Masyarakat juga mempertanyakan apakah para pegawai tersebut memiliki usaha lain karena kemewahan yang dinikmati oleh keluarga mereka.Â
Intinya, dari mana asal dari privilese ekonomi yang mereka dapatkan ini? Apakah dari gaji? Atau dari berbagai bisnis yang mereka miliki?
Berawal dari dua berita di atas, banyak lembaga yang mengeluarkan surat edaran agar pegawai mereka tidak hedon. Sebut saja Dirjen Perhubungan Laut, Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan PT. Pelindo.Â
Ketiga lembaga tersebut mengeluarkan surat edaran yang berisi larangan untuk tidak berperilaku hedonisme dan arahan agar menerapkan pola hidup sederhana kepada para pegawai dan keluarga. Dalam surat-surat tersebut, pegawai juga ditekankan akan kewajiban menjaga citra perusahaan.
Bukannya setuju akan adanya surat edaran tersebut, banyak masyarakat yang justru kecewa. Pasalnya, yang menjadi fokus pemerintah bukan penyelesaian masalah yang sebenarnya.
Hedonisme berasal dari Bahasa Yunani, Hedone yang berarti kesenangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hedonisme merupakan pandangan yang menganggap bahwa setiap kesenangan dan kenikmatan dalam bentuk materi merupakan tujuan utama dalam hidup seseorang. Atau dalam kata lain, hedonisme adalah foya-foya.
Gaya hidup hedonisme membuat seseorang membeli berbagai barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan dengan tujuan kesenangan saja.Â
Contohnya seperti gemar membeli mobil mewah, sering berbelanja, sangat royal tetapi kemampuan finansial yang tidak mencukupi, dan lain-lain. Tentunya, gaya hidup ini sangat berkebalikan dengan gaya hidup sederhana.Â
Hedonisme biasanya diiringi dengan keinginan untuk selalu membagikan atau memamerkan kekayaan yang dipunyai. Kegiatan seseorang yang pamer tentang harta, pencapaian, dan berbagai hal lainnya kepada orang lain disebut dengan flexing.
Dikutip dari Kompas, gaya hidup ini memiliki beberapa efek yang buruk bagi kehidupan. Seseorang bisa menjadi sosok yang konsumtif, egois, boros, dan tidak bertanggungjawab.Â