Mohon tunggu...
Putri Wulandari
Putri Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - English Tutor | Freelance Content Writer

Random Thought About Lifestyle, Movies, K-drama, Beauty, Health, Education and Social Phenomena | Best Student Nominee Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Orangtua Menjadi "Teman" Anak, Apa Bisa?

23 Maret 2023   12:00 Diperbarui: 24 Maret 2023   14:30 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjadi orangtua yang bahagia sekaligus jadi sahabat bagi anak. Sumber: imtmphoto via Kompas.com

Setelah dewasa, saya termasuk anak yang dekat dengan orangtua, terlebih ibu. Kami seringkali deeptalk tentang kondisi keluarga, curhat ngalor-ngidul, saling meminta bantuan terkait adik saya, dan diskusi mengenai berbagai topik yang random. Tentunya hal-hal ini tidak terjadi semata-mata dalam satu malam. Ada berbagai pendekatan yang orangtua saya lakukan sejak saya kecil.

Orangtua saya bukanlah tipe yang akan melarang saya melakukan banyak hal. Misalnya, saat saya masih duduk di bangku SMP. Saya pernah izin untuk kerja kelompok di salah satu rumah teman yang hitungannya agak jauh dari rumah. Saya pun diberikan akses untuk mengendarai sepeda motor kesana setelah ditanyai beberapa hal dasar seperti lokasi rumah, teman-teman yang ikut kerja kelompok, hal apa yang dikerjakan, dan uang saku. 

Lucunya, selama mengerjakan kerja kelompok di teras rumah teman saya, sekali dua kali saya melihat bapak yang lewat di depan rumah teman saya. Dulu, saya pikir bahwa bapak adalah orang yang cukup protektif. 

Ngapain coba lewat depan rumah teman pas anaknya lagi kerkom?

Namun, setelah dewasa saya sadar bahwa bapak hanya menjalankan tanggungjawab sebagai orangtua untuk menjaga anaknya. Di titik itu, orangtua akan tau sejauh mana anak bisa menjaga kepercayaan orangtua, dan anak akan berlatih tanggungjawab sejak usia remaja. Toh, bapak hanya lewat, melihat keberadaan anaknya sekilas, dan tidak mengganggu sama sekali.

Dari saat SMP itu pula, orangtua mulai sering mengajak saya berbicara dan diskusi. Entah soal sekolah, teman, atau se-simple diskusi soal berita yang disiarkan di televisi. 

Dari saat itu, saya semakin terbuka terkait apapun yang alami. Terlebih kepada ibu, saya sering curhat terkait masalah teman atau pelajaran. Kalau soal ibadah dan sosial, saya lebih nyaman untuk bertanya dan diskusi kepada bapak.

orangtua menjadi teman anak (sumber: Haibunda.com)
orangtua menjadi teman anak (sumber: Haibunda.com)

Sampai saat ini, ada banyak teman ibu yang bertanya, kok bisa sih jadi kayak teman sama anak?

Ibu saya dengan tegas berkata bahwa memang orangtua dan anak itu bisa dekat, terbuka, dan memiliki bonding yang kuat. Namun, tidak dengan menjadi teman. Saya pun setuju, saya tidak pernah menganggap orangtua sebagai teman. Orangtua tetaplah orangtua di mata saya.

Dari perkataan ibu tersebut, saya jadi bertanya-tanya akan hubungan orangtua dan anak yang satu ini.

Apakah orangtua bisa menjadi 'teman' anaknya?

Bisa. Saya rasa, orangtua bisa menjadi teman anak. Namun, tetap harus ada batasan yang ditetapkan, baik orangtua maupun anak. 

Berikut adalah beberapa bahasan dan batasan yang harus ditetapkan baik orangtua maupun anak.

Untuk Orangtua

Orangtua menjadi teman anak (sumber: Berkeluarga.id)
Orangtua menjadi teman anak (sumber: Berkeluarga.id)

Pertama, awali dengan menjadi pendengar yang baik kemudian mentor. Daripada menggunakan pendekatan sebagai teman, lebih baik jika orangtua melakukan pendekatan sebagai pendengar yang baik sejak anak di usia belia. Menjadi good listener akan menambah rasa percaya anak kepada orangtua. 

Setelah pendekatan sebagai good listener, orangtua juga berperan menjadi pendamping atau mentor kehidupan anak. Mendengarkan anak saja belum cukup, orangtua juga  harus memiliki kemampuan untuk mendorong dan membimbing mereka mengambil keputusan yang tepat. 

Kedua, jangan kebablasan curhat dengan anak. Seringkali, orangtua yang menganggap anaknya teman, oversharing tentang masalah yang tidak seharusnya diceritakan. 

Orangtua menjadi terlalu terbuka terkait masalah-masalah yang lumayan berat jika dipikirkan oleh anak. Misalnya, masalah keuangan, pekerjaan, atau hubungan keluarga. Hal-hal yang seharusnya belum diketahui akan ditelan mentah-mentah dan memberikan tekanan psikologis kepada anak.

Ketiga, menjadi teman di usia anak yang tepat. Untuk orangtua, menjadi teman anak bisa dilakukan apabila anak sudah mulai menginjak usia remaja. 

Dilansir dari Parenting.id, Rany Moran, Certified Parenting Coach & Trained Counsellor menjelaskan bahwa usia remaja adalah usia emas, dimana anak masuk ke dalam fase mencari jati diri. 

Dalam fase ini, penting bagi orangtua untuk mendapatkan keterbukaan anak. Keterbukaan ini bisa menjadi dasar bagi orangtua untuk memberikan pendampingan agar anak tidak masuk dalam pergaulan yang salah dan mendapatkan jati diri mereka yang sesungguhnya.

Keempat, menjadi teman anak bukan dengan memberikan banyak kelonggaran. Orangtua sudah mulai menganggap anak sebagai teman akan cenderung memberikan kelonggaran dalam hal pengasuhan. 

Well, hal ini bukan sesuatu yang buruk. Namun, harus dipastikan terlebih dulu bahwa anak bisa menjaga kepercayaan dan bertanggungjawab akan itu. Orangtua harus tetap mengawasi anak sebagaimana mestinya.

Untuk Anak

memupuk kedekatan orangtua dan anak (sumber: Haibunda.com)
memupuk kedekatan orangtua dan anak (sumber: Haibunda.com)

Orangtua itu bukanlah teman kalian sepenuhnya. Pertama, orangtua harus dihormati. Walaupun mereka terbuka dan memberikan kepercayaan, kita harus tetap menghormati orangtua. Selalu hargai pendapat mereka. Jaga kepercayaan yang sudah mereka berikan dengan selalu menjaga norma sosial dan agama. Tetap menjaga nilai sopan santun dan menjaga lisan.

Kedua, tidak semua hal bisa kita ceritakan. Mungkin, saat masih berada di usia anak-anak, kita belum bisa mem-filter ucapan apa saja yang keluar dari mulut kita dihadapan orangtua. Kebanyakan dari kita mungkin masih polos dan menelan semua hal di dunia secara mentah-mentah dan mempertanyakan kepada orangtua setelahnya. Namun, keterbukaan setelah dewasa menjadi hal yang berbeda. 

Ada beberapa hal tidak bisa kita ceritakan, seperti penghasilan, rencana masa depan, rahasia orang lain yang kita tau, dan lain-lain. Selain bisa meningkatkan kadar ekspektasi orangtua, seringkali beberapa hal tersebut juga memberikan beban pikiran bagi orangtua yang bisa saja mengganggu kesehatan mereka.

Ketiga, orangtua tetaplah mentor anak. Sebagai anak, orangtua tetaplah seorang mentor kehidupan, bukan teman. Orangtua akan tetap menjadi rumah tempat kita pulang. Tempat kita menanyakan hal-hal yang tidak ada di dalam buku pelajaran dan menjadi pembimbing kita dalam mengambil keputusan penting. Walaupun mungkin memiliki pengalaman yang berbeda, pasti ada nilai-nilai dari orangtua yang tidak tergantikan oleh sosok teman mana pun. 

Menurut kalian bagaimana? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun