Mohon tunggu...
Putut Daerobi
Putut Daerobi Mohon Tunggu... Freelancer - Bukan apa apa, hanya apa adanya

hidup adalah pergerakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Carok Ketapang Laok, Sebuah Refleksi

20 November 2024   05:15 Diperbarui: 20 November 2024   07:17 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyaksikan video pendek itu dengan hati yang gelisah. Detik-detik sebelum sebuah nyawa melayang. Video itu viral di beberapa platfom media sosial, dan aku seperti terlempar ke dalam tragedi carok berdarah itu.

Peristiwa terjadi di Desa Ketapang Laok, Sampang. Seorang warga, yang disebut-sebut berinisial J, tewas setelah dikeroyok sekelompok orang bersenjata celurit. Kejadiannya berlangsung tak lama setelah calon bupati Slamet Junaidi berkunjung ke seorang tokoh agama setempat.

Ada kabar bahwa massa bersenjata menghadang perjalanan Junaidi, meski akhirnya ia berhasil menghindar lewat jalan lain. Tragisnya, korban J yang menjadi saksi pasangan calon bupati Jimat Sakteh justru tak luput dari insiden itu.

Aku menghela napas panjang. Bagaimana bisa sebuah perbedaan pilihan politik membawa seseorang kehilangan nyawa?

Ketapang Laok kini menjadi panggung yang memperlihatkan betapa tajamnya polarisasi di tengah masyarakat. Aku mencoba memahami, namun sulit diterima nalar.

Mengapa konflik politik, yang seharusnya menjadi arena gagasan dan kompetisi sehat, berujung pada pembantaian? Apakah ini cermin dari kegagalan kita menjaga nilai-nilai demokrasi?

Desa Ketapang Laok bukan sekadar latar, tetapi mikro-kosmos dari realitas sosial kita yang penuh bara. Rasa fanatisme berlebihan, sempitnya wawasan, dan lemahnya kemampuan mengelola perbedaan.

Aku teringat berita lain, serupa namun tak sama. Di berbagai daerah, konflik menjelang pemilu selalu menyisakan cerita pilu. Bukan hanya soal nyawa yang hilang, tetapi luka sosial yang terus menganga.

Di media, semua ini dilaporkan sebagai "kasus politik", namun aku percaya ada yang lebih dalam. Mungkin ini tentang identitas, ketidakadilan, atau rasa frustasi yang terpendam lama.

Lalu aku bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dalam demokrasi? Apakah kekuasaan begitu memabukkan hingga nyawa manusia menjadi tak berharga?

Carok di Ketapang Laok adalah alarm keras bagi kita semua. Ia bukan sekadar tragedi lokal, tetapi simbol dari persoalan nasional. Kita belum selesai dengan pendidikan politik. Kita masih mudah terprovokasi, menjadi alat dalam permainan kuasa tanpa sadar sedang merusak diri sendiri.

Aku membayangkan keluarga J yang kehilangan orang tercinta. Tak ada yang bisa mengembalikan nyawa yang telah melayang. Namun, tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk refleksi mendalam. Apakah kita ingin terus hidup dalam lingkaran kekerasan? Ataukah sudah waktunya kita memutus rantai ini dan mulai membangun masyarakat yang lebih dewasa secara politik?

Ketapang Laok akan selalu dikenang, bukan karena luka berdarah yang ia tinggalkan, tetapi sebagai pengingat bahwa perubahan sejati membutuhkan keberanian. Keberanian untuk melepaskan dendam, melawan fanatisme, dan menjadikan politik sebagai alat mempersatukan, bukan memecah belah.

Refleksi ini membawaku pada pertanyaan yang lebih besar: bagaimana carok yang dulu hanya menjadi simbol duel pribadi, kini berubah menjadi senjata politik? Tradisi, jika disalahgunakan, dapat kehilangan makna aslinya.

Carok di Madura seharusnya menjadi bagian dari narasi masa lalu yang dapat dikenang sebagai sebuah kebijaksanaan budaya, bukan berlanjut sebagai sarana membenarkan kekerasan.

Namun, di tengah kegelapan tragedi ini, aku tetap ingin mencari secercah harapan. Mungkin, insiden di Ketapang Laok dapat menjadi pemicu untuk kita semua mengupayakan perubahan.

Pendidikan politik menjadi lebih penting dari sebelumnya, terutama di daerah yang sering kali menjadi korban eksploitasi politik praktis. Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami bahwa pilihan politik bukanlah medan perang, melainkan ruang diskusi untuk mencari yang terbaik bagi masa depan bersama.

Para pemimpin dan tokoh masyarakat pun harus lebih bertanggung jawab. Ketika retorika politik menjadi terlalu provokatif, dampaknya bisa tak terkendali. Fanatisme yang dibakar dengan sengaja akan melahirkan tragedi seperti di Ketapang Laok.

Para elite harus mulai melihat bahwa suara rakyat bukan sekadar angka untuk meraih kekuasaan, tetapi nyawa dan kehidupan nyata yang harus dilindungi dan dihormati.

Aku ingin berbicara kepada generasi muda, jangan biarkan politik lama yang penuh intrik dan kekerasan menjadi warisan yang terus bertahan. Suarakan keadilan, pilihlah dengan hati nurani, dan jadilah agen perubahan yang membawa kesejukan.

Ketapang Laok mengajarkan kita bahwa demokrasi tanpa kedewasaan politik akan terus melahirkan luka. Kita perlu menjadikan tragedi ini sebagai pelajaran pahit yang tak ingin diulang.

Sudah saatnya kita mengakhiri siklus kekerasan ini dan melangkah menuju era di mana perbedaan bukanlah alasan untuk saling menyakiti, tetapi jembatan untuk saling memahami.

Aku berharap, suatu hari nanti, nama Ketapang Laok tak lagi diingat sebagai tempat berlumuran darah, tetapi sebagai titik awal sebuah perjalanan panjang menuju masyarakat yang lebih damai, dewasa, dan bijaksana. Sebuah masyarakat yang tak lagi membiarkan politik mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

Rabu, 20/11/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun