Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negara Mesti Berani Menertipkan Perda-Perda Berbasis Agama

16 November 2021   12:36 Diperbarui: 16 November 2021   12:56 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rancangan Peraturan Daerah Penyelenggaraan Kota Religius di Depok yang viral di media beberapa minggu lalu menaikkan kekahwatiran para pemerhati demokrasi terhadap konservatisme agama yang semakin kuat dan meluas di Indonesia. 

Konservatisme agama sendiri sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan dari kaca mata demokrasi, sejauh tidak mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Perda berbasis agama adalah perwujudan dari kekuatan konservatisme agama dalam kebijakan-kebijakan publik.

Selain di Depok, Perda sejenis juga pernah memicu perdebatan panjang ketika Kabupaten Monokwari (Papua) menerapkan aturan-aturan berbasis Injil untuk mengatur penggunaan simbol-simbol agama, minuman beralkohol dan sejumlah isu lain. Beberapa daerah lain juga menerapkan peraturan-peraturan sejenis (Perda berbasis tafsir terhadap ajaran agama tertentu). 

Jika praktek seperti ini dibiarkan terus berlangsung, populisme agama dalam politik Indonesia secara perlahatan akan semakin terstruktur dan pada gilirannya akan menggerus semangat kebhinekaan yang merupakan fundamen dari paham kebangsaan Indonesia. 

Dari kaca mata demokrasi, peraturan negara (termasuk Perda) tidak semestinya ditujukan untuk mengatur cara beragama yang merupakan wilayah privat tiap warga. 

Tanggungjawab negara terhadap agama (sesuai konstitusi) hanya sebatas memberi jaminan kebebasan bagi tiap warga untuk menjalankan agamanya masing-masing. Negara tidak memiliki hak mengatur apalagi memaksa cara beragama warga berdasarkan tarfsir agama tertentu.

Kewajiban warga untuk menghentikan segala aktivitas di jam ibadah pada hari Minggu seperti diatur dalam Perda Injil Kabupaten Monokwari adalah contoh campur tangan kebablasan dari pemerintah terhadap wilayah privat warga. Hal ini juga dikriminatif karena tidak menyebutkan kewajiban warga di jam ibadah agama lain. 

Hal serupa juga terjadi dalam salah satu ayat dalam Raperda Kota Depok yang viral tersebut di mana disebutkan kewajiban Pemkot Depok membina masyarakat dan keluarga beragama Islam agar terbebas dari buta aksara Al-Quran, sedangkan pegaturan sejenis untuk penganut agama lain tidak disebutkan. 

Peraturan-peraturan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme yang telah menjadi roh kehidupan berbangsa di Indonesia dan secara telak merupakan pengingkaran pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi asas kebhinekaan semua perbedaan RAS di negeri ini.

Sekalipun pemerintah daerah berdalih bahwa Perda berbasis agama akan diupayakan adil bagi semua pemeluk agama di daerahnya, kelompok minoritas akan semakin rentan menjadi korban diskriminasi dan korban persekusi dari kelompok-kelompok intoleran yang menuntut ketaatan pada norma-norma agama tertentu yang menjadi ketentuan publik melalui Perda. 

Atas dasar itu negara (baca: pemerintah pusat) sudah semestinya membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam pembuatan Perda berbasis agama.

Pemerintah Pusat memiliki wewenang menertipkan Perda-Perda berbasis agama karena dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan dengan jelas bahwa peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah agama merupakan wewenang pemerintah pusat. Pasal ini semestinya menjadi senjata bagi pemerintah pusat untuk menertipkan peraturan-peraturan yang berpotensi menggerus semangat persatuan Indonesia.

Perlu upaya-upaya penyadaran lebih intens bagi semua penyelenggaran negara (termasuk Pemda) bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak dibangun atas tafsir terhadap ajaran agama tertentu atau atas tradisi daerah tertentu tetapi atas nilai-nilai kebhinekaan dan persatuan.  Para politisipun sangat penting menyadari hal tersebut karena ambisi untuk melahirkan Perda-Perda bebasis agama adalah buah dari praktek populisme agama dalam politik.

Ketika para politisi tidak memiliki program terukur untuk ditawarkan kepada masyarakat, mereka menggunakan pendekatan agama untuk menggalang dukungan. Konsekuensinya, ketika berhasil menduduki jabatan publik para petualang politik tersebut dituntut oleh konstituen untuk mewujudkan janji-janji populis mereka seperti pembuatan Perda berbasis agama. 

Maka jika tidak ada upaya membendung kelahiran Perda-Perda yang berbasis agama, populisme agama akan membentuk struktur yang lebih kokoh dalam politik Indonesia. Pelan-pelan masing-masing daerah akan menjadi wilayah dominasi eksklusif agama tertentu dan tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari kita akan kesulitan membedakan pemimpin politik dengan pepimpin agama di berbagai daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun