Dalam acara "Dialog Kebijakan Publik Pembangunan Bali" beberapa waktu lalu, saya menegaskan bahwa masyarakat sipil perlu berperan lebih aktif mengawal kebijakan publik.Â
Tema acara waktu itu menyangkut  peran media untuk memberi edukasi kepada masyarakat luas agar terdorong untuk mengawal kebijakan publik secara bersama-sama. Pentingnya acara tersebut tergambar dari kehadiran tokoh kemanusiaan asal India, Rsi Putra Manusia, yang dianugerahi PM India pengharaan Padma Shri. Ini penghargaan tertinggi dari pemerintah India bagi tokoh yang konsisten berjuang untuk kemanusiaan.
Sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut, saya menyoroti semakin lemahnya koalisi sipil akibat dibonsai oleh oligarki kekuasaan. Salah satu cara untuk menyikapinya adalah memaksimalkan peran media digital untuk memperkuat suara-suara publik dalam mengontrol kebijakan-kebijakan publik.Â
Kita telah melihat banyak contoh penyelesaian kasus besar karena dikawal masyarakat luas melalui berbagai platform media komunikasi digital. Namun, masih sangat jarang kita saksikan keterlibatan masyarakat luas  mengawal kebijakan publik.
Literasi Media
Prasyarat utama untuk bisa mengkapitalisasi kanal-kenal media sosial menjadi alat kontrol efektif terhadap penyelenggaraan kebijakan publik adalah literasi media.Â
Artinya, masyarakat perlu melek media terlebih dahulu agar bisa memberikan suara-suara kritis secara objektif. Seseorang yang sudah terbiasa menggunakan beragam media sosial tidak otomatis dapat dikategorikan melek media.Â
Literasi media menekankan kemampuan untuk memahami, menganalisis dan menentukan validitas informasi yang berseliweran di media. Kemampuan ini mesti dimiliki untuk bisa menjadi produsen berita yang objektif. Seorang pengguna facebook bisa menyampaikan kritik dan aspirasinya dengan baik dan benar hanya jika dia dapat memilah mana informasi yang baik dan benar. Ini gambaran sederhana tentang literasi media.
Salah satu tantangan terbesar dalam memajukan demokrasi di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat literasi media di kalangan masyarakat. Demokrasi Indonesia lebih banyak menghasilkan hiruk pikuk pertarungan opini tanpa substansi karena masyarakat masih sangat mudah  disetir melalui pencitraan dan provokasi melalui media.Â
Jurnalisme dalam hal ini tidak banyak membantu karena tak sedikit pengelola media massa justru tergoda untuk mengail untung dari kondisi masyarakat yang belum melek media.Â
Jurnalisme yang bermutu, tajam dan mendalam semakin jarang kita jumpai. Sebaliknya, semakin marak tren click bait dengan mengedepankan judul dan lead sensasional dan bombastis, tanpa keseriusan menyuguhkan isi berita yang lengkap, detail dan akurat. Dalam kaitan inilah kita semakin sering mendengar nubuat tentang senjakala jurnalisme.
Semakin minimnya jurnalisme yang mendalam sesungguhnya dapat diatasi lewat edukasi masyarakat. Jika jurnalisme tidak lagi mampu menghadirkan berita-berita yang mendalam, masyarakat perlu dididik untuk bisa menggali sendiri informasi yang mereka butuhkan.Â
Dalam kaitan inilah perusahaan-perusahaan pers penting menyelenggarakan acara-acara dialog publik dan juga workshop yang terbuka untuk umum. Jika masyarakat sudah memiliki literasi media yang baik dan paham dengan seluk-beluk kebijakan publik serta aturan-aturan penyelenggaran pemerintahan, masyarakat dengan sendirinya akan mampu menjalankan fungsi kontrol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H