Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Anak-anak Juga Bisa Stres: Cegah Stres Destruktif dengan Lingkungan yang Sehat Mental

8 Maret 2023   10:43 Diperbarui: 9 Maret 2023   06:01 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, kita digemparkan oleh berita mengenai anak kelas 4 SD di Banyuwangi yang bunuh diri karena depresi akibat perundungan (bullying). 

Setahun sebelumnya, diketahui seorang napi anak di Palembang bunuh diri di selnya. Dua tahun sebelumnya, seorang anak SD di Dairi ditemukan bunuh diri diduga karena stres akibat tugas sekolah. 

Belum lagi, berbagai kasus bunuh diri dan gangguan mental pada anak yang tidak terangkum dalam tulisan ini, yang terjadi baik di lingkup nasional maupun internasional.

Bunuh diri merupakan akibat paling ekstrem untuk diri subjek dari gangguan kesehatan mental. Kasus-kasus bunuh diri pada anak merupakan indikasi bahwa terdapat sesuatu dalam kehidupan mental anak yang luput dari perhatian. Meskipun demikian, bunuh diri bukan satu-satunya masalah kesehatan mental serius yang terjadi pada anak-anak. 

Jika kasus bunuh diri dapat terjadi pada anak-anak, maka kasus gangguan mental lain juga dapat terjadi pada anak-anak. Tantangannya adalah bagaimana mengidentifikasi gangguan pada anak dan bagaimana pencegahan gangguan mental pada anak.

Tapi sebelumnya, sudahkah kita memahami kompleksitas kehidupan mental anak?

Keadaan mental anak-anak dapat sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk pengalaman individu, tahap perkembangan, dan pengaruh lingkungan. Namun, secara umum, anak-anak cenderung mengalami serangkaian emosi, termasuk kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan kecemasan, yang mereka alami seiringan dengan proses mereka tumbuh berkembang.

Anak-anak kecil mungkin memiliki ekspresi verbal dan emosional yang terbatas, membuatnya lebih menantang bagi orang dewasa untuk memahami dan menanggapi kebutuhan mereka. Namun, anak yang masih sangat kecil pun dapat menunjukkan tanda-tanda kesusahan, seperti lekas marah, menangis berlebihan, perubahan pola makan atau tidur, dan kesulitan menenangkan diri.

Seiring bertambahnya usia anak-anak dan mengembangkan kemampuan kognitif dan emosional yang lebih maju, mereka menjadi lebih mampu memahami dan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Namun, mereka mungkin juga menghadapi tantangan baru terkait dengan dunia sosial mereka yang berkembang, termasuk hubungan teman sebaya, minat romantis, dan ekspektasi masyarakat terkait penampilan, perilaku, dan pencapaian.

Penting untuk diketahui bahwa semua anak dapat mengalami tantangan kesehatan mental dan tantangan ini dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan dan perkembangan mereka. Anak-anak yang mengalami stres, trauma, pelecehan, atau penelantaran mungkin sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan gangguan suasana hati lainnya.

Pada kehidupan sehari-harinya, terdapat banyak tekanan (stressor) yang dihadapi oleh anak. Beberapa tekanan umum yang mungkin dihadapi anak-anak meliputi:

  • Tekanan akademik: Anak-anak sering diharapkan unggul secara akademis dan mencapai nilai tinggi di sekolah. Tekanan ini bisa sangat kuat dalam budaya yang memberi nilai tinggi pada kesuksesan akademik.
  • Tekanan sosial: Anak-anak mungkin merasakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya dan menyesuaikan diri dengan norma sosial. Mereka mungkin juga mengalami tekanan sosial terkait penampilan, status sosial, dan hubungan.
  • Tekanan keluarga: Anak-anak mungkin merasakan tekanan untuk memenuhi harapan orang tua mereka atau untuk memenuhi kebutuhan orang tua mereka. Ini dapat mencakup tekanan untuk berhasil secara akademis, tekanan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau tekanan untuk menyesuaikan diri dengan tradisi budaya atau agama tertentu.
  • Tekanan teknologi: Anak-anak saat ini sering kali terhubung dengan teknologi 24/7, yang dapat menyebabkan tekanan untuk selalu terhubung, menanggapi pesan, dan mengikuti tren media sosial.
  • Tekanan ekonomi: Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah mungkin menghadapi tekanan ekonomi terkait dengan ketidakstabilan keuangan, kurangnya akses ke sumber daya, dan tekanan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
  • Tekanan lingkungan: Anak-anak mungkin merasa stres terkait dengan perubahan iklim, bencana alam, dan masalah lingkungan lainnya yang mengancam masa depan mereka.

Berbagai tekanan yang dialami anak akan membuat anak mengalami stres. Meskipun demikian, stres tidak selamanya buruk walaupun sangat rentan menjadi destruktif. 

Stres yang baik, atau eustress, dapat bermanfaat bagi anak-anak karena dapat membantu mereka membangun ketahanan, mengatasi tantangan, dan mengembangkan keterampilan hidup yang penting. Namun, ada garis tipis antara eustress dan distress, dan ini dapat bervariasi tergantung pada temperamen, tahap perkembangan, dan lingkungan masing-masing anak.

Eustress ditandai dengan perasaan gembira, antisipasi, dan motivasi. Ini biasanya berumur pendek dan terjadi sebagai respons terhadap tantangan atau peluang positif, seperti mempersiapkan permainan sekolah atau berpartisipasi dalam kompetisi olahraga. 

Sementara itu, distress, di sisi lain, ditandai dengan perasaan cemas, kewalahan, dan perasaan di luar kendali. Ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti mengalami trauma atau pelecehan, mengalami stres kronis, atau merasa terisolasi dan tidak didukung.

Batas antara eustress dan distress ditentukan oleh masing-masing anak. Di mana batasnya sangat terpengaruh oleh sifat-sifat bawaan anak seperti temperamen individu anak dan tahap perkembangannya, serta tingkat stres dan sumber daya koping mereka secara keseluruhan. 

Orang tua dan orang terdekat dapat mencari tanda-tanda bahwa seorang anak mungkin mengalami distress, seperti perubahan perilaku atau suasana hati, sulit tidur atau berkonsentrasi, atau gejala fisik seperti sakit kepala atau sakit perut.

Pada akhirnya, kunci untuk membantu anak mengatasi stres dengan cara yang sehat adalah memberi mereka alat dan dukungan yang mereka butuhkan untuk membangun ketahanan, mengelola emosi, dan mengatasi tantangan secara efektif. Ini dapat mencakup memperkenalkan strategi manajemen stres yang sehat seperti olahraga dan kesadaran. 

Selain itu, diperlukan adanya dukungan sosial yang menciptakan lingkungan yang mendukung dan mengasuh di mana anak-anak merasa aman dan didukung. Penting juga untuk memprioritaskan komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anak-anak tentang perasaan dan kekhawatiran mereka, dan mencari bantuan profesional bila diperlukan.

Perlu menjadi catatan bahwa kebutuhan setiap anak berbeda. Pada tahap perkembangan yang belum matang, anak-anak cenderung kesulitan untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan mereka cenderung memiliki keterbatasan dalam mengkomunikasikan kebutuhan mereka 

Di sinilah kolaborasi peran orang-orang dewasa di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, dan pendidik, untuk menciptakan lingkungan yang tidak hanya baik, tapi juga sehat mental bagi anak. (oni)

Referensi berita: 1 2 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun