Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Paradoks Eksistensi: Kita Spesial Tapi Kita Akan Tergantikan

19 April 2023   12:58 Diperbarui: 30 April 2023   01:50 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mungkin pernah bertanya-tanya mengenai arti kehidupan.

Untuk apa kita hidup?

Apa yang menjadikan waktu kita selama hidup tidak sia-sia?

Ketika kita mati, bagaimana kita dikenang?

Akankah kita dikenang?

Kenapa kita takut dilupakan?

Di satu sisi, kita semua unik, berbeda, dan spesial.

Tapi, di sisi lain, saat kita mati, cepat atau lambat kita akan terlupakan.

Kita semua ingin merasa bahwa eksistensi kita bermakna, bahwa kita penting dalam beberapa hal. Tapi pada saat yang sama, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kita semua akan mati suatu hari nanti. Ini adalah paradoks yang dapat membuat kita merasa bingung dan tidak pasti tentang posisi kita di dunia. 

Paradoks eksistensial adalah dilema filosofis yang mempertanyakan makna dan pentingnya keberadaan kita. Salah satu aspek yang paling mencolok dari paradoks ini adalah bahwa ia menghadirkan dua gagasan kontradiktif yang tampaknya sama-sama valid. Di satu sisi, kita manusia dianggap istimewa dan unik, diberkahi dengan kesadaran, kecerdasan, dan kemampuan kesadaran diri. Di sisi lain, kita juga dapat diganti dan dibuang, hanya satu dari banyak spesies di planet ini, dan rentan terhadap kepunahan seperti makhluk hidup lainnya.

Untuk memahami paradoks ini, pertama-tama kita harus memeriksa dua gagasan berlawanan yang menyusunnya. Yang pertama, kepercayaan pada keistimewaan kita tertanam kuat dalam budaya dan sejarah manusia. Selama berabad-abad, kita terpesona oleh kompleksitas kita sendiri dan berusaha memahami diri kita sendiri dan tempat kita di dunia. Kami telah menemukan agama, filosofi, dan sains untuk mengeksplorasi misteri keberadaan kami dan untuk menjelaskan alam semesta di sekitar kami. Pencarian pengetahuan ini telah menghasilkan penemuan dan kemajuan besar, mulai dari penemuan roda hingga pendaratan di bulan.

Meskipun demikian, keyakinan akan keunikan kita ini juga telah menimbulkan kesombongan dan rasa superioritas atas spesies lain. Kami telah mengeksploitasi alam untuk keuntungan kita sendiri, tanpa memperhatikan konsekuensinya. Kami telah menghancurkan habitat, mencemari lautan, dan menyebabkan kepunahan spesies yang tak terhitung jumlahnya. Rasa keistimewaan kita telah membutakan kita terhadap fakta bahwa kita hanyalah salah satu bagian dari ekosistem yang kompleks dan rapuh, dan bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi yang luas.

Gagasan kedua yang membentuk paradoks eksistensial adalah pengakuan bahwa kita tergantikan. Terlepas dari kecerdasan dan kreativitas kita, kami masih mau tidak mau tunduk pada hukum alam. Kita adalah makhluk fana, dan waktu kita di dunia ini terbatas. Selain itu, kita bukan satu-satunya spesies cerdas di Bumi. Ada makhluk lain yang memperlihatkan kemampuan kognitif luar biasa, seperti lumba-lumba, gajah, dan primata. Kita mungkin tidak seunik yang kita kira.

Keberadaan kita genting, dan kita rentan terhadap kepunahan. Sejarah planet kita diisi oleh dengan sisa-sisa spesies yang pernah tumbuh subur tetapi sekarang sudah punah. Kita tidak kebal terhadap takdir semacam itu. Tindakan kita, seperti perubahan iklim, penggundulan hutan, dan polusi, telah menempatkan kita dan banyak spesies lain dalam bahaya. Kami hanyalah salah satu dari banyak pemain dalam permainan kehidupan, dan kami tunduk pada aturan yang sama seperti orang lain.

Jadi, bagaimana kita mendamaikan dua ide yang berlawanan ini? Bagaimana kita bisa percaya pada keistimewaan kita dan pada saat yang sama mengakui ketergantian kita? 

Secara filosofis, saya kira jawabannya terletak pada kerendahan hati dan tanggung jawab. Kita harus mengakui bahwa kita bukan satu-satunya makhluk cerdas di planet ini, dan bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi bagi spesies lain dan planet ini secara keseluruhan. Kita juga harus mengenali kerentanan kita dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan kelangsungan hidup kita dan kelangsungan hidup spesies lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun