans Selye dan Robert Ader mengeksplorasi efek fisiologis stres dan dampak stres pada berbagai sistem tubuh, seperti sistem kekebalan tubuh.

Pada akhir abad ke-20, muncul bidang psikoneuroimunologi yang berfokus pada hubungan antara pikiran, sistem saraf, dan sistem kekebalan. Bidang ini menyelidiki bagaimana faktor psikologis, seperti stres dan emosi, dapat memengaruhi fungsi kekebalan dan kesehatan secara keseluruhan.

Teori psikosomatis telah mempengaruhi perkembangan pendekatan holistik untuk kesehatan dan intervensi. Kedokteran integratif, yang mengkombinasikan pengobatan medis konvensional dengan pendekatan komplementer dan alternatif, seringkali menggabungkan perspektif psikosomatis.

Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian terus mengeksplorasi aspek psikosomatis dari berbagai kondisi, seperti nyeri kronis, penyakit kardiovaskular, gangguan pencernaan, dan gangguan autoimun. Kemajuan dalam ilmu saraf dan teknologi telah memberikan jalan baru untuk menyelidiki mekanisme yang mendasari dan mengembangkan intervensi yang lebih bertarget.

Secara keseluruhan, sejarah dan perkembangan teori psikosomatis mencerminkan adanya interaksi yang kompleks antara faktor psikologis dan fisik dalam kesehatan dan penyakit.

Mengatasi dan menghindari gejala psikosomatis 

Jujur, sebenarnya gejala psikosomatis sulit untuk dihindari. Berbagai gejala psikologis seperti cemas, stres, dan sebagainya merupakan sinyal bahwa kita menghadapi sesuatu sehingga tubuh kita juga akan mempersiapkan pasukan organ untuk menghadapi sesuatu tersebut.

Meskipun demikian, kita dapat memanfaatkan pasukan yang telah disiapkan tubuh tersebut dan menghindari eksaserbasi.

Mengenali sifat psikosomatis dari gejala yang kita alami adalah langkah penting untuk mengelola dan meredakannya. Berikut adalah beberapa cara mengatasi yang semoga dapat membantu:

  • Manajemen Stres: Kita perlu memahami bahwa stres tidak selalu bersifat negatif, namun sangat rentan untuk bersifat destruktif. (Baca tulisan saya mengenai stres yang sehat di sini). Ketiks stres berdampak negatif bagi kita, mempelajari teknik manajemen stres yang efektif seperti latihan pernapasan dalam, meditasi kesadaran, dan melakukan aktivitas relaksasi dapat membantu mengurangi stres dan mencegah eksaserbasi gejala psikosomatis. 
  • Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy; CBT): CBT adalah pendekatan terapi yang berfokus pada mengidentifikasi dan memodifikasi pola pikir dan perilaku maladaptif. Ini dapat membantu individu mengatasi stres, kecemasan, dan gejala fisik yang terkait dengan pengalaman psikosomatis dengan lebih baik. Ketika kita memahami bahwa kita cemas atau stres karena akan menghadapi atau dihadapkan pada sesuatu, tubuh kita jadi bekerja lebih ekstra untuk mempersiapkan diri. Jantung memompa lebih kencang, otak bekerja lebih keras, jaringan-jaringan di otot merapatkan barisan. Kita bisa melihat ini sebagai sinyal kita takut atau sinyal bahwa kita siap menghadapi apa pun itu. Kita bisa menganggap tubuh kita jadi gila atau tubuh kita ikut excited. Menganggap tubuh kita bereaksi untuk mempersiapkan kita dan mendukung kita biasanya works di banyak orang.
  • Modifikasi Gaya Hidup: Mengadopsi gaya hidup sehat yang mencakup olahraga teratur, nutrisi seimbang, tidur yang cukup, dan aktivitas pengurangan stres dapat berkontribusi pada kesejahteraan secara keseluruhan dan membantu mengelola gejala psikosomatis. Ketika kita kurang tidur atau kurang asupan gizi dan dihadapkan oleh suatu tekanan,tubuh kita mungkin jadinya jauh lebih ekstra dari seharusnya sehingga gejala psikosomatis bisa jadi lebih parah.
  • Mencari Dukungan: Konsultasi dengan profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau konselor, dapat memberikan bimbingandan dukungan dalam memahami dan mengelola gejala psikosomatis. Mereka dapat membantu kita mengeksplorasi faktor psikologis yang mendasari yang berkontribusi terhadap gejala kita dan mengembangkan strategi penanganan yang efektif.

Gejala psikosomatis, seperti mulas ketika panik, berkaitan dengan hubungan rumit antara pikiran dan tubuh kita. 

Mens sana in corpore sano, seperti yang tercantum dalam Satire.

"Mens sana in corpore sano" ditemukan dalam Satire X karya Juvenal, pada baris 356-357. Baris lengkapnya berbunyi, "Orandum est ut sit mens sana in corpore sano," yang diterjemahkan menjadi "Berdoalah agar ada pikiran yang sehat dalam tubuh yang sehat." Ungkapan ini mencerminkan keyakinan Juvenal akan pentingnya keutamaan dan integritas pribadi sebagai landasan pemenuhan hidup. Seiring waktu, "Mens sana in corpore sano" telah melampaui konteks aslinya dan menjadi slogan yang dikutip secara luas dan populer yang menganjurkan pengejaran kesejahteraan fisik dan mental sebagai komponen penting dari kehidupan yang seimbang.

Kita pasti akan pernah panik, stres, cemas, dan mengalami sederet reaksi psikis lainnya. Tidak jarang, reaksi psikis tersebut sedikit banyak akan mengundang reaksi fisik.

Reaksi tersebut jangan diabaikan dan dianggap tidak ada. Melainkan; akui, hadapi, dan atasi.

Dengan mengenali sifat psikosomatis dari gejala-gejala yang tampak, kita dapat mengambil langkah proaktif untuk mengelolanya. Manajemen stres, intervensi psikologis seperti CBT, modifikasi gaya hidup, dan mencari dukungan profesional adalah cara yang dapat kita lakukan dalam mengatasi gejala psikosomatis.

Ingat, kesejahteraan atau well being kita bersifat holistik, dan dengan memelihara kesehatan mental kita, harapannya kita dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan fisik kita dan menjalani kehidupan yang lebih sehat. (oni)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun