Jika tak selesai di mahkamah partai, Pasal 33 UU Parpol menyebutkan ada mekanisme gugatan ke pengadilan negeri dan kasasi Mahkamah Agung. Para penyelenggara KLB ilegal tersebut mengabaikan ketentuan ini dan pemerintah tak berusaha mencegahnya.
Selain UU Partai Politik, setiap partai diberi wewenang untuk menyusun aturan internalnya sendiri yang mengikat seluruh anggota. Menurut informasi yang dihimpun Ketua Majelis Tinggi PD, Susilo Bambang Yudhonono, penyelenggara KLB ilegal tersebut diawali dengan mengubah secara sesuka hati AD/ART resmi PD untuk memberi jalan bagi Moeldoko yang nota bene bukan anggota PD (tempo.co 06/03/20). Padahal kita tahu, AD/ART sebuah partai yang memiliki kekuatan hukum (disahkan oleh Kemenhukam) hanya bisa diubah dalam forum resmi.
Godaan Kekuasaan Absolut
Pada akhirnya, kita layak mempertanyakan komitmen presiden Jokowi pada demokrasi. Pemilihan Moeldoko dalam KLB Â ilegal tersebut mustahil tanpa sepengetahuan presiden karena isu tentang itu telah bergulir sebelumnya.Â
Dengan posisi Moeldoko sebagai salah satu pejabat penting dalam pemerintahan Jokowi, KLB ilegal tersebut layak diduga sebagai bagian dari langkah-langkah sentralisasi kekuatan politik.
Kita tahu dalam beberapa tahun terakhir Jokowi berhasil menarik hampir semua kekuatan politik utama di negeri ini ke dalam kekuasaannya. Praktis tinggal PD dan beberapa partai lain yang tetap berada di luar pemerintahan dan mengemban harapan untuk menjadi penyeimbang serta pemberi kontrol pada pemerintahan.
Dengan mempertimbangkan bahwa elektabilitas PD Â dalam beberapa waktu terakhir sedang naik di bawah kepemimpinan AHY, semakin masuk akal bahwa KLB ilegal tersebut merupakan bagian dari upaya sentralitasi kekuatan politik penguasa, baik untuk kepentingan jangka pendek (memuluskan pemerintahan tanpa kontro-oposisi) maupun untuk agenda jangka panjang. Kekuasaan politik memang selalu membawa godaan untuk memperbesar dirinya sendiri.
Godaan itu bisa melahirkan anarki jika aturan-aturan demokrasi tidak diindahkan. Dalam keadaan anarki sebagaiamana ditunjukkan melalui KLB ilegal tersebut, partai politik diposisikan sama persis dengan perusahaan yang bisa diambil alih secara paksa (hostile takeover) oleh  pemilik kekuasaan yang lebih besar.Â
Padahal kita tahu partai politik adalah salah satu lembaga vital demokrasi karena itu penyelenggaraan partai, penyelesaian sengketa (jika ada) dan semua dinamika yang ada dalam partai mesti dijalankan sesuai dengan prosedur-prosedur yang memiliki kekuatan legal dalam negara demokrasi.Â
Maka tidak berlebihan mengatakan bahwa KLB ilegal Deli Serdang merupakan tragedi demokrasi terburuk yang pernah menimpa sebuah partai dalam sejarah Indonesia. Untuk pertama kalinya, tokoh dari luar partai berusaha mengambil alih kekuasaan partai dan tokoh tersebut merupakan pejabat penting pemerintahan. Sungguh tragis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H