Di sinilah letak kerapuhan dari demokrasi itu sendiri, bahwa tanpa bukti-bukti keberhasilan yang valid, seorang politisi tetap dapat meraih simpati besar dari masyarakat. Para politisi populis seperti Trump sepertinya memahami peluang seperti ini sehingga percaya diri mengabaikan semua kritik.
Dia kukuh mempraktikkan gaya bepolitik "menambah teman sekaligus memperbesar musuh". Untuk membangkitkan fanatisme pendukungnya, dia tak segan-segan mengeluarkan klaim yang membuat marah kelompok tertentu terutama kaum imigran.
Dalam hitungan-hitungan politik elektoral, pendekatan Trump cukup masuk akal dan telah terbukti berhasil memberinya kemenangan 4 tahun lalu. Untuk memenangani Pilpres dengan sistem electoral college yang berlaku di AS, seorang politisi tidak perlu merebut simpati masyarakat secara nasional. Dia bisa saja membakar amarah masyarakat di daerah tertentu atau golongan tertentu untuk meraih simpati daerah atau golongan lainya yang memeliki electoral vote lebih banyak.
Menurut The US National Archive (Arsip Nasional AS), sudah ada 700 proposal yang pernah diajukan berbagai pihak ke Kongres untuk memperbaiki atau bahkan menghapus sistem Electoral College yang diterapkan AS dalam pemilihan presiden. Sistem ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip elektoral demokrasi di mana pemenang kontestasi ditentukan berdasarkan suara terbanyak (popular vote).
Untuk memperjelas, mari kita tarik perbandingan. Di Indonesia pemenang Pilpres ditentukan berdasarkan jumlah suara secara nasional yang diperoleh tiap pasangan kandidat. Dengan sistem seperti itu, one man one vote benar-benar terejawantahkan. Artinya, suara dari setiap pemegang hak pilih menentukan pemenang kompetisi.Â
Karena itulah, margin kemenangan atau kekalahan di setiap daerah akan berpengaruh pada perolehan suara secara nasional. Misalkan pasangan kandidat tertentu kalah jumlah suara di provinsi tertentu, jumlah suara yang diperoleh kandidat tersebut di provinsi tertentu itu tetap penting untuk menambah perolehan suaranya secara nasional.
Dengan sistem electoral college di AS, perolehan suara pasangan kandidat yang kalah di sebuah negara bagian akan tidak berguna atau hangus. Pemenang menggambil semua (the winner takes all). Demikian juga dengan margin kemenangan di negara-negara bagian tertentu, tidak berpengaruh dalam penentuan kemenangna secara nasional. Tidak ada bedanya menang tipis atau menang telak di negara-negara bagian kecuali di Maine atau Nebraska.
Gaya berpolitik "adu-domba" yang diterapkan oleh Trump, dimasukkan untuk mencari peluang yang tersedia dalam celah sistem electoral college. Karena itu, semakin banyak pegiat demokrasi mengkritik sistem tersebut dan kita baru saja menyaksikan bahwa sistem tersebut justru menunjukkan dengan telak kerapuhan demokrasi yang akhirnya membelah masyarakat AS.
Bagi Joe Biden-Kamala Harris tentu bukan pekerjaan mudah untuk meyakinkan 74 juta lebih pemilih Trump untuk melangkah maju bersama.Â
Mereka tidak mungkin mengabaikan begitu saja bahwa keterbelahan masyarakat AS sudah sedemikian dalam sebagaimana terbukti pada penyerangan gedung Capitol Hill baru-baru ini. Inilah penyerangan pertama pada Capitol dalam sejarah setelah Inggris pernah membakarnya pada tahun 1814.