“Hati-hati pintu akan ditutup.”
Kereta kami bertolak dari stasiun Bogor pada jadwal biasanya. Dalam akhir pekan yang biasa, saat itu saya sedang mengarah ke Sea World, Ancol, untuk berlibur dengan keluarga. Entah kapan terakhir kali ke sana, seingat saya sih mungkin 20 tahun lalu.
Bersama ibu dan seorang adik perempuan, tentu saja perjalanan kami awali dengan menggunakan KAI Commuter. Sudah sejak masa kuliah saya menjadi Anak Kereta, atau yang biasa dikenal dengan sebutan “Anker”. Bagi ibu dan adik saya yang jarang sekali naik kereta, perjalanan ini tentunya menjadi waktu liburan yang berkesan.
Beruntung, pagi itu pun kereta tak tampak begitu ramai. Sehingga kami bertiga dapat duduk dengan nyaman, sembari saya mengingat-ingat cerita-cerita yang terbentang di antara peron sejak kali pertama naik kereta.
“Sesaat lagi kereta Anda akan tiba di Stasiun Pondok Cina …”
Ah iya, bagaimana mungkin bisa saya lupakan perjalanan pertama itu. Dingin masih menyelimuti subuh di Stasiun Bogor, ketika antrian sudah tampak di loket THB. Tak sedikit ternyata yang berangkat kuliah dengan kereta dan turun di stasiun yang sama.
Saya tak punya kendaraan pribadi. Jadi saya pikir, hanya KAI Commuter lah satu-satunya yang bisa membantu saya mencapai tujuan dengan cepat dan tepat waktu.
Saya mendengarkan dengan seksama tujuan tiap kereta, tanpa ragu bertanya apakah masing-masing dari mereka melewati Stasiun Pondok Cina. Petugas-petugasnya selalu siap membantu. Melayani dan menjawab pertanyaan para penumpang dengan sabar.
Kalau boleh saya hitung, saya berani katakan bahwa 95% perjalanan saya semasa kuliah telah dilayani KAI Commuter dengan baik. Sisanya, permasalahan-permasalahan teknis kecil yang dengan sigap diatasi - bahkan bandara-bandara terbaik pun pernah mengalami delay penerbangan.
Tak terasa hari-hari itu berlalu dengan cepat. Kuliah saya berakhir tiga tahun kemudian. Commuter Line tetap menjadi andalan saya sejak semula. Ia telah menemani saya menimba ilmu, lalu mengejar rupiah, hingga menjelajah indahnya ibukota seperti hari ini.
“Pintu yang akan dibuka adalah pintu sebelah kiri … Stasiun Manggarai.”
Kereta mulai ramai. Banyak orang mulai beranjak untuk menjalani aktivitas masing-masing. Tapi itu pemandangan biasa. Saya berdiri dari kursi untuk mempersilakan penumpang lain duduk, sembari memastikan ibu dan adik saya tetap di bangkunya.
Manggarai punya banyak cerita. Baik yang turun di sini, maupun yang sekadar singgah. Saya ingat bagaimana pada minggu pagi, saya memutuskan pulang dari perantauan di Timur Jakarta, kembali menuju Bogor. Pengumuman kedatangan di tiap stasiun yang satu per satu dibacakan, sudah selayaknya hitungan mundur yang perlahan-lahan berhasil mengobati rindu.
Sebelum semegah sekarang, Manggarai hanya stasiun sederhana dengan lebih banyak peron yang membentang sampai ujung pandang. Meski begitu, ia selalu jadi tempat tepat untuk melepas penat. Dan untuk berhenti sejenak, dari mereka yang berlomba-lomba ingin segera tiba di tujuan dengan aman.
“Sesaat lagi kereta Anda akan tiba di tujuan akhir, Stasiun Jakarta Kota …”
Ini dia tujuan pertama kami. Dari Jakarta Kota, kami masih harus meneruskan perjalanan menggunakan kereta tujuan Tanjung Priok dan berhenti di stasiun Ancol. Untuk satu kali perjalanan dari pinggiran Jakarta, membelah ibukota hingga tiba di tujuan, terbilang cukup murah karena hanya dikenakan tarif Rp6.000.
Nah, enaknya bepergian dengan kereta adalah, banyak pilihan tempat untuk disinggahi yang dekat dari stasiun. Di Jakarta Kota ini misalnya, tinggal berjalan kaki, kita bisa tiba di area Kota Tua. Di tempat lain ada stasiun Juanda yang merupakan akses tercepat menuju area Monas.
Saya jadi ingat, saat ulang tahun KAI Commuter pada 2019, saya pernah membuat video Iklan Layanan Masyarakat di stasiun Jakarta Kota ini. Saat itu memang sedang ada perlombaan video dari PT KCI sendiri, dan meski tidak dinyatakan sebagai pemenang yang beruntung, saya cukup senang mendokumentasikan pengalaman pribadi saya dalam bentuk video.
“Jalur 8 … Jalur 8 persiapan masuk KRL tujuan Tanjung Priok …”
Kembali ke peron, setelah beristirahat sejenak sembari menunggu kereta, perjalanan pun kami lanjutkan ke arah Ancol. Kata orang, waktu cepat berlalu kalau kita bersenang-senang. Hamparan hijau berubah menjadi biru; Jendela-jendela berubah jadi aquarium kaca; an mentari terik berubah jadi gelapnya malam.
Tanpa saya sadari, Commuter Line telah menjadi saksi bisu dari banyak perjalanan hidup saya. Ada Commuter, di hari saya mengikuti tes universitas; Ada Commuter, di hari pertama saya pergi bekerja; Ada Commuter untuk saya berbagi momen tangis dan tawa, senang dan susah.
Sesuai tagline-nya, saya masih merasa bahwa Commuter Line adalah “Best Choice for Urban Transport.” Sebab menjadi jawaban transportasi sehari-hari, baik bagi mahasiswa maupun yang ingin pergi bekerja. Baik yang hendak liburan ke Jakarta maupun yang kembali bertemu keluarga.
Ketika tulisan ini diterbitkan, KAI Commuter bahkan telah terintegrasi dengan kereta LRT yang baru saja diresmikan … dan saya sedang mengatur rencana perjalanan untuk pergi berlibur kembali.
“Kereta Anda telah tiba di tujuan akhir, Stasiun Bogor … Hati-hati jangan sampai tertinggal barang bawaan Anda di dalam rangkaian kereta.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H