Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kurang Bersyukur dan Gangguan Mental, Apa Hubungannya?

20 Juni 2023   19:06 Diperbarui: 21 Juni 2023   02:32 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gangguan mental | Image by Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, kesehatan mental telah menjadi topik yang semakin penting. Topik ini membahas perjuangan yang dihadapi oleh jutaan orang di seluruh dunia. 

Memang terjadi kemajuan signifikan dalam peningkatan kesadaran akan kesehatan mental dan mengurangi stigma. Akan tetapi, masih ada banyak kesalahpahaman dan miskonsepsi, khususnya di dalam masyarakat kolektif yang agamis, seperti yang terjadi di Indonesia. 

Salah satu kesalahpahaman tersebut adalah anggapan bahwa gangguan mental terjadi karena kurang bersyukur, di mana keyakinan ini dapat merugikan individu yang mencari dukungan dan pengertian.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa agama telah memainkan peran penting dalam memberikan penghiburan, dukungan, dan bimbingan kepada pemeluknya. Agama menawarkan rasa memiliki, ajaran spiritual, dan kerangka kerja untuk menavigasi tantangan hidup.

Meskipun demikian, jika menyangkut kesehatan mental, ada kecenderungan untuk terlalu menyederhanakan masalah kompleks atau mengaitkannya hanya dengan kekurangan karakter pribadi. Di sinilah kesalahpahaman menyamakan gangguan mental dengan kurang bersyukur muncul.

Konsep syukur sangat mengakar dalam ajaran agama dan spiritual. Banyak tradisi kepercayaan menekankan pentingnya mensyukuri nikmat dan mengakui kelimpahan dalam hidup seseorang. 

Syukur sering dilihat sebagai kebajikan yang meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan emosional. Perspektif ini tidak diragukan lagi adalah perspektif yang sangat mulia dan baik untuk kehidupan manusia, namun tidak boleh digunakan untuk menghalangi atau mendiskreditkan perjuangan yang dihadapi oleh individu dengan gangguan mental.

Gangguan mental, seperti depresi, kecemasan, gangguan bipolar, atau skizofrenia, adalah kondisi kompleks yang dipengaruhi oleh kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan neurokimia. Gangguan ini bukan akibat dari tidak bersyukur atau kurang iman. Sayangnya, kesalahpahaman ini dapat menimbulkan perasaan bersalah dan malu bagi individu yang mengalami tantangan kesehatan mental dalam masyarakat yang beragama. Alih-alih menerima pengertian dan dukungan yang dibutuhkan, para penyintas gangguan mental justru tidak jarang dihakimi dan didesak untuk berfokus hanya pada rasa syukur sebagai solusi untuk masalah mereka.

Penting untuk diketahui bahwa gangguan mental adalah kondisi medis yang memerlukan perhatian dan perawatan profesional. Sama seperti seseorang mencari perawatan medis untuk gangguan fisik, individu dengangangguan mental harus didukung untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental yang dapat memberikan diagnosis, terapi, dan pengobatan yang tepat jika diperlukan.

Menghadapi gangguan mental memerlukan pendekatan holistik yang mengenali interaksi kompleks antara faktor biologis, psikologis, dan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun