Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Efektivitas Hukuman Fisik dalam Mengasuh Anak

12 Februari 2019   02:31 Diperbarui: 12 Februari 2019   02:35 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjewer, mencubit, dan hukuman fisik lain yang terjadi pada anak sebagai peringatan atas kesalahan mereka pasti tidak terdengar asing lagi di telinga kita. Hukuman ini, sering di kategorikan lumrah oleh beberapa pihak, karena tidak adanya luka atau tanda yang membekas dari hukuman tersebut. Hal ini, dapat lebih berbahaya dibanding luka yang terlihat, apakah kalian menyadarinya?

Hampir kita semua pernah mendapat hukuman fisik sewaktu kecil. hukuman fisik ini juga tidak jahat maupun terlihat serius. Bagaimanapun, tujuan orang tua yang melakukan hal tersebut bukan untuk melukai anaknya, sebagian besar hukuman fisik diberikan untuk mendisiplinkan anak.

"baik itu besar maupun kecil, judulnya sama-sama hukuman fisik yang termasuk ke dalam kekerasan anak. Namanya hukuman, sebenarnya tetap diperlukan dalam pengasuhan anak. Pada teorinya, kalau kita mau meningkatkan perilaku yang diinginkan dari seorang anak, misalnya kita ingin anak tambah rajin belajar dan beribadah, maka yang kita berikan adalah reward. Hanya reward yang bisa meningkatkan perilaku. Sementara kalau kita ingin menurunkan perilaku yang tidak diinginkan, seperti membuat anak berenti merokok dan keluar malam, yang kita berikan adalah hukuman." ungkap dr. Putri Nugraheni SpKJ saat di wawancarai. Sabtu (22/12/2019) di apartemen Menteng Square Jakarta.

Hukuman yang dibolehkan itu merupakan hukuman yang spesifik. Jadi, tujuan perilaku apa harus jelas. Contoh saja seorang anak yang rajin belajar setiap malamnya, namun sering membuat berantakan dapur maupun rumah, lalu ia dipukul. Anak kecil belum bisa memahami bahwa ia dihukum karena membuat daput berantakan. Sangat disayangkan, masih banyak orang tua yang belum mengerti konsep ini, pokoknya kasih hukuman ya kasih saja. Padahal, seharusnya ada target perilaku spesifik. Selain itu, hukuman yang diberikan lebih pada konsekuensi. Berantakin kamar, ya konsekuensinya dia harus beresin kamar. Kalau  menghabiskan uang setiap malam untuk party, hukumannya ya ga di kasih uang . Jadi hukuman yang berlaku harus berkaitan dengan perilaku yang dia lakukan.

Efektivitas hukuman fisik perlu dipertanyakan karena berbagai penelitian menunjukkan bahwa hukuman fisik justru memberi dampak buruk pada anak. Hasil salah satu penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Gershoff, profesor asal amerika serikat, menyatakan hukuman fisik pada anak cenderung menghasilkan perilaku agresif, nakal dan antisosial, bahkan hukuman fisik  berhubungan negatif dengan kualitas hubungan orang tua-anak, kesehatan mental, dan lebih banyak internalisasi (internalisasi anak dari perilaku yang dapat diterima secara sosial).

Setidaknya,  ada lebih dari 40 negara yang telah melarang hukuman fisik di semua lingkungan, termasuk di rumah. Beberapa perjanjian PBB mengatur tentang kekerasan terhadap anak, contohnya dengan United Nations Convention on the Rights of the Child (Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang diangkat tahun 1989)  yang menyajikan salah satu kasus paling komprehensif mengenai larangan hukuman fisik anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun