Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Memutus Rantai dari Menjadi Orangtua Narsistik

2 Mei 2023   21:20 Diperbarui: 4 Mei 2023   15:31 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orangtua tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun, tidak jarang standar yang diterapkan oleh orangtua membahayakan mental anak. Ketika standar yang ditetapkan tidak sesuai kondisi dan kemampuan anak, orangtua yang perfeksionis dapat mencederai mental anak. (Baca tulisan saya mengenai pola asuh perfeksionis di sini) 

Salah satu sifat yang lebih berbahaya dari perfeksionis adalah narsistik. (Baca tulisan saya mengenai perbedaan perksionis dan narsisis di sini)

Memiliki orangtua yang narsistik bisa menjadi pengalaman yang menantang dan menyakitkan bagi anak. Orangtua narsistik cenderung memprioritaskan kebutuhan mereka sendiri daripada kebutuhan anak-anak mereka, dan sering menggunakan manipulasi dan kontrol emosional untuk mempertahankan kekuasaan dalam hubungan mereka. 

Mereka seringnya kurang berempati dan mereka rentan terhadap perilaku manipulatif dan mengendalikan yang dapat membuat anak-anak mereka merasa diabaikan, tidak valid, dan terkuras secara emosional.

Tumbuh dengan orangtua narsistik bisa terasa seperti terjebak dalam rollercoaster emosional tanpa akhir yang jelas. Pasang surut dan liku-liku wahana ini bisa membuat kita merasa pusing, bingung, dan tidak yakin pada diri sendiri.

It doesn't have to be this way.

Photo by Noah Buscher on Unsplash
Photo by Noah Buscher on Unsplash

Jika ada di antara kita yang berurusan dengan orangtua yang narsistik, penting bagi kita untuk mengenali perilaku buruk mereka dan mempelajari strategi penanggulangan untuk melindungi dan menyembuhkan diri sendiri.

Kita memiliki kekuatan untuk melepaskan diri dari siklus cinta yang tidak sehat dan manipulasi emosional, dan merebut kembali hidup kita. 

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi semua tentang orangtua narsistik, mulai dari pola perilaku mereka hingga efeknya pada anak-anak mereka, dan yang terpenting, memberikan tip dan strategi praktis untuk memutus siklus ini agar ketika kita dapat menjadi orangtua yang lebih baik.

Mengenali Tanda-tanda Orangtua Narsistik

Orangtua narsistik sering memandang anak-anak mereka sebagai penerus diri mereka, bukan sebagai individu dengan pikiran, perasaan, dan kebutuhannya sendiri. 

Mereka mungkin menggunakan anak mereka untuk memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri, seperti mencari validasi, kekaguman, atau kontrol. Hubungan antara orangtua narsistik dan anaknya seringkali ditandai dengan dinamika berikut:

1. Pengabaian secara emosional: Orangtua narsistik mengabaikan atau menolak kebutuhan emosional anak-anak mereka, gagal memberikan dukungan atau validasi emosional.

2. Manipulasi: Ciri khas para narsisistik adalah perilaku manipulasi mereka. Orangtua narsistik dapat menggunakan manipulasi emosional untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilaku anak-anak mereka.

3. Cinta yang bersyarat: Orangtua narsistik hanya dapat menunjukkan kasih sayang atau persetujuan terhadap anak-anak mereka ketika mereka memenuhi harapan mereka atau memenuhi kebutuhan mereka.

4. Rasa bersalah dan malu: Orangtua narsistik dapat menggunakan rasa bersalah dan malu untuk mengendalikan anak-anak mereka, membuat mereka merasa bertanggung jawab atas emosi atau tindakan orangtua mereka.

Orangtua narsistik dapat menampilkan serangkaian perilaku yang sulit diidentifikasi, terutama bagi anak-anak yang mungkin tidak memiliki kosa kata atau pemahaman untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan. 

Beberapa tanda umum orangtua narsistik meliputi:

1. Mereka harus selalu diperhatikan dan dikagumi: Orangtua narsistik sering mencari perhatian dan validasi dari semua orang, termasuk anak-anaknya, dan mengharapkan anak-anaknya untuk memprioritaskan kebutuhan dan keinginan mereka. 

Misalnya, mereka menginginkan anaknya melakukan A B C D karena mereka ingin menjaga citra diri (image) mereka di mata orang lain dan tidak mempedulikan keinginan dan kesejahteraan mental anak-anaknya. 

2. Kurangnya empati: Orangtua narsistik kesulitan dalam memahami emosi dan kebutuhan anak-anaknya, dan menolak atau tidak terima dengan emosi yang dirasakan atau diungkapkan oleh anak-anaknya sehingga mereka gagal memberikan dukungan dan pengasuhan yang mereka butuhkan untuk berkembang. 

Misalnya, "Kamu terlalu sensitif, masa dimarahin aja nangis." Hal ini tidak sehat karena semua perasaan harus divalidasi agar orangtua mampu mengarahkan anak mengenai bagaimana berperilaku atas emosinya tersebut. (Baca artikel saya mengenai empati di sini)

3. Manipulatif: Orangtua narsistik memanfaatkan rasa bersalah, malu, atau bentuk manipulasi emosional lainnya untuk mengontrol perilaku anak mereka atau mendapatkan apa yang mereka inginkan. Misalnya, "Kalau tidak kamu lakukan, saya sebagai orangtua kamu akan mendoakan supaya kamu sengsara dunia akhirat." 

Perilaku ini tentu tidak sehat karena akhirnya seseorang melakukan sesuatu karena dimanipulasi atau di bawah tipuan, dan bukan karena pilihan dan keinginan mereka. Padahal, yang menanggung konsekuensi dari segala yang dilakukan oleh si anak adalah anak itu sendiri.

4. Favoritisme: Orangtua narsistik dapat menunjukkan favoritisme atau pilih kasih terhadap satu anak di atas yang lain, menggunakan anak-anaknya sebagai sumber validasi dan kekaguman. 

Misalnya, orangtua narsisistik merasa wajar untuk mengatakan bahwa anak favoritnya adalah A, atau menspesialkan salah satu anaknya dengan tujuan membuat anaknya yang lain cemburu, dan mereka merasa wajar untuk memanfaatkan favoritisme agar anaknya mencapai keinginan mereka seperti "Kalau kamu lakukan X nanti kamu jadi anak favorit kami."  

Hal ini tidak sehat karena favoritisme dapat merusak harga diri dan kesehatan mental anak. Anak-anak yang merasa tidak disukai oleh orang tuanya merasa bahwa mereka tidak dicintai, tidak diinginkan, dan tidak berharga, yang dapat menyebabkan harga diri rendah, kecemasan, dan depresi.

5. Penuh kritik: Orangtua narsistik mungkin terlalu kritis terhadap anak-anak mereka, berfokus pada kekurangan dan kesalahan mereka daripada pencapaian mereka. Hal ini membuat anak-anaknya tidak merasa cukup dan berdampak pada kepercayaan diri anak.

6. Penuh kendali: Orangtua narsistik mengendalikan kehidupan anak-anaknya, mendikte pilihan mereka dan membatasi kemandirian mereka. Hal ini tidak sehat karena anak-anaknya tidak dapat berkembang secara maksimal dan anak-anaknya memiliki kemungkinan untuk tidak puas dalam menjalani hidup. Pada kasus ekstrem, hal ini dapat membuat anak tidak berdaya dan kehilangan arah ketika harus melakukan hal-hal secara mandiri..

7. Menyalahkan orang lain: Orangtua narsistik cepat menyalahkan orang lain, termasuk anak-anaknya, atas kesalahan atau kekurangan mereka sendiri. Misalnya, ketika ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya, orangtua narsisistik akan dengan cepat menyalahkan orang lain, alih-alih introspeksi diri dan mencari solusi.

8. Merasa berhak: Orangtua narsis sering merasa berhak atas perlakuan khusus, hak istimewa, atau perhatian, dan mungkin menjadi marah atau kesal ketika mereka tidak menerimanya. Misalnya, mereka harus didengar atau harus dituruti karena mereka adalah orang tua, yang mana hal ini tidak realistis karena orangtua juga manusia yang dapat salah dan khilaf.

Dampak Tumbuh Berkembang dengan Orangtua Narisistik

Dampak pola asuh orangtua narsistik bisa bertahan lama dan merusak. Anak-anak dari orangtua narsistik mungkin bergumul dengan harga diri yang rendah, kurangnya kepercayaan diri, dan kesulitan membentuk hubungan yang sehat. Mereka juga dapat mengembangkan mekanisme coping yang maladaptif, seperti menyenangkan orang lain, perfeksionisme, atau menjadi pecandu alkohol dan narkotika. 

Selain itu, hubungan antara orangtua yang narsistik dan anaknya dapat menciptakan siklus cinta yang tidak sehat atau bahasa populernya adalah toxic love, di mana anak terus mencari validasi dan persetujuan dari orang tuanya, meskipun hal itu dapat merugikan.

Dampak tumbuh dengan orangtua yang narsistik dapat bermanifestasi dalam berbagai hal di sepanjang hidup seseorang, termasuk:

1. Harga diri rendah: Orangtua narsistik meremehkan, mengkritik, atau membuat tidak valid anak-anak mereka, yang menyebabkan perasaan tidak berharga dan harga diri rendah. Misalnya adalah banyaknya kritik yang diberikan pada anak sehingga si anak menjadi sering tidak yakin atas pilihan dan tidak mengetahui keinginannya sendiri, karena setiap kali anaknya memilih selalu dipertanyakan (second-guess).

2. Kecemasan dan depresi: Stres dan gejolak emosi saat berurusan dengan orangtua narsistik dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya. Terutama ketika keinginan mereka tidak dipenuhi atau mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka tidak sebaik yang mereka inginkan. 

Perilaku manipulatif juga menambah tekanan, dan hal tersulit dari semua ini adalah karena sumbernya dari orang tua; orang-orang yang harusnya menjadi tempat kita pergi dan pulang.

3. Masalah kepercayaan: Tumbuh dengan orangtua narsistik dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain, serta kesulitan membentuk hubungan yang sehat. Hal ini dapat menjadi lebih buruk ketika orangtua narsisitik memanipulasi anak-anaknya dengan memutar balikkan fakta dengan pola pikir bahwa anak-anak tidak pernah lebih baik dan lebih tahu dari orang tua.

4. Perfeksionis: Anak-anak dari orangtua narsistik bisa jadi merasakan tekanan untuk mencapai kesempurnaan atau memenuhi harapan yang tidak realistis, yang menyebabkan perasaan gagal dan tidak mampu yang terus-menerus. 

Orangtua narsistik bisa saja mengontrol semua aspek kehidupan anaknya dan mengharuskan anak-anaknya mencapai standar mereka dan tidak terima ketika standar tersebut tidak tercapai. Anak-anaknya akhirnya terbiasa untuk menetapkan standar yang sama tidak realistisnya dalam kehidupannya.

5. People-pleasing: Anak-anak dari orangtua narsistik terbiasa untuk memprioritaskan kebutuhan dan keinginan orang lain di atas keinginan mereka sendiri, yang mengarah ke pola menyenangkan orang dan mengabaikan diri mereka sendiri karena terlatih memiliki orangtua yang harus selalu diprioritaskan keinginan dan kebutuhannya.

Mengatasi Pola Asuh Orangtua Narsistik

Jika ada di antara kita yang berurusan dengan orangtua yang narsistik, penting untuk mengetahui bahwa perilaku mereka bukan kesalahan dan tanggung jawab kita. Mereka juga manusia, dan walaupun mereka mungkin memutarbalikkan keadaan dan menyalahkan kita (karena para narsisis tidak mudah mengakui kesalahan), kita tidak harus menerimanya sebagai sesuatu yang normal atau sehat. 

'Sembuh' dari pola asuh orangtua narsistik bisa menjadi proses yang menantang. Berikut adalah beberapa tantangan umum yang mungkin dihadapi individu:

1. Sulit untuk memutus siklus: Anak-anak dari orangtua narsistik harus berjuang dari mengulangi pola perilaku yang dilakukan oleh orang tuanya yang narsisistik. Memutus siklus membutuhkan kesadaran, introspeksi, dan komitmen untuk berubah.

2. Sulit untuk mengatasi keraguan diri (self-doubt): Orangtua yang narsistik sering kali menciptakan rasa keraguan diri dan ketidakberdayaan pada anak-anak mereka. Mengatasi kepercayaan diri negatif ini membutuhkan belas kasihan diri, validasi diri, dan fokus pada pertumbuhan pribadi.

3. Sulit untuk menetapkan batasan: Menetapkan batasan dengan orangtua narsistik bisa jadi sulit, karena mereka mungkin menolak atau mengabaikan upaya kita untuk menetapkan batasan yang sehat. Tidak heran banyak yang akhirnya menjadi people-pleaser. Itu membutuhkan kemauan untuk menegaskan diri sendiri, memprioritaskan kebutuhan kita sendiri, dan mencari dukungan dari orang lain.

4. Sulit untuk mengelola emosi: Luka emosional yang ditimbulkan oleh orangtua narsistik bisa sangat dalam dan bertahan lama. Mengelola emosi yang intens seperti kemarahan, kesedihan, dan ketakutan membutuhkan pengembangan mekanisme coping yang sehat dan mencari dukungan profesional jika diperlukan.

Yang harus dilakukan untuk survive dari pola asuh orangtua narsistik adalah memahami dampaknya. Anak-anak dari orangtua narsistik mungkin bergumul dengan perasaan bersalah, malu, dan tidak mampu, dan mungkin mengalami kesulitan mempercayai orang lain atau membentuk hubungan yang sehat. 

Mereka mungkin juga bergumul dengan perfeksionisme, kecemasan, dan depresi. Mengenali pola-pola ini dan memahami asal-usulnya dapat menjadi langkah penting dalam bergerak menuju penyembuhan dan pemulihan.

Berikut adalah beberapa strategi yang dapat membantu kita mengatasinya:

1. Tetapkan batasan: Sangat penting untuk menetapkan batasan yang jelas dengan orangtua narsistik, memberi tahu mereka perilaku apa yang dapat diterima dan apa yang tidak. Tetap berpegang pada batasan kita, meskipun itu sulit, dan bersiaplah untuk tegas jika batasan tersebut dilanggar.

2. Mencari dukungan: Kelilingi diri kita dengan orang-orang yang memahami apa yang kita alami dan dapat menawarkan dukungan dan validasi emosional. Ini mungkin termasuk sahabat yang dipercaya, anggota keluarga (kalau ada), atau bantuan profesional seperti terapis.

3. Lakukan self-care: Merawat diri sendiri sangat penting saat berhadapan dengan orangtua narsistik. Prioritaskan aktivitas yang membuat kita merasa nyaman, seperti olahraga, meditasi, atau menghabiskan waktu di alam.

4. Jangan terlibat dalam pertengkaran: Orangtua yang narsistik tumbuh berkembang dalam konflik dan drama, dan bertengkar dengan mereka hanya akan memperburuk keadaan. Berlatih melepaskan diri dari argumen dan tetap tenang dalam menghadapi provokasi mereka.

5.Belajar untuk mempercayai diri sendiri: Salah satu efek pengasuhan narsistik yang paling merusak adalah erosi rasa harga diri dan kepercayaan diri seorang anak. Belajar memercayai insting dan intuisi kita dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyembuhkan trauma semacam ini.

6. Belajar memaafkan: Belajar memaafkan adalah langkah yang sulit tetapi penting dalam survive dari pola asuh orangtua narsistik. Memaafkan bukan berarti mengikhlaskan atau memaklumi perilaku orangtua narsisistik, melainkan mengakui rasa sakit dan trauma yang dialami, serta memilih melepaskan amarah dan dendam. Pemaafan bisa menjadi alat yang ampuh untuk bergerak menuju penyembuhan dan pemulihan. Meskipun demikian, jika luka yang dihasilkan terlalu dalam, kita bisa memilih untuk move on tanpa memaafkan (Lebih lanjut baca di sini).

Memutus Rantai dari Menjadi Orangtua Narsisistik

Pola asuh dari orangtua narsistik dapat memiliki dampak mendalam pada perkembangan emosional dan psikologis anak, dan sering kali mengarah pada pola hubungan tidak sehat seumur hidup dan perilaku merusak diri sendiri. 

Memutus siklus pola asuh orangtua narsistik ini sangat penting untuk menciptakan hubungan yang sehat, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Pada artikel ini, kita akan mengeksplorasi langkah-langkah yang terlibat dalam mengatasi pola asuh orangtua narsistik dan membangun hubungan yang sehat.

Memutus siklus pola asuh orangtua narsistik dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut:

1. Akui masalahnya: Langkah pertama dalam mengatasi pola asuh orangtua narsistik adalah mengakui dampaknya pada kehidupan kita. Ini mungkin melibatkan refleksi pada pengalaman masa lalu, melakukan terapi, dan berhubungan dengan orang lain yang pernah mengalami permasalahan serupa.

2. Latih belas kasih diri (self-compassion): Kasih sayang diri sangat penting untuk penyembuhan dari pengasuhan narsistik. Ini berarti bersikap baik dan lembut terhadap diri sendiri, menerima dan memvalidasi emosi kita, dan memprioritaskan kebutuhan dan keinginan sendiri.

3. Kembangkan strategi coping yang sehat: Mempelajari strategi coping yang sehat, seperti mindfulness, olahraga, dan self-care, dapat membantu mengelola stres dan gejolak emosi yang terkait dengan pengasuhan narsistik.

4. Tetapkan batasan: Menetapkan batasan adalah bagian penting untuk memutus siklus pola asuh orangtua narsistik. Ini mungkin melibatkan membatasi kontak dengan orang tua, menetapkan batasan yang jelas seputar perilaku dan komunikasi, dan tegas jika dilanggar.

5. Mencari bantuan profesional: Sesi dengan terapis atau konselor dapat memberikan ruang yang aman untuk mengeksplorasi efek pola asuh orangtua narsistik dan mengembangkan strategi untuk penyembuhan dan membangun hubungan yang sehat.

Penutup

Menjadi orang tua memang sulit. Tapi, menjadi anak juga tidak mudah. Semua orang, tanpa terkecuali, memiliki tantangan dalam hidupnya masing-masing.

Berurusan dengan orang tua yang narsistik adalah pengalaman yang sulit dan menguras emosi. Penting untuk diingat bahwa kita tidak sendirian dan kita dapat sembuh dan maju dari trauma semacam ini. 

Mengenali tanda-tanda pengasuhan narsistik dan mengembangkan strategi koping dapat membantu kita melindungi kesejahteraan emosional dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri dan orang lain. (oni)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun