Mohon tunggu...
Puwan Muda Muawanah 121211059
Puwan Muda Muawanah 121211059 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Dian Nusantara

Mahasiswa Universitas Dian Nusantara Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Sarjana Akuntansi Mata Kuliah Akuntansi Forensik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 13: Aplikasi Proses Pembuktian dan Argumentasi Logika pada Bukti Dokumen Kecurangan

7 Juli 2024   10:19 Diperbarui: 7 Juli 2024   10:25 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri/Aplikasi Proses Pembuktian dan Argumentasi Logika pada Bukti Dokumen Kecurangan 

Proses pembuktian dan argumentasi logika merupakan langkah penting dalam mengungkap dan membuktikan kecurangan, terutama dalam konteks keuangan. Pembuktian melibatkan pengumpulan bukti yang kuat dan valid, sementara argumentasi logika memastikan bahwa bukti tersebut diinterpretasikan dengan cara yang tepat untuk membangun kasus yang meyakinkan. 

Dalam tulisan ini, kita akan membahas aplikasi dari proses pembuktian dan argumentasi logika pada bukti dokumen kecurangan dengan contoh nyata pada kasus kecurangan keuangan.

The Process of Proof (Proses Pembuktian)

Dalam argumen hukum, inferensi adalah efek persuasif dari setiap bukti. Dari keberadaan alat pembuktian tersebut, juri dapat menyimpulkan bahwa ada suatu fakta akhir. Jadi, kita mungkin menganggap pembuktian sebagai efek bersih total dari kesimpulan yang telah ditarik. 

Dengan kata lain, dari bukti mengalirlah kesimpulan, dan dari gabungan inferensi mengalirlah kesimpulan. Dalam konteks hukum, kesimpulan merupakan pembuktian. Kemampuan untuk membuktikan suatu fakta akhir hanya bergantung pada kekuatan kesimpulan, bukan pada bukti itu sendiri. Hal ini benar karena terlepas dari sifat atau volume bukti yang disajikan, jika kesimpulan yang diambil salah atau lemah, kita tidak dapat mencapai kesimpulan yang diinginkan.

Inference (Dugaan)

Seperti halnya pembuktian teori-teori ilmiah, kita harus menghubungkan dugaan-dugaan yang menjadi dasar kita dalam menemukan kesalahan dalam cara yang logis dan linier. Namun, tidak seperti penemuan ilmiah, pembuktian hukum harus sesuai dengan kerangka sempit aturan yang ditegakkan secara ketat. 

Aturan-aturan ini, untuk tujuan teks ini, berkisar pada relevansi. Bukti kejahatan tambahan yang tidak dikenakan dakwaan dan fakta-fakta lain yang sangat merugikan, serta bukti yang diperoleh secara ilegal, tidak dapat diterima (dalam sebagian besar keadaan) dan tidak boleh menjadi sasaran pengejaran Anda. Namun, Anda harus menyerahkan rincian prinsip-prinsip hukum ini kepada jaksa---seorang praktisi hukum yang sangat terlatih.

Relevance (Relevansi atau Kaitan)

Singkatnya, bukti dianggap relevan jika bukti tersebut cenderung membuktikan atau menyangkal suatu isu yang diperdebatkan. Misalnya, jika pertanyaan apakah matahari bersinar merupakan pertanyaan utama, maka fakta bahwa saat ini sudah pukul sepuluh pagi akan tampak sangat relevan. 

Fakta bahwa ini tanggal 17 Januari 2003, tidak akan terjadi. Kebingungan mengenai relevansi dan ketidakrelevanan muncul karena kita jarang membuktikan kasus berdasarkan logika tunggal. Sebuah fakta mungkin tidak tampak relevan dengan pertanyaan utama yang dipermasalahkan; namun, ketika pertanyaan utama dipecah menjadi sub-pertanyaan komponennya, relevansi faktanya menjadi lebih jelas.

Untuk memahami sepenuhnya bagaimana membangun rantai logika ini secara efektif, penyidik harus memahami sifat logika yang mendasari argumen hukum. Ada beberapa bentuk argumen logis; dua hal yang paling kita perhatikan dalam konteks pembuktian hukum adalah deduktif dan induktif.

Selain Inference dan Relevance proses pembuktian dalam konteks kecurangan keuangan melibatkan beberapa langkah kunci:

  1. Pengumpulan Bukti: Langkah pertama adalah mengumpulkan semua dokumen yang relevan, termasuk laporan keuangan, catatan transaksi, dan korespondensi email. Setiap dokumen harus dianalisis untuk menemukan indikasi kecurangan.

  2. Verifikasi Keaslian Dokumen: Memastikan bahwa dokumen yang dikumpulkan adalah asli dan belum dimanipulasi. Ini dapat melibatkan pemeriksaan metadata, analisis tanda tangan digital, dan konsultasi dengan pihak ketiga yang berwenang.

  3. Analisis Konten: Melakukan analisis mendalam terhadap konten dokumen untuk mengidentifikasi anomali atau inkonsistensi yang dapat mengindikasikan kecurangan. Teknik ini termasuk analisis data, pemeriksaan pola transaksi yang tidak biasa, dan perbandingan dengan dokumen lain.

  4. Korelasi Bukti: Menghubungkan berbagai bukti yang ditemukan untuk membentuk pola atau cerita yang menunjukkan adanya kecurangan. Korelasi ini bisa dilakukan melalui teknik seperti pemetaan konsep dan analisis jaringan.

dokpri/Aplikasi Proses Pembuktian dan Argumentasi Logika pada Bukti Dokumen Kecurangan 
dokpri/Aplikasi Proses Pembuktian dan Argumentasi Logika pada Bukti Dokumen Kecurangan 

The Logic of Argument (Argumentasi Logika)

Setelah bukti dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah membangun argumentasi logika yang kuat untuk menunjukkan bahwa kecurangan telah terjadi. Ini melibatkan beberapa elemen utama:

Argumen Deduktif

Penalaran deduktif adalah suatu bentuk argumen yang bekerja dari hal yang umum ke hal yang lebih khusus; kita sering menyebutnya sebagai logika "top-down". Sebaliknya, penalaran induktif bekerja dari observasi khusus ke observasi yang lebih luas dan umum; terkadang kita menyebutnya sebagai penalaran "bottom-up".

Argumen yang dikemukakan secara deduktif menawarkan dua atau lebih aturan atau pernyataan yang secara otomatis mengarah pada suatu kesimpulan. Bentuk argumen ini disebut sebagai silogisme, pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles, dirancang untuk menghasilkan kepastian matematis. Penggunaan silogisme, atau pernyataan matematis, memastikan bahwa alur argumen mengarah secara logis pada kesimpulan. Argumen deduktif minimal memiliki tiga pernyataan: premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.

Pernyataan pertama, atau premis mayor, adalah pernyataan kebenaran umum yang berhubungan dengan kategori-kategori, bukan objek-objek terbatas. Dalam premis mayor terdapat dua bagian: anteseden dan konsekuen. Frasa pendahulunya adalah frasa subjek, dan frasa konsekuennya adalah predikat. Misalnya, pernyataan, "semua manusia fana," mengandung frasa pendahulunya, "semua manusia" (kategori umum), dan frasa konsekuen, "bersifat fana."

Pernyataan kedua, premis minor, merupakan pernyataan mengenai suatu kejadian tertentu yang tercakup dalam premis mayor. Misalnya, frasa, "Socrates adalah seorang laki-laki," adalah pernyataan kebenaran yang berhubungan dengan contoh spesifik yang diatur oleh premis mayor.

Pernyataan ketiga, kesimpulan, harus mengikuti secara alami hubungan premis mayor dan premis minor satu sama lain. Jika tidak ada kekeliruan deduktif, pernyataan ini merupakan akibat yang tidak bisa dihindari dari dua pernyataan pertama. Dalam contoh di atas, "Socrates bersifat fana," merupakan kesimpulan yang wajar dan tak terhindarkan terhadap premis mayor dan premis minor.

Dalam membentuk argumen deduktif, kita dapat menghubungkan premis minor dengan premis mayor dalam empat cara berbeda. Hanya dua yang menghasilkan argumen logis yang masuk akal; dua lainnya menghasilkan kesalahan deduktif. Struktur dalam ilustrasi kita adalah contoh penegasan anteseden. 

Dalam bentuk ini, premis minor menegaskan bahwa suatu kejadian tertentu merupakan contoh dari pendahulunya premis mayor. Dalam contoh kita, kita menyatakan bahwa Socrates memang seorang laki-laki. Kami menegaskan bahwa Socrates dan keadaan manusia adalah setara.

Argumen Induktif

Berbeda dengan penalaran deduktif yang memiliki ketepatan matematis, penalaran induktif tidak dirancang untuk menghasilkan kepastian. Bentuk argumen logis ini menggunakan serangkaian pengamatan untuk mencapai suatu kesimpulan. Dengan menggabungkan serangkaian observasi dengan observasi sebelumnya untuk mencapai kesimpulan yang dapat dipertahankan.

Dari tiga bentuk dasar penalaran induktif, yakni :

1. Induksi dengan Enumerasi atau Generalisasi, adalah yang paling umum. Dalam hal ini, kita akan membuat pernyataan umum mengenai beberapa hasil prediksi berdasarkan pengamatan terhadap contoh spesifik terhadap suatu hal. Misalnya, pernyataan, "semua pengacara busuk," jika didasarkan pada pengamatan Anda terhadap tiga pengacara terakhir yang Anda temui, tidak ada jaminan absolut bahwa semua pengacara di seluruh dunia busuk, karena induksi tidak memberikan kepastian yang sama seperti deduksi.

2. Generalisasi yang tergesa-gesa

Karena logika induktif kurang tepat dibandingkan logika deduktif, kekeliruan sering kali lebih sulit diidentifikasi. Kekeliruan yang paling sering dikaitkan dengan penalaran induktif adalah generalisasi yang tergesa-gesa. Ketika sebuah argumen gagal dalam melakukan generalisasi yang tergesa-gesa, lompatan induktif yang diminta oleh pendukung untuk dilakukan oleh pengambil keputusan terlalu jauh. Bukti yang cukup tidak mendukungnya.

Pernyataan berikut ini disebabkan oleh kekeliruan generalisasi yang tergesa-gesa:

"Perusahaan XYZ adalah perusahaan ekspor-impor yang beroperasi dari Miami, Florida. Ini terlibat dalam pencucian uang."

Pernyataan ini mungkin benar atau mungkin tidak. Tidak ada cukup bukti berdasarkan pernyataan ini untuk menarik kesimpulan. Ada kemungkinan bahwa pernyataan tersebut benar, namun lompatan dari keberadaan Perusahaan XYZ sebagai bisnis ekspor-impor di Miami sampai pada kesimpulan bahwa perusahaan tersebut melakukan pencucian uang terlalu luas untuk dapat dipastikan.

3. Eksklusi 

Kekeliruan umum kedua yang terkait dengan generalisasi adalah eksklusi. Proses eksklusi dalam argumen induksi merupakan tindakan menghilangkan atau mengabaikan data atau kasus tertentu yang mungkin relevan atau penting untuk penarikan kesimpulan. Misalnya, pertimbangkan argumen berikut:

"Polisi menemukan mayat dengan tiga luka tembak."

Kesimpulan yang aman, meskipun tidak pasti secara matematis, adalah bahwa orang yang ditemukan polisi meninggal karena luka tembak---kecuali kita juga mengetahui bahwa mayat tersebut tidak memiliki kepalanya.

Meskipun masih ada kemungkinan bahwa korban meninggal karena luka tembak dan pemenggalan kepala dilakukan setelah kematian, ada kemungkinan juga bahwa cara kematiannya adalah dengan pemenggalan kepala dan seseorang memberikan luka tembak setelah kematian untuk tujuan lain. Kekeliruan eksklusi memaksa pengambil keputusan mengambil kesimpulan yang salah karena kurangnya bukti alternatif yang relevan.

Penalaran Induktif versus Deduktif dalam Pembuktian Kasus

Seperti yang Anda lihat, penalaran induktif dan deduktif sangat mirip, perbedaan terbesarnya terletak pada cara kita mengungkapkan argumen. Ketika Anda berargumentasi dari hal yang umum ke hal yang khusus, maka penalaran deduktiflah yang berperan. Ketika Anda bernalar dari observasi spesifik ke generalisasi yang lebih luas, logika induktif berperan. Penting untuk dicatat bahwa kita dapat menyusun kembali semua argumen induktif menjadi silogisme deduktif, dan sebaliknya.

Sebagai seorang penyelidik, Anda akan menemukan kedua bentuk penalaran logis tersebut. Namun, pemberian bukti dalam sistem hukum sering kali akan membuat Anda terpapar pada logika induktif. 

Dalam proses pembuktian, adalah umum untuk menyatakan dan membuktikan fakta-fakta spesifik yang terisolasi dan membangun kesimpulan umum. Oleh karena itu, proses induktif yang berpindah dari pengamatan khusus ke kesimpulan umum sepertinya terasa tepat.

Kita harus mencatat bahwa beberapa pembaca mungkin berpendapat bahwa penalaran deduktif lebih efektif karena lebih pasti secara matematis, harus menjadi bentuk logis yang lebih disukai dalam proses hukum. Ingatlah bahwa hukum, dan sistem penyelesaian sengketa secara hukum, berkaitan dengan kemungkinan, bukan kepastian. Ini bukanlah bukti mutlak yang kita cari; itu adalah bukti yang tidak diragukan lagi. 

Karena penalaran induktif idealnya cocok untuk menalar dari fakta (bukti) tertentu menuju generalisasi yang luas (rasa bersalah atau bersalah), induksi adalah bentuk argumen hukum yang lebih alami. Sebenarnya, tidak menjadi masalah apa bentuk argumen yang digunakan. Hal ini tidak berarti bahwa penalaran deduktif tidak berguna dalam konteks hukum. Justru yang terjadi justru sebaliknya.

Misalnya, kita dapat merumuskan argumen kita mengenai aktivitas Perusahaan XYZ. Argumennya secara induktif: 

"Perusahaan XYZ terlibat dalam pencucian uang karena merupakan perusahaan ekspor-impor yang beroperasi di Miami, Florida."

Dinyatakan dalam silogisme: 

(1) Semua perusahaan ekspor-impor yang beroperasi di Miami, Florida, terlibat dalam pencucian uang. 

(2) Perusahaan XYZ adalah perusahaan ekspor-impor yang berlokasi di Miami, Florida. 

(3) Oleh karena itu, Perusahaan XYZ terlibat dalam pencucian uang (deduktif).

Jelas sekali, contoh-contoh ini terlalu disederhanakan, sehingga dengan cepat mengungkap kekeliruan logika. Pada kenyataannya, hubungan inferensial dalam rantai logika jauh lebih halus, dan fakta sering kali mengaburkan kekeliruan logika yang dapat melumpuhkan argumen.

Kedua argumen tersebut, pada kenyataannya, tidak dapat dipertahankan secara hukum. Dalam contoh induktif, lompatan inferensial mungkin tidak sejelas dalam contoh deduktif, sehingga pembaca harus menyimpulkan bahwa semua perusahaan ekspor-impor yang beroperasi di Miami, Florida, terlibat dalam pencucian uang. Meskipun pembaca pasti merasakan ada sesuatu yang tidak beres, mungkin sulit untuk menentukan secara spesifik sumber ketidaklogisan tersebut.

Dalam contoh deduktif, luasnya lompatan inferensial yang dibutuhkan pembaca jauh lebih jelas. Dengan memecah proposisi ke dalam bentuk deduktif, kita lebih mudah mengungkap kekeliruan logika yang melekat dalam proses induktif.

Berdasarkan diskusi kita sebelumnya, dan fakta bahwa proses penentuan hukum terutama berkisar pada logika induktif, tugas Anda sebagai penyelidik mengharuskan Anda untuk waspada terhadap kekeliruan yang terkait dengan penggunaannya. Bahaya dari dua kekeliruan yang paling umum, yaitu generalisasi dan eksklusi yang tergesa-gesa, dapat dikurangi dengan menganalisis secara cermat alur argumen dan kesimpulan yang mengarah pada pembuktian unsur-unsur hukum tertentu.

Referensi :

1. Howard Silverstone Stephen Pedneault Michael Sheetz Frank Rudewicz. Forensic Accounting and Fraud Investigation

2. Albrecht, W. S., Albrecht, C. O., Albrecht, C. C., & Zimbelman, M. F. (2011). Fraud Examination. Cengage Learning.

3. Wells, J. T. (2014). Corporate Fraud Handbook: Prevention and Detection. John Wiley & Sons.

4. Giroux, G. (2008). Earnings Magic and the Unbalance Sheet: The Search for Financial Reality. John Wiley & Sons.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun