Mohon tunggu...
putu Novita Dewi
putu Novita Dewi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pemersatu SMK Negeri 2 Seririt Calon Gubernur Bali 2045 Ig:Wik_taaa06

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meja Kayu Jati

23 Mei 2024   10:53 Diperbarui: 23 Mei 2024   11:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari ketika langit berwarna merah muda kekuningan, sebuah pop up pesan mengalihkan atensiku. Nama ibu muncul disana, sepertinya ibu mengirim sebuah foto yang tidak kuketahui. Penasaran kubuka isi pesan tersebut, mungkin pesan penting.

"Devin, coba liat meja baru ibuk sudah datang."

Rupanya perkara meja yang beberapa hari ini membuat ibu uring-uringan menunggu. Sudah hampir empat hari terhitung sejak selasa lalu, Ibu selalu membicarakan meja baru yang ia pesan. Kupikir karena aku memiliki cukup uang, aku dengan senang hati membayar meja impian Ibu. Namun sepertinya meja itu sudah terlalu kuno untuk diletakan di rumah.

Seminggu yang lalu kami memutuskan untuk merenovasi rumah. Usiaku tepat 25 pada awal November ini, berarti sudah 25 tahun pula rumah itu berdiri. Sudah cukup tua dan reod. Dengan tabunganku dan juga tabungan orang tuaku akhirnya kami mengubah rumah kami menjadi lebih modern. Yang jelas air hujan tak lagi bisa masuk, dan tak ada lagi baskom warna-warni yang berserakan tatkala hujan tiba. Sekarang jauh lebih nyaman. Hanya satu masalahnya, meja kayu jati yang ibu beli.

"Sudah Devin bilang, sebelum membeli diskusikan dulu, Buk!" ucapku pada ibu yang asyik mengelap meja kunonya itu.

"Sudahlah, lagipula meja ini kuat sekali, Vin. Kalau-kalau ada badai mungkin meja ini satu-satunya yang masih utuh," jawab Bapak.

Menyebalkan sekali. Meja itu berwarna coklat gelap, cukup lebar untuk menampung keluarga kecil kami. Sisi samping terdapat ukiran bunga, aku bersumpah ini yang terburuk. Padahal desain rumah sudah modern dengan dominasi warna pastel yang tampak ceria. Lalu meja ini? Ah, sudahlah kutinggalkan mereka ke kamar. Kuputuskan untuk menelpon pacarku, sedikit menyalurkan rasa kesalku.

Sambungan dimulai, dia menyapaku dengan senyum hangat, rasa kesalku mulai meluruh. "Halo cantik, ada apa hari ini?" Tanyanya lembut.

"Aku kesal sekali!"

Alisnya seketika berkerut menuntut penjelasan.

"Kemarin ibu berencana memesan meja untuk melengkapi ruang makan, aku sudah transfer ke rekening ahli mebel itu. Aku tidak tahu kalau ternyata ibu memesan meja yang bukan seleraku. Padahal aku ingin meja yang tampak sederhana seperti di televisi itu. Ah, Ibu ini benar-benar!"

Dia tertawa, membuatku merasa dongkol dan jengkel. "Ya ampun, Devin. Ternyata hanya masalah ini. Kupikir ada masalah besar," ia tertawa kembali. Sedetik selanjutnya wajahnya berubah serius dan menatapku dalam pun lembut secara bersamaan.

"Devin, coba ingat-ingat, mungkin dulu memang Ibu sangat menginginkan meja itu, tapi baru kesampean sekarang? Kamu yang bilang sendiri bagaimana ibu bapakmu mati-matian menyekolahkanmu, kan? Mungkin saat itu mereka tidak bisa. Ada banyak kebutuhanmu yang lebih penting, mereka mempertimbangkan banyak hal. Sekarang kamu kan sudah dewasa, apa salahnya menuruti kemauannya? Toh rejeki kita lancar berkat restu orang tua."

Ucapannya membuatku banyak berpikir malam ini. Tentang keinginan orang tuaku, tentang letihnya mereka bekerja, tentang perjuangan mereka membesarkanku. Pikiranku jauh melayang, perkataan pacarku ada benarnya.

Aku ingat betul, saat asmaku kambuh. Bibirku membiru menahan sesak tanpa oksigen yang menyentuh paru-paru. Seolah tenggelam di daratan, aku bahkan tidak mampu untuk menjawab panggilan ibuku dengan suara panik. Malam itu, ibu menangis sementara ayah memegang sebuah buku berwarna biru tua, buku tabungan ayah.

Mereka membawaku ke rumah sakit terbaik, tanpa berpikir biaya yang harus dikeluarkan. Sementara aku diberi oksigen, ibu dan ayah tampak berdiskusi. Malam itu hati mereka pasti hancur, kalut, dan bingung. Bersamaan dengan itu, air mataku menetes kala aku diambang kesadaran.

Waktu berjalan begitu cepat, hingga akhirnya aku memasuki bangku SMP. Nilai yang aku peroleh tak mencukupi untuk masuk sekolah negeri impianku. Ayah masih bisa menghiburku, padahal aku tahu dia pasti sangat bingung. Harus kemana ia mencari uang, biaya masuk sekolah swasta sangat mahal.

"Sudah, tidak perlu dipikirkan, Vin. Nanti kamu tidak fokus belajar. Kamu sekolah saja yang rajin, sisanya itu urusan Bapak sama Ibu, kamu tidak perlu pikirkan itu. Bapak ada, kok."

Saat itu aku dengan mudahnya tenang. Detik itu juga, usaha ayah semakin keras. Hingga puncaknya ketika aku kelas tiga, ayah sering sakit dan memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Semua serba sulit. Bahkan ayah yang kupikir kuat, ternyata sama rapuhnya. Di bawah gemintang malam, di teras depan rumah, ayah menangis pada ibu.

"Aku mungkin tidak bisa membiayai sekolah Devin, Bu."

Beruntung selalu ada Ibu di samping Ayah. Menegakkan kembali bahu ayah yang sempat merunduk. Memberi semangat ayah untuk terus sama-sama berjuang, demi masa depanku. Mungkin mereka harus berhutang, yang penting aku tak perlu pusingkan hal-hal yang menghambat pendidikanku.

Sebulan kemudian ibu berulang tahun, aku mengajaknya keliling sekalian membeli beberapa camilan. Hingga atensi ibu jatuh pada sebuah meja klasik di toko mebel dekat rumah.

"Devin, itu lihat. Bagus sekali mejanya, semoga nanti ada rejeki untuk beli itu supaya gaperlu di bawah lagi makannya," ibu tersenyum sambil terus memandang meja itu penuh harap.

Padahal kala itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk mewujudkan impian ibu dan ayah yang terhalang olehku. Namun, dengan mudahnya aku kesal hanya karena ibu ingin membeli meja itu. Meja itu memang kuno, karena ibu menginginkan itu dulu namun tak sanggup membeli dan baru diberi rejeki sekarang. Sekarang meja itu memang tak lagi sesuai zaman.

Sedih, sekeras itu mereka berjuang. Bahkan untuk baju baru tak mampu mereka beli. Tapi, bajuku selalu baru. Selalu dengan bahan terbaik, selalu cantik. Malam di saat aku mengingat semua ini, aku menangis sejadi-jadinya, merasa bersalah sekaligus bersyukur. Mereka utuh bahkan ketika angin kencang sekali, bahkan ketika banyak jalan berbatu, bahkan ketika dunia tak lagi memihak pada peruntungan kita. Mungkin meja itu selamanya akan menjadi simbolik terima kasih, untuk ayah dan ibuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun