Beberapa pekan lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kabar tidak mengenakkan dari jagat hiburan. Salah satu pasangan artis muda dikabarkan terlibat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).Â
Sang suami berinisial RB dilaporkan oleh sang istri berinisial LK Â ke Polda Metro Jaya karena telah melakukan tindak KDRT.Â
Hal ini berawal dari LK yang mengetahui suaminya telah berselingkuh. Sang istri kemudian meminta agar dipulangkan ke rumah orang tuanya.Â
Namun, permintaan ini malah menyulut emosi RB hingga terjadilah KDRT. RB kemudian mencekik dan membanting LK ke kasur. Ia juga menarik LK dan membantingnya ke lantai kamar mandi.
Usai mendapatkan perlakuan yang sangat tidak mengenakkan dari suaminya, LK lalu melaporkan tidakan tersebut beserta hasil visum dari rumah sakit.
Setelah laporan KDRT ini viral, masa lalu RB banyak dikuak oleh berbagai pihak. Banyak yang mengungkapkan masa lalu RB yang dianggap tidak baik dan tidak sebanding dengan LK. Kabar negatif tentang RB terus berseliweran yang diikuti dengan reaksi negatif dari banyak pihak.Â
Reaksi negatif pertama berasal dari netizen. Akun media sosial milik RB dihujani komentar negatif. Jumlah pengikutnya juga turun drastis.Â
Reaksi negatif lain berasal dari dunia hiburan dan stasiun TV nasional. banyak artis yang memberikan kata-kata dukungan untuk LK dan sangat menyayangkan perilaku RB.Â
Tidak hanya itu saja, salah satu stasiun TV memutuskan untuk mengeluarkan RB dari suatu program, penundaan pemberian penghargaan kepada pasangan tersebut, hingga aksi boikot pun dilakukan.
Nah, fenomena yang menghantam RB ini disebut dengan Cancel Culture.
Apa itu cancel culture?
Secara umum, cancel culture dapat diartikan sebagai bentuk aksi boikot terhadap seseorang atau suatu pihak karena adanya skandal atau  perilaku negatif yang telah dilakukan.Â
Hal ini bisa terjadi kepada siapapun, tetapi kasus cancel culture makin parah terjadi kepada public figure atau tokoh publik.Â
Dilansir dari Parapuan.com, cancel culture tidak hanya berbentuk ujaran kebencian, tetapi juga surutnya dukungan. Seperti yang kita tahu, bentuk dukungan yang dulunya diberikan berangsur-angsur hilang.Â
Selain karena adanya skandal atau tindakan negatif yang dilakukan oleh seseorang, cancel culture juga disebabkan oleh beberapa hal lain. Dilansir dari detik.com, kurangnya literasi menjadi salah satu penyebab adanya cancel culture.Â
Kurangnya literasi ini membuat seseorang menutup diri dari fakta yang sebenarnya yang berujung pada perilaku main hakim sendiri.
Selain kurangnya literasi, standar ganda juga menjadi penyebab lain. Para public figure diharapkan selalu berperilaku baik dan menjadi contoh dimanapun.Â
Akhirnya, terbentuklah ekspektasi akan sosok suci yang tidak boleh melakukan kesalahan satu pun. Padahal, mereka juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.Â
Saat melakukan suatu kesalahan, mereka akan mendapatkan feedback yang sangat negatif dari masyarakat. Berbeda dengan orang biasa yang mungkin tidak akan mendapatkan reaksi yang begitu keras dari lingkungan saat melakukan kesalahan.
Dua sisi efek cancel culture
Seperti koin, ada dua sisi dari cancel culture, positif dan negatif. Positifnya, cancel culture membawa perubahan yang lumayan konkret.Â
Contoh, karena ada kasus KDRT oleh tokoh publik, masyarakat menjadi lebih aware akan kasus serupa, masyarakat juga bisa lebih berempati dan tidak lagi menganggap remeh kasus kekerasan domestik yang sejatinya banyak terjadi.Â
Tindak lanjutnya, pemerintah dan instansi terkait bisa lebih memperkuat undang-undang perlindungan akan korban KDRT.
Selain efek positif, ada juga efek negatifnya. Karena di-cancel, semua perilaku dan kegiatan seseorang akan dianggap sebagai sesuatu yang salah.Â
Menurut Vox, cancel culture menjadi salah satu cara untuk mengakhiri karir si pembuat skandal. Nama si pembuat skandal akan menjadi buruk di mata publik. Sederhananya, fenomena ini adalah bentuk terbaru sanksi sosial dari publik.
Banyak dari korban cancel culture beristirahat dari sosial media dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, mereka yang diboikot akan merasa dikucilkan dan terasingkan.Â
Tindakan inilah yang menyebabkan terganggunya kesehatan mental, mulai dari kesepian, stress, kecemasan, depresi, hingga tingkat kemungkinan bunuh diri yang tinggi.
Selain efek negatif pada mereka yang diboikot, keluarga dan orang disekitar akan mendapatkan getahnya.Â
Walaupun tidak separah apa yang terjadi pada tokoh publik yang diboikot, kebanyakan dari mereka juga mendapatkan pandangan buruk dan mendapatkan perlakuan yang buruk. Tidak diterima di masyarakat, mendapatkan komentar kebencian di sosial media, hingga teror di lingkungan rumah.
Tampaknya, efek negatif dari cancel culture lebih banyak memberikan tekanan pada mereka yang diboikot.Â
Hanya sangat sedikit orang yang bisa kembali naik dan masuk ke bidang yang membesarkan namanya. Saat ingin kembali dan menelurkan karya baru, reaksi keras dan boikot acap kali terjadi. Bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Mungkin masih ada sedikit kesempatan bagi mereka yang diboikot untuk kembali, walaupun dengan persentase yang sangat kecil.Â
Namun, dibutuhkan usaha yang lebih keras dari sebelumnya dan adanya kesungguhan. Kesungguhan bahwa dia benar-benar sudah memperbaiki diri dan terbukti dengan usaha yang dia lakukan.
Back to the earlier story. Menurut anda, apakah sosok RB yang saat ini sedang mendapatkan cancel culture dari masyarakat Indonesia, akan bisa kembali lagi berkarya dan menghiasi layar kaca?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H