Di tengah kisruh berkepanjangan seputar pemaksaan penggunaan busana bernuansa agama tertentu, seorang teman yang berstatus ekspat (WNA) di Indonesia bertanya "mengapa warga Indonesia tidak memiliki energi sebesar itu untuk medorong kebaya atau busana nasional lainnya menjadi jalan persatuan?".
Energi yang dia maksud energi yang kita habiskan untuk saling mencela dan bertikai panjang tentang pemaksaan dan pelarangan busana agama tertentu terutama di lembaga-lembaga formal. "Mengapa energi itu tidak kita habiskan untuk lebih memasyarakatkan kebaya dan busana-busana nasional lain?" demikian kira-kira pertanyaan teman yang berprofesi sebagai desainer tersebut.
Kita dibuat terperangah oleh praktik pemaksaan pembakaian busana agama tertentu di sebuah sekolah negeri di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Kemudian merembet juga ke beberapa sekolah di Jakarta. Kasus serupa sudah terjadi terlebih dahulu di Riau dan Sumatra Barat. Praktik sebaliknya, pelarangan penggunaan busana agama tertentu di Sumatra Utara dan Papua.
Kisruh seputar busana perempuan tersebut mencerminkan watak kita yang masih doyan menglorifikasi identitas primordial tertentu, tetapi di lain kesempatan mulut kita menaburkan kata-kata manis pluralisme.
Pluralisme mengisyaratkan keterbukaan dan kebebasan bagi pemeluk agama, suku dan daerah manapun untuk tampil dan mengekspresikan diri di lembaga pendidikan, di tempat kerja dan di kesempatan-kesempatan lain dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, pemaksaan dan pelarangan penggunaan busana bernuansa agama atau budaya tertentu menghianati prinsip pluralisme.
Selain dianugerahi dengan keberagaman budaya, etnis dan agama, Indonesia juga sesungguhnya dianugerasi warisan-warisan yang bisa dijadikan sebagai jalan penguat pluralisme. Salah satu di antaranya adalah warisan busana nasional yakni kebaya. Sekalipun kebaya pada awalnya sangat identik dengan busana Jawa, pada perjalanannya hampir tiap suku dan daerah di Indonesia sekarang memiliki desain kebaya bernuansa suku dan daerah masing-masing.
Ragam desain itu juga mencakup variasi penggunaan dan peruntukan (untuk acara pesta, kerja, acara formal kenegaraan, acara keagamaan dan sebagainya). Karena itu, mengapa kita tidak memulai pendidikan keberagaman itu sejak di bangku sekolah dengan mendorong para desainer untuk merancang kebaya anak-anak sekolah. Mengenakan kebaya di hari-hari tertentu masa sekolah akan memberi pengalaman konkrit bagi anak akan semangat kebangsaan, lebih tepatnya semangat persatuan dalam keberagaman.
Tahun lalu diselenggarakan Kongres Berkebaya Nasional (KBN) oleh orang-orang yang memiliki kepedulian pada kekayaan budaya nasional. Kegiatan seperti ini sudah semestinya didukung dan disukseskan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia karena kebaya telah mengalami akulturasi selama ratusan tahun ke ragam budaya di Nusantara. Karena itu ketua panitian KBN tahun lalu menyampaikan harapanya agar pemerintah menetapkan Hari Berkebaya Nasional (Okezone.com, 01/04/21).
Sejak puluhan dekade lalu, kebaya telah ditetapkan sebagai busana nasional. Tapi gaung penggunaannya dan popularitasnya di tengah masyarakat seringkali kalah oleh promosi-promosi busana bercorak sektarian. Karena itu, dibutuhkan upaya serius dari pemerintah dan perhatian lebih luas dari masyarakat Indonesia untuk lebih mempopulerkan busana-busana nasional.
Bagi perempuan, kebaya adalah pilihan paling tepat karena seperti diterangkan oleh pengamat tata busasa, Suciati, kebaya mengandung semangat kebersamaan (sebaya) dengan tujuan yang sama (CNN Indonesia, 18/08/19). Jika diartikan lebih luas, kebaya dapat mempererat kesatuan NKRI karena dapat membuat para pemakainya menumbuhkan semangat kebersamaan dengan kesadaran terhadap tujuan berbangsa yang sama. Semoga para perempuan Indoenesia semakin terdorong mengekspresikan semangat kebangsaan itu melalui kebaya.