Compulsive buying umumnya dianggap sebagai masalah yang lebih serius daripada impulsive buying. Keduanya merupakan pembelian yang tidak direncanakan dan berlebihan, namun compulsive buying ditandai dengan hilangnya kendali dan pola perilaku kompulsif kronis yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang signifikan.
Berikut beberapa alasan mengapa compulsive buying sering dipandang sebagai masalah yang lebih serius:
- Kurangnya Kontrol: Compulsive buyer mengalami penurunan kemampuan untuk mengendalikan dorongan belanja mereka. Mereka mungkin tetap belanja meskipun ada kendala keuangan dan meskipun mereka tidak mampu. Kurangnya kontrol membedakan compulsive buying dari impulsive buying.
- Pola Kronis: Compulsive buying biasanya ditandai dengan pola perilaku belanja berlebihan yang berulang dan berkelanjutan. Belanja menjadi bagian yang regular dan mendarah daging dari kehidupan individu, berpotensi menyebabkan kesulitan keuangan jangka panjang, hubungan yang rusak, dan dampak buruk lainnya.
- Ketergantungan Emosional: Compulsive buyer sering mengandalkan belanja sebagai mekanisme koping untuk mengelola emosi negatif, stres, atau tekanan psikologis. Mereka mungkin berbelanja sebagai sarana untuk sementara meredakan emosi negatif atau mengisi kekosongan, yang dapat menciptakan siklus ketergantungan yang sulit untuk diputus.
- Eskalasi: Seiring waktu, kecenderungan compulsive buying cenderung terus meningkat, dengan pembelian yang lebih sering atau lebih besar untuk mempertahankan tingkat kepuasan yang sama. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya masalah keuangan dan memperdalam siklus perilaku kompulsif.
- Konsekuensi Negatif: Pembelian kompulsif dapat berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk kesejahteraan finansial, hubungan, performa kerja, dan kesehatan mental secara keseluruhan. Ini dapat menyebabkan hutang yang signifikan, gangguan fungsi sosial, dan tekanan emosional.
Perlu dicatat bahwa meskipun compulsive buying dianggap sebagai masalah yang lebih serius, baik impulsive buying dan compulsive buying membutuhkan perhatian dan dukungan jika mengganggu kesejahteraan dan fungsi individu. Memahami motivasi dan pemicu yang mendasari perilaku ini dapat membantu individu mencari intervensi yang tepat, seperti terapi, kelompok pendukung, atau konseling keuangan, untuk mengatasi akar penyebab dan mengembangkan kebiasaan berbelanja yang lebih sehat.
Biasakan berbelanja dengan sehat
Dalam dunia pilihan tak berujung dan penawaran menarik hanya dengan sekali klik, belanja online telah menjadi sarana yang semakin populer memanjakan keinginan kita dan memuaskan hasrat kita.Â
Kita semua pernah melakukannya. Apalagi, di era digital ini, penting untuk memahami garis tipis yang memisahkan impulsive buying dari temannya yang lebih berbahaya: compulsive buying.Â
Meskipun keduanya mungkin awalnya tampak tidak berbahaya, menggali lebih dalam karakteristik dan konsekuensinya yang berbeda dapat membantu kita menjelajahi dunia belanja online dengan sadar.
Impulsive buying mengacu pada kecenderungan untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan dan spontan tanpa banyak pemikiran sebelumnya.Â
Hal ini ditandai dengan kurangnya perencanaan dan fokus pada kepuasan segera. Impulsive buyer didorong oleh dorongan emosional, seperti keinginan untuk kesenangan, kebaruan, atau kebutuhan untuk meredakan emosi negatif.Â
Pembelian impulsif sering terjadi sebagai respons terhadap faktor situasional atau pemicu eksternal, seperti promosi penjualan, tampilan yang menarik, atau pengaruh sosial.
Sementara itu, compulsive buying, juga dikenal sebagai belanja kompulsif atau kecanduan belanja, adalah perilaku pembelian berulang dan berlebihan yang sulit dikendalikan.Â
Compulsive buying ditandai dengan dorongan yang terus-menerus dan tak tertahankan untuk berbelanja, bahkan ketika hal itu menimbulkan konsekuensi negatif.Â