[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Lionel Messi / yimg.com"][/caption] Apa pesan moral dari kemenangan Jerman atas Argentina di Final Piala Dunia 2014 beberapa bulan kemarin. Klise, iya, namun jika boleh sedikit mengambil hikmah dari kekalahan Lionel Messi dkk ini, maka ada dua hal yang menjadi poin utama dari perhelatan piala dunia kali ini. Pertama, sehebat apapun Anda sebagai seorang pemain, sepak bola adalah permainan 11 pemain. Anda membutuhkan 10 rekan dengan kualitas level permainan yang sama baiknya. Sekalipun Anda Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo sekalipun, Anda tidak bisa mendapatkan piala seorang diri. Nama terakhir bahkan harus angkat koper lebih dahulu setelah tidak mampu membawa Portugal sekedar lolos dari penyisihan grup. Sebelum Messi, Ronaldo sudah merasakan kedahsyatan pasukan Joachim Loew di awal pertandingan grup dengan dihajar telak 0-4. Ditahan imbang 2-2 Amerika Serikat dan cuma menang 2-1 melawan Ghana di pertandingan berikutnya, Ronaldo, pemain terbaik dunia yang baru saja membawa Real Madrid juara Liga Champions harus pulang lebih cepat dari yang “seharusnya”. Bagaimana dengan rivalnya? Messi? Setali tiga uang. Sama saja. Meski—jelas—ia lebih baik dari Ronaldo dengan membawa Argentina sampai final. Tidak ada yang meragukan kualitas seorang Messi. Di klubnya, FC Barcelona, ia adalah sosok yang begitu mengerikan, bahkan disebut-sebut memiliki skill yang lebih baik dari seniornya, Diego Armando Maradona. Tidak ada yang bisa membantah kehebatan Messi di Barcelona. Paling tidak, empat gelar pemain terbaik dunia didapat karena prestasinya di klub Catalan tersebut. Namun, meski Barcelona sering disebut tergantung pada sosok Messi, sejatinya pemain yang pernah mengidap kelainan genetis kekurangan hormon pertumbuhan ini tidaklah sendirian. Di sekitarnya ada pemain-pemain hebat macam Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Cecs Fabregas, Sergio Busquet, hingga rekannya sesama pemain Argentina; Javier Mascherano. Bersama merekalah Messi begitu perkasa membawa Barcelona sempat menguasai Eropa dan dunia selama enam musim belakangan ini. [caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Lionel Messi memang pemain terbaik turnamen, tapi... / Dok. timesofoman.com"]
Manuel Neuer dan Lionel Messi / Dok. timesofoman.com
[/caption] “Kami semua di level yang sama. Yah, kecuali Leo (Messi),” kata Fabregas untuk FourFourTwo. Ya. Level permainan pemain-pemain Barcelona tersebut memang tidak benar-benar satu grid dengan Messi. Jika diperbolehkan membandingkan dengan skuad Argentina asuhan Alejandro Sabella di Piala Dunia 2014 kali ini, maka ibarat anak tangga, skuad Barcelona cuma ada di bawah satu atau dua anak tangga sedangkan pemain-pemain Argentina berada di tiga sampai lima di bawah anak tangga. Tidak semuanya memang, Mascherano dan semua pemain depan Argentina adalah nama-nama besar kalau kita mengecualikan Messi. Ada Gonzalo Higuain, Sergio Aguero, Ezequel Lavezzi, Erik Lamela, dan Rodrigo Palacio. Jaminan mutu penggedor-penggedor handal di klubnya masing-masing. Mentereng di depan, namun tidak di belakang. Siapa itu Sergio Romero, Marcos Rojo, atau Ezequiel Garay? Tidak banyak yang tahu. Uniknya, pemain-pemain yang tidak cukup terkenal tersebut cukup memiliki kinerja positif. Romero adalah kiper yang menyelamatkan Argentina ketika adu penalti melawan Belanda di semifinal. Kiper klub AS Monaco ini mementahkan tendangan penalti dua eksekutor Belanda; Ron Vlaar dan Wesley Sneidjer. Rojo mencetak satu gol ketika Argentina membekuk Nigeria dan berkontribusi terhadap satu gol bunuh diri dari pertandingan pertama penyisihan grup melawan Bosnia & Herzegovina. Bagaimana dengan Garay? Mantan pemain Real Madrid ini berhasil menjadi tembok tangguh sepanjang kejuaraan Piala Dunia. Paling tidak, sejak dibobol oleh Ahmed Musa dari Nigeria sampai selesainya waktu normal pertandingan final melawan Jerman, gawang Argentina tetap perawan selama 418 menit. Tangguh oleh pemain yang tidak dikenal tapi malah melempem oleh pemain mentereng. Begitulah Argentina. Nama besar pemain depan Argentina tidak sebanding dengan jumlah gol yang mereka raih sepanjang turnamen. Hanya 7 gol di waktu normal. Argentina jelas beruntung memiliki Messi yang mencetak 4 gol dan 1 assist. Bandingkan dengan penyerang lainnya yang hanya mencetak satu gol atas nama Higuain ke gawang Belgia di perempatfinal. Artinya, hanya Messi yang masih memiliki nilai setara antara reputasi dengan prestasi di atas lapangan. Paling tidak, gelar pemain terbaik Piala Dunia 2014 adalah bukti sahih kehebatan pemain yang memiliki kota kelahiran yang sama dengan Che Guevara ini. Namun malam itu di Maracana, bersanding bersama Manuel Neuer yang mendapatkan gelar kiper terbaik, Messi tidak tersenyum sama sekali akan gelar itu. Ia memang pemain terbaik turnamen, tapi gelar itu tidaklah membuat Argentina membawa pulang Piala Dunia. Seorang diri, Messi yang sehebat itu bukan apa-apa melawan 11 pemain Jerman.
Tidak ada yang instan Selain soal kolektivitas, hikmah kedua adalah tidak ada cara instan untuk menjadi juara. Apalagi juara dunia. Jerman tidak hanya merupakan tim yang sangat kuat, namun juga sangat seimbang. Dari penjaga gawang sampai barisan penyerang semua pemain memiliki level yang hampir setara. Bahkan level ini sampai ke seluruh pemain di bangku cadangan. Memang Jerman tidak berisi pemain-pemain nomor satu dunia. Andre Schurrle atau Mario Gotze tidak sekondang Messi atau Ronaldo, namun kedua nama itu membuktikan dengan assist dan golnya di final, bahwa kerja sama dan sistem pembinaan pemain muda yang efisien bisa menghasilkan tim yang begitu luar biasa meski tidak bisa melahirkan individu yang luar biasa. Jerman memang tidak sendiri dalam generasi emas ini. Sang lawan, Argentina, juga berisi “mantan” pemain-pemain muda yang hebat di angkatan 2005 dan 2007 dengan hasil membawa dua kali pulang gelar Piala Dunia U-20 pada tahun-tahun tersebut. Baik Jerman maupun Argentina menunjukkan bahwa pengembangan pemain muda adalah perhatian serius hingga membuat keduanya layak bertarung di laga puncak Piala Dunia. Hanya saja, untuk edisi kali ini, pemain binaan Jerman lebih pantas merengkuh gelar. Tidak hanya karena lebih baik tapi juga karena Jerman lebih merata, seimbang, dan serius dalam pengerjaan sistem pengembangan pemain muda. Sejak kekalahan memalukan di Piala Dunia 1998 dilanjutkan di Euro 2000, Jerman serius membangun ulang sistem pengembangan pemain muda ini. Sebelum sistem itu benar-benar direalisasikan, di tahun 2002, Jerman sempat berhasil menembus final Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang. Meski dikandaskan Brasil 0-2 yang masih diperkuat pemain fenomenal Ronaldo, laju Jerman ini dianggap oleh sebagian pengamat cukup “lumayan”, mengingat mereka tidak begitu diperhitungkan di awal turnamen. Meski begitu, puaskah Jerman dengan hasil itu? Tidak. Bagi Jerman, medali perak tetaplah aib. Reinhard Raunball, Presiden Liga Jerman (DFL) seperti yang dikutip Rueters kemudian mengungkapkan bahwa ia akan mewajibkan setiap klub di Bundesliga di divisi 1 dan 2 untuk memiliki akademi dengan sistem latihan berstandar Federasi Sepak
Bola Jerman. Standar tinggi yang ditetapkan ini membuat setiap klub di Jerman “dipaksa” untuk memperbaiki sistem pengembangan pemain muda agar mendapatkan ijin kompetisi. [caption id="" align="aligncenter" width="566" caption="Kekalahan dari Kroasia 0-3 di Piala Dunia 1998. / dailymail.co.uk"]
[/caption]
Raunball tidak main-main, sejak Juli 2002, seusai Piala Dunia, Federasi Sepak Bola Jerman mengalokasikan setengah miliar euro untuk mega proyek jangka panjang ini. Setiap akademi diharuskan memiliki lapangan dengan standar tinggi; lampu untuk pertandingan malam, pelatih, dan pemandu bakat yang mempunyai lisensi. Jerman memetik hasilnya sementara di Piala Dunia 2006. Ada enam pemain muda yang memperkuat Jerman kala itu. Lukas Podolski adalah salah satunya dan gelar pemain muda terbaik menjadi bukti. Meskipun kalah oleh Italia di semi final dan hanya berada di peringkat ketiga, Jerman tidak patah arang dan tetap melanjutkan proyeknya. Setahun kemudian, jumlah pemain lokal yang bermain di Bundesliga meningkat drastis menembus angka 88 pemain. Dan persis satu tahun sebelum Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan dimulai, Jerman memiliki stok pemain berkualitas di kompetisi dalam negeri yang luar biasa banyaknya: 110 pemain. Meskipun harga yang dikeluarkan juga tidak main-main. Sebesar 83 juta euro setidaknya harus dikeluarkan untuk satu musim kompetisi saja. “Mungkin memang mahal, namun ini langkah yang tepat,” kata Rauball, Presiden Liga Jerman, kepada Rueters. Setahun kemudian launching dari stok pemain-pemain muda Jerman yang melimpah benar-benar terjadi. Nama-nama seperti Mesut Oezil, Sami Kheidira, Jerome Boateng, Holger Badstuber, dan Neuer mendapatkan pengalaman berharga untuk berlaga di turnamen terbesar dunia. Dengan rata-rata usia skuad 25 tahun, Jerman pulang dengan membawa pulang kembali gelar ketiga dan (lagi) gelar pemain muda terbaik atas nama Thomas Mueller di Piala Dunia 2010. Empat tahun berlalu. Ditempa oleh kompetisi yang ketat di Liga Jerman dan Liga Champions Eropa. Pemain-pemain tersebut membuktikan buah dari seriusnya pengembangan pemain muda Federasi Sepak Bola Jerman. Bukti nyata berbuah gelar juara piala dunia pertama bagi Jerman yang bersatu. Tiga gelar sebelumnya diraih dengan status Jerman Barat. Prestasi ini merupakan bukti satu hal. Catatan sejarah hebat Jerman tidak membuat terlena. Mereka tidak malu untuk merangkak dari dasar memperbaiki diri sendiri. Gelar Piala Dunia 2014 adalah hasil dari jalan panjang belasan tahun disertai keinginan pantang menyerah untuk selalu berbenah. Perjalanan berliku yang sampai pada puncaknya di malam indah Stadion Maracana. Gratulation, Deutschland. [caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Kemenangan dari sebuah kolektivitas. Dari Federasi Sepakbola Jerman sampai seluruh elemen sepakbolanya... /irishtimes.com"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Olahraga Selengkapnya