Dapat dipahami bahwa Tan Malaka adalah salah satu dampak dari politik etis yang sedang berkembang di Indonesia pada masa itu. Setelah menjalani pendidikan di Belanda, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1919 dengan membawa pengetahuan yang didapatkan di sana. Ia kemudian terlibat dalam gerakan politik. Tan Malaka memiliki dua pilihan, yaitu menyerah atau melawan. Ia bisa memilih untuk tetap sebagai guru dengan gaji yang tinggi, menikmati kehidupan nyaman, atau meninggalkan semua fasilitas itu untuk melawan ketidakadilan. Dalam perjuangannya, Tan Malaka tidak hanya berpikir tentang kemenangan, tetapi juga mempertimbangkan tujuan setelah meraih kemenangan tersebut. Di sinilah terletak keunggulan Tan Malaka; selain menjadi ahli strategi perang, dia juga seorang filsuf yang mengembangkan filsafat revolusioner yang menjadi landasan perjuangannya. Muhtar Said mengutip pernyataan Tan Malaka dalam karyanya yang bertajuk "Manifesto Jakarta" (1945), "Jangan biarkan modal asing mengganggu perkembangan perusahaan Indonesia. Ini pasti akan terjadi jika modal asing diizinkan untuk menyewa tanah dan menguasai sumber daya Indonesia" (Purwaningsih, 2019).
Konsep berpikir Tan Malaka terkait dengan sistem negara yang ada dalam visinya adalah menempatkan negara sebagai entitas dengan kekuasaan total yang mampu mengawasi hingga ke lapisan terbawah. Selain itu, Tan Malaka melihat komunisme bukan sebagai sebuah sistem nilai yang terikat pada dogma, tetapi sebagai pendekatan dan strategi untuk mewujudkan impian bangsa Indonesia. Ia menafsirkan komunisme sebagai alat untuk mengusir penjajah dari Indonesia, terbukti dari komitmen internasional yang mendorong perpaduan antara pan-Islamisme dan komunisme demi menghapuskan feodalisme dan imperialisme.
Namun, untuk mengatur Indonesia, revolusi nasional saja tidak memadai. Diperlukan juga revolusi sosial untuk membangun suatu sistem kehidupan yang bebas dari penindasan dan berpihak pada keadilan. Pemikiran ini kemudian menjadi landasan bagi Tan Malaka, yang menjadikannya seorang perancang negara dengan cita-cita kesejahteraan rakyat Indonesia di bawah prinsip sosialisme dan keadilan. Salah satu faktor yang membentuk karakter politik Tan Malaka adalah budaya Minangkabau. Selain itu, aspek religius juga memainkan peran penting, sehingga memberikan pengaruh besar terhadap cara berpikirnya.
Dan juga karena masa mudanya, Tan Malaka pernah beberapa kali menginjakan kakinya ke wilayah barat, sehingga ada peran pengaruh marxisme dalam setiap konsep berfikirnya. PKI merupakan partai marxis yang paling besar dan signifikan di Indonesia. Sejarah partai ini banyak dipenuhi oleh berbagai tantangan yang muncul, terutama karena adanya perbedaan antara ideologi marxis yang diwakili oleh komintern dan kenyataan yang ada di Indonesia. Tantangan ini muncul dari perbedaan yang sangat mendasar, tidak hanya terkait perkembangan pki, tetapi juga berkaitan dengan peran asli marxis dalam arus utama nasionalisme di Indonesia.
Dengan penjelasan tersebut, penulis ingin menghubungkan dengan cara berpikir tan malaka. Tidak dapat disangkal bahwa pemikiran revolusioner tan malaka sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme. Ia juga terlibat dalam pki dan bahkan menjabat sebagai ketuanya, serta menjadi perwakilan komintern untuk Asia di Moskow. Hal ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tan malaka adalah seorang marxis menurut pandangan penulis.
Sementara itu, teori revolusioner yang dipelajari tan malaka berasal dari revolusi Perancis. Filsafat materialisme dialektika dan historis yang diajukan oleh karl marx, berusaha dikembangkan tan malaka dalam konteks yang berbeda, yaitu dengan memperhatikan situasi dan kondisi Indonesia yang sedang dijajah pada waktu itu. Marxisme adalah sistem pemikiran yang muncul dari pandangan karl marx. Menurut lenin, marxisme adalah seni yang melanjutkan dan menyempurnakan tiga aliran ideologi utama di abad ke-19, yang masing-masing dipresentasikan oleh tiga negara maju dalam sejarah umat manusia, yaitu filsafat klasik Jerman, ekonomi politik klasik Inggris, dan sosialis Perancis, yang semuanya dipadukan dengan ajaran revolusi Perancis.
KESIMPULAN
Pemikiran dan perjuangan Tan Malaka fokus pada upaya memerdekakan bangsa Indonesia sambil melakukan transformasi menyeluruh terhadap sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tan Malaka, yang memberikan kontribusi signifikan sebelum tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Hatta, menerbitkan pamflet "Naar de Republik Indonesia" pada tahun 1925 yang berisi gagasan dan konsep menuju kemerdekaan. Setelah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia, ia berusaha untuk meningkatkan pendidikan anggota partai tersebut dan mendirikan Partai Republik Indonesia untuk menggantikan PKI. Tan Malaka mengusulkan bahwa negara merdeka harus mencakup industrialisasi dan kekuatan ekonomi untuk mencegah imperialisme. Dalam diskusi tentang republik, ia menolak sistem parlemen yang dianggap merugikan dan menyarankan agar negara dikelola oleh satu organisasi tunggal dengan pembagian tugas yang jelas. Melalui berbagai karyanya, Tan Malaka menekankan pentingnya hak-hak rakyat dan perwakilan oposisi yang terpisah dari masyarakat, sehingga pemikiran dan perjuangannya tetap relevan dalam konteks modern.
Buku karya Zulhasril Natsir, "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau," membahas keterkaitan revolusi Tan Malaka dengan sosio-kultural Minangkabau serta gerakan kiri yang menolak penjajahan. Tan Malaka, yang lahir di lingkungan terjajah, menunjukkan pemahaman mendalam tentang agama Islam dan nilai-nilai egaliter yang berpengaruh dalam gerakan politiknya. Setelah belajar di Belanda, ia kembali ke Indonesia dan mulai merangkul aktivitas politik, menghadapi pilihan sulit antara kenyamanan sebagai guru atau berjuang melawan ketidakadilan. Ia berperan aktif dalam organisasi politik, menjadi ketua Partai Komunis Indonesia, dan mendirikan Partai Republik Indonesia dan Partai Murba. Pemikiran Tan Malaka terinspirasi oleh marxisme dan memperjuangkan revolusi sosial dan nasional untuk menciptakan sistem yang adil. Ia memandang komunisme sebagai alat melawan penjajahan dan berkomitmen terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia melalui prinsip sosialisme. Budaya Minangkabau dan religiusitasnya memberi pengaruh besar dalam visi dan strategi perjuangannya.
Dan juga, dalil daripada Tan Malaka Mengkritiki daripada konsep trias politica Montesquieu adalah ada peluang masuknya kaum pemodal ke wilayah kekuasaan, baik it uke Lembaga Eksekutif, Lembaga Legislatif dan Lembaga Yudikatif. Pada akhirnya, demokrasi yang awalnya tujuanya untuk kemaslahatan rakyat bias menjadi hanya dirasakan segelintir orang atau kelompok-kelompok tertentu. Tan Malaka menekankan bahwasanya negara ini tidak perlu parlemen, negara ini cukup diisi oleh satu partai/organisasi sebagai penguasa/pemerintah dan satu partai/organisasi sebagai oposisi. Dan juga agar partai/organisasi tersebut terhindar dari orang-orang yang tidak berkompeten, system recruitmentnya adalah dengan kaderisasi yang ketat. Maka terciptalah demokrasi yang ideal menurut Tan Malaka yaitu Kesejahteraan Rakyat.
Adi Setiawan, A. (2017). Analisis Wacana Pemikiran Politik Tan Malaka Pada Buku Aksi Massa Karya Tan Malaka. Universitas Wahid Hasyim Semarang.