Bali identik dengan tradisi budaya yang kuat. Itu bukan hanya citra atau hasil polesan industri pariwisata, tetapi sebuah kenyataan an sich (istilah populer Jerman untuk menggambarkan keadaan sebagaimana adanya). Nilai-nilai kebudayaan yang berakar kuat dalam masyarakat Bali dapat kita amati langsung dalam kehidupan sehari-hari: perilaku, relasi sosial, mata pencaharian, cara pandang dan sebagainya.Â
Berabad-abad nilai-nilai budaya itu mengalami proses internalisasi hingga menjadi bagian dari jati diri yang secara tak sadar terus melekat erat dalam diri tiap individu masyarakat Bali. Para pelancong, ilmuan, bahkan penjajah dari Barat kemudian menemukan keunikan budaya itu, mencoba mengartikulasikannya, kemudian mempopulerkannya sebagai salah satu bagian penting dari eksotisme budaya Timur yang mesti dijaga kemurniaannya.
Gerusan Bisnis Pariwisata
Sampai kemudian, di masa kontemporer hari ini, Bali masih mengedepankan aspek budayanya. Namun pergerakan budaya Bali bukan lagi berlangsung secara alami sebagaimana orang Bali dalam sejarah masa lampau, melainkan pergerakan budaya yang meninjau secara kritis atas perubahan-perubahan yang terjadi.Â
Bali yang sedemikian terbuka terhadap nilai luar menyebabkan ia rentan terhadap benturan kultural yang menyebabkan sejumlah aspek nilai dan tipografi Bali melenceng terlalu jauh. Pergeseran karena sikap yang terlalu permisif dari orang Bali dan peluang materi yang demikian besar menyebabkan terjadinya tindakan pengabaian terhadap kesadaran nilai asal.
Pembangunan dalam arti fisik secara masif menggerus banyak hal di Bali. Lebih spesifik, gelombang besar pariwisata sejak awal dasawarsa 80-an mulai melenakan orang-orang Bali. 'Pariwisata adalah raja di Bali'. Ia bukan saja menjanjikan kesejahtaraan melampui yang diharapkan, melainkan juga menjanjikan perubahan-perubahan yang hingga kini belum juga disadari oleh masyarakat Bali.Â
Hari ini, tipografi berbagai wilayah di Bali tak sama lagi, misalnya, dengan tipografi di masa tahun 80-an. Denpasar, beberapa wilayah Badung, beberapa wilayah Gianyar, beberapa wilayah Tabanan dan Buleleng, kini tak sama lagi dibandingkan dalam satu dasawarsa lalu.
Tinjauan-tinjauan kritis sebetulnya telah mulai dilontarkan oleh para generasi muda di masa pertengahan tahun 80-an lewat diskusi-diskusi kaki lima yang dilakukan oleh sekelompok anak muda yang tergabung dalam paguyuban Diskusi Merah Putih. Karena masih dalam kekuasaan rezim Orde Baru yang represif, mereka mengelabuhi para intel yang memata-matai sepak terjang mereka dengan pada awalnya berdiskusi perihal seni budaya.Â
Lalu tradisi itu kembali dihidupkan pada 1999 dengan memanfaatkan ruko tiga lantai milik salah seorang rekan pergerakan. Dengan nama Forum Merah Putih, mereka saat itu tak perlu lagi 'bersembunyi' mengungkapkan tinjauan kritis mereka terhadap berbagai persoalan di Bali, terutama perihal kekuasaan.
Kuatnya gerusan dan gempuran berbagai kepentingan di Bali sejauh ini belum juga 'menyadarkan' orang Bali dari berbagai kepentingan yang dijejalkan di Bali. kesejahteraan yang telah terbangun bagi masyarakat Bali pun tak membuat mereka lebih kritis, malahan terjadi sebaliknya. Bagi mereka, investasi yang masuk ke Bali, misalnya, adalah sebuah berkah dan abai melihat kemungkinan hal lain yang tergeser karenanya. Terlalu permisifnya masyarakat Bali membuat mereka yang berinvestasi dalam properti dan lain-lain dalam bidang pariwisata demikian mudah terlaksana.
Maka, sejak permulaan 1980 dan seterusnya sampai hari ini, pariwisata Bali bertumbuh dengan begitu pesat sampai kemudian bom Bali I pada Oktober 1997 menjedai perjalanan pariwisata Bali dalam waktu lebih dari satu dasawarsa. Meski Bom Basli I sempat melumpuhkan hampir seluruh perekonomian Bali, namun nampaknya daya pikat Bali kembali mendapatkan pesonanya satu setengah dasawarsa pasca Bom Bali I. Para pebisnis pariwisata i kembali mempertaruhkan modalnya di Bali. Namun setelah itu tabiat orang Bali kembali berulang; mengorbankan banyak hal demi pariwisata.
Ruang Dialog Kebudayaan Sudamala
Pesona Bali sering kali 'memakan dirinya sendiri'. Masyarakat Bali juga hingga sejauh ini masih terlena oleh 'kemakmuran' yang diberikan oleh berbagai investasi yang ditanam di Bali. Kondisi inilah yang kemudian menggelisahkan sejumlah aktivis sosial, budaya dan lingkungan. Berbagai ruang-ruang dialog dibuka dan digeber untuk menyikapi ketidakseimbangan lingkungan dan sosial ekonomi yang terjadi di Bali.
Salah satu ruang dialog yang dibuka adalah Dialog Budaya Sudamala. Sudamala sendiri adalah suatu penginapan dengan penyajian ruang berupa vila di lokasi Sanur. Sudamala Suites & Villas dibangun dari pemikiran yang bersinergi dengan latar belakang Sanur sebagai wilayah pantai sekaligus juga keketantalan budayanya. Dengan demikian, Sudamala berdiri bukan sekadar membangun hotel dengan konsep vila, melainkan juga membangun pergerakan budaya yang mengedepankan kekentalan orisinalitas budaya Bali khususnya.
Konsep pergerakan budaya ini pertama kali digagas oleh owner Sudamala Suites & Villas, Ben Subrata setelah berkonsultasi dengan satu dua budayawan Bali. Sebagai seorang pengusaha dan pelaku pariwisata, Ben Subrata juga adalah pencinta seni budaya. Sesuai dengan latar belakang pendirian Sudamala yang bersinergi dengan lingkungan Sanur yang kental dengan budaya, maka Ben Subrata segera mewujudkan cita-cita Sudamala yang memberi ruang pergerakan budaya di penginapannya.
Sebagaimana diketahui, Sanur adalah salah satu kantong penting dalam lintasan pergerakan budaya di Bali. Meski pada awalnya Sanur kental dengan kehidupan pantai, namun dari sinilah kemudian muncul pertama kali 'pasar sederhana seni rupa' setelah Denpasar, terutama saat seniman asing  Le Mayeur bermukim di Sanur, setelah itu disusul seniman Donal Friend. Dan salah satu maestro yang dilahirkan dari Sanur adalah pelukis Ida Bagus Njoman Rai yang karya-karyanya banyak dikoleksi oleh museum-museum di Australia dan Eropa. Di bidang kesastraan, Sanur juga melahirkan legenda sastra Bali, yakni Ida Pedanda Made Sidemen.   Â
Semakin kental aroma budaya Sanur ialah dengan hadirnya Museum Le Mayeur yang berdiri di tepi pantai Sanur. Sayang sekali museum ini kurang dikelola dengan baik, padahal nama Le Mayeur sangat 'menjual' dalam khasanah seni rupa nasional/internasional. Bahkan terbetik berita akan dibangun Museum Lontar Ida Pedande Made Sidemen di kawasan Sanur, mulai tahun 2019 ini. Â
Kekentalan budaya di Sanur inilah yang menjadi latar belakang kuat untuk menempatkan Sudamala ambil bagian dalam pergerakan budaya. Ben Subrata bahkan berani mengalihfingsikan satu gedung yang semula diperuntukkan sebagai bangunan restoran menjadi gedung kesenian yang diberi nama Sudakara Art Space. Tindakannya itu sebagai wujud kesungguhannya dalam menempatkan Sudamala sebagai space untuk pergerakan budaya. Baginya, Sudamala harus menyatu dengan lingkungan di mana Sudamala dibangun.
Bagi Sudamala, Bali bukan sekadar dunia pariwisata. Bali juga harus sanggup mengkritisi dirinya sendiri. Karena Sudamala meyakini bahwa apa pun akan berdampak. Demikian juga pariwisata Bali. Mustahil pariwisata yang sesungguhnya bersifat hedonistik itu tak membawa 'benturan' nilai dengan nilai-nilai yang sudah ada di Bali, mustahil pariwisata Bali tak mengambil ruang-ruang yang selama ini telah menempatkan fungsinya di Bali. lihatlah hari ini, orientasi nafkah, peruntukan ruang, carapandang baru dalam menyikapi turisme sebagai contoh, menjadi 'pegangan' orang Bali hari ini.
Meski sedikit terlambat, namun Sudamala masih memiliki waktu untuk menawarkan ruang dialog dan pergerakan budaya dalam menyikapi perubahan-perubahan orienrtasi dan sikap hidup masyarakat Bali itu sendiri. Karena bagi Sudamala, letak kesejatian Bali itu sendiri adalah dirinya sendiri, dan bayangkan jika itu berkurang bahkan hilang sama sekali, misalnya.
Melestarikan Subak
Salah satu kekayaan budaya masyarakat Bali adalah apa yang disebut subak. Secara sederhana subak dapat dijelaskan sebagai sistem pengairan sawah di Bali. Dengan pengertian yang sederhana itu, sistem pengairan semacam ini juga ada di Jawa, terutama di Jawa Barat yang hingga saat ini masih cukup lestari kawasan pesawahannya. Tetapi mengapa subak menjadi begitu terkenal di dunia, dan  sering menjadi 'sistem pengairan percontohan' bagi beberapa negara di Asia?
Karena subak di Bali hakikatnya bukan sekadar sistem pengairan. Ia bertalian dengan cara hidup, cara pandang, tersuratnya filosofi dan kearifan lokal. Sebagaimana diketahui, sebagian dari kehidupan masyarakat Bali berkaitan dengan hal-hal transenden, tradisi dan susastra kuno. Begitu pula dengan keberadaan subak. Tetapi di sini saya tidak secara khusus membahas subak secara holistik. Saya hanya mau menekankan bahwa subak bagi orang Bali adalah salah satu hal utama dalam urat nadi kehidupan mereka sebagai masyarakat agraris.
Subak sebagai 'ruh' masyarakat agraris di Bali inilah kemudian menjadi bagian yang terdampak dalam pesatnya progresivitas turisme di Bali. Kawasan pesawahan yang menjadi bagian teritegrasi dalam sistem subak lambat-laun beralih fungsi menjadi berbagai bangunan, sebagian besar dalam konteks kepentingan turistik. Hampir seluruh Bali adalah kawasan pesawahan di masa lalu, namun kini telah banyak berubah! Benar kata sebuah ungkapan; tak ada yang tinggal tetap!
Tergerusnya pesawahan di Bali dan dengan sendirinya pula akan mengikis budaya subak menjadi perhatian utama dalam diskusi perdana yang diseneggarakan oleh Sudamala. Dalam tajuk Dialog Budaya Sudamala, topik utama yang menjadi perhatian besar adalah "Menata Bali ke Depan: Prospektif Parisata dan Budaya", September 2011 silam. Salah satu pokok bahasan yang menjadi perhatian besar ketika itu adalah tentang subak. Dialog yang dihadiri sejumlah pengamat, budayawan, tokoh-tokoh adat itu secara faktual dan kritis menyikapi progresivitas pariwisata di Bali dan dampaknya pada budaya Bali.
Satu hal utama yang dibahas panjang ialah keberadaan subak di tengah gempuran nilai, perubahan dan orientasi masyarakat Bali dalam menyikapi kekinian. Berbagai pandangan kritis dan holistik menyeruak dalam dialog budaya tersebut yang  pada intinya peserta dialog tetap merasa subak---dan juga kekayaan budaya Bali lainnya---harus dipertahankan dengan kesadaran baru yang dilaksanakan dengan konsisten dan keberanian untuk menahan diri dari kepentingan hedonisitik.
Salah seorang peserta misalnya ketika itu mengungkapkan bahwa kelemahan masyarakat Bali adalah mudahnya tergoda dengan nilai-nilai baru berupa produk, gaya hidup, konsumerisme yang berkaitan dengan prestise yang sesungguhnya tak perlu, juga kebiasaan yang tak terpuji, yakni judi (tajen). Peserta lain juga mengungkapkan bahwa di masa 'perebutan kue Bali', yang utama dipikirkan ialah bagaimana para petani dan masyarakat Bali pada umumnya mendapatkan bagian 'kue' terbesar dari pariwisata Bali, dan bukan sekadar menjadi buruh/pekerja.
Sudamala nampaknya cukup serius membuka dirinya untuk menyediakan ruang dialog terhadap persoalan sosial budaya Bali. Melalui agenda tetapnya per bulan, Sudamala memberi nama tajuk acaranya: Dialog Budaya Sudamala (DBS). Berbagai pakar, tokoh, pengamat dan intelektual Bali diundang untuk membahas berbagai hal yang bersifat krusial dan kritis dalam DBS itu. menurut penggagasnya, Â Ben Subrata, dialog itu bertujuan untuk membangkitkan tradisi berpikir kritis melalui diskusi tentang berbagai hal dengan sudut pandang budaya yang diharapkan mampu menawarkan pemikiran-pemikiran yang berpijak dari kearifan lokal Bali.
Dengan melibatkan pers dalam DBS itu, pihak Sudamala berharap bahwa pemikiran-pemikiran baru dari kalangan intelektual Bali dapat diketahui masyarakat dan diharapkan juga menjadi masukan bagi pemegang kebijakan di Bali.
Tradisi Kesenian Sanur
Sudamala tak hanya menyediakan ruang dialog, melainkan juga ruang untuk mengekspresikan cipta karsa dan karya. Di gedung Sudakara Art Sapce dan di sekitarnya, para pekerja kreatif, seniman, fotografer, pelukis dan pesastra diberi tempat untuk menampilkan puncak-puncak kreasinya. Bahkan anak-anak juga mendapatkan porsinya untuk berekspresi di situ.
Sejak dibukanya Sudarkara Art Space, berbagai pameran seni rupa kontemporer telah dilaksanakan. Pilihan untuk memberi ruang pada pergerakan seni rupa di Sudakara Art Space tak lepas dari lingkungan Sanur yang kental dengan sejarah seni lukis dan dan aktifnya wilayah Sanur menyelengarakan pameran-pameran seni rupa. Hingga kini, setidaknya ada tiga hotel yang relatif tetap dan berkesinambungan menyelenggarakan pameran seni rupa: Griya Santrian Resort and Spa, Maya Sanur Resort & Spa dan Sudamala Suites & Villas.
Tiap tempat di Sanur pasti memiliki visi misi untuk membuka dirinya sebagai ruang rupa. Sudamala sendiri juga begitu. Bagi Sudamala, ada beberapa hal mengapa ruang rupa menjadi bagian pergerakan budaya di dalam visi misinya, di antaranya sebagaimana telah disinggung di atas, adalah untuk lebih melekatkan Sudamala kepada latar Sanur yang memiliki sejarah seni rupa yang sangat kental di Bali. Sanur adalah bagian dari sejarah penting dalam kronologi seni rupa di Bali. Bahkan Sanur disebutkan sebagai salah satu yang menempatkan seni rupa Bali menjadi sangat 'hidup' selain Denpasar kota di masa lalu.
Di tengah maraknya pertumbuhan seni rupa di Bali, dan di tengah pergaulan seni rupa nasional di mana para seniman Bali menjadi 'primadona' dalam pergaulan seni rupa nasional, maka Sudamala merasa wajib untuk menjaga mekarnya pertumbuhan seni rupa Bali. Sudamala merasa terpanggil untuk menyediakan ruangnya bagi para seniman Bali, tua muda dan anak-anak untuk berkiprah dan berkreativitas dan memamerkan puncak-puncak pencapaian estetiknya. Dengan mengambil bagian dalam pergerakan kesenian, khususnya seni rupa, Sudamala berharap peran kecilnya dapat menjaga prestasi-prestasi estetik para seniman Bali.
Sejauh ini sudah puluhan kali Sudakara Art Space menyelenggarakan pameran seni rupa dan work shop seni rupa. Ruang kesenian itu bukan saja untuk para seniman muda Bali yang telah berkibar namanya di jagat seni rupa nasional, melainkan juga untuk anak-anak memamerkan hasil kreasinya. Sudakara Art Space juga beberapa kali menyediakan ruangnya untuk ajang elar seni rupa kolaboratif antara seniman Bali dan seniman luar negeri, seperi halnya baru-baru ini diselenggarakan pameran kolaborasi antara seniman Bali dan seniman Korea dengan tajuk pameran "Full Moon" (19 Mei -- 30 Juni 2019). Sebelumnya juga telah diselenggarakan pameran kolaborasi antara seniman Bali dengan seniman China.
Sebagai bagian dari pariwisata Bali, Sudamala telah memainkan perannya bukan sekadar penginapan berbintang, melainkan telah menyadarkan visi misinya sebagai bagian dari kekentalan budaya Bali. Sudamala menyadari bahwa Bali begitu kaya dengan budaya dan bagi Sudamala itu harus juga dijaga dengan memberi ruang kreativitas, ruang dialog dan langkah-langkah nyata menjaga pemikiran dan karya dari intelektual, budayawan dan seniman Bali.
Bali adalah budaya. Inilah yang utama disadari Sudamala. Sejauh ini Sudamala telah berpartisipasi mengisi ruang-ruang kosong yang jarang diberi perhatian semacam dialog budaya yang berkesinambungan; memberi ruang untuk puncak-puincak pencapaian karsa dan karya; Â memberi ruang kepada tunas-tunas berbakat seperti anak-anak yang penuh gagasan dan impian. Sejauh itu Sudamala telah membuktikan kehadirannya sebagai institusi pariwisata yang peduli kepada pemikiran, karya dan sikap kritis untuk menjaga Bali agar tak melenceng terlalu jauh. (PS/23052019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H