Belanja, online atau offline, sebagai "self-reward" bukanlah sesuatu yang tidak pernah kita dengar.
Kita bekerja, menyelesaikan berbagai tugas, tetap menjalankan kewajiban di rumah dan di masyarakat, menghadapi berbagai masalah dan life crisis yang menerpa, sambil berusaha tetap waras dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Atau mungkin bukan demi kehidupan yang lebih baik, tapi demi kehidupan yang tidak lebih buruk.
Terkadang kita cuma lelah, atau jenuh, dan mungkin merasa hampir gila dan ingin menyerah, tapi tetap harus melangkah.
Ada banyak cara kita untuk menghibur diri dan menyenangkan diri.
Mulai dari meluangkan waktu untuk sendiri dan melakukan hobi, atau menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta, sampai belanja karena hidup cuma sekali dan uang tidak dibawa mati.
Tapi, coba pikirkan: Apakah belanja atau jajan yang kita lakukan lebih dari sekadar reward yang layak? Jika kita berbelanja atau jajan setiap bulan atau setiap minggu, apakah sehat? Jika dalam berbelanja kita banyak melakukannya secara impulsif, apakah tidak apa-apa? Bagaimana batasan antara belanja sebagai sumber kesenangan yang tidak berbahaya dan jebakan potensial yang mengancam untuk menjerat kesejahteraan finansial dan keseimbangan emosional kita?
Apalagi, belanja online sangat mudah untuk dilakukan dan sangat berpotensi membuat kita kecanduan. (Baca tulisan saya mengenai berbagai normalized addictions di era digital di sini)
Pada artikel ini, kita akan mengeksplorasi topik yang beresonansi dengan banyak orang: belanja sebagai bentuk "self-reward" dan perbedaan menarik antara impulsive buying dan compulsive buying. Pengetahuan ini ditujukan bagi Anda, si online shopper, pengamat yang peduli, atau hanya ingin tahu tentang bagaimana bahasan psikologi di balik perilaku belanja kita.
Kita akan membahas fenomena ini ke dalam beberapa bagian: self reward, impulsive buying, compulsive buying, dan membentuk kebiasaan berbelanja yang sehat.
Self-reward
Dari perspektif psikologis, self-reward dapat dipahami melalui kaca mata teori reinforcement dan motivasi. Teori reinforcement menunjukkan bahwa perilaku yang memiliki konsekuensi positif lebih mungkin untuk dilakukan kembali. Self-reward, dalam konteks ini, bertindak sebagai penguatan positif yang memperkuat dan mendukung perilaku yang diinginkan.