Dia tertawa, membuatku merasa dongkol dan jengkel. "Ya ampun, Devin. Ternyata hanya masalah ini. Kupikir ada masalah besar," ia tertawa kembali. Sedetik selanjutnya wajahnya berubah serius dan menatapku dalam pun lembut secara bersamaan.
"Devin, coba ingat-ingat, mungkin dulu memang Ibu sangat menginginkan meja itu, tapi baru kesampean sekarang? Kamu yang bilang sendiri bagaimana ibu bapakmu mati-matian menyekolahkanmu, kan? Mungkin saat itu mereka tidak bisa. Ada banyak kebutuhanmu yang lebih penting, mereka mempertimbangkan banyak hal. Sekarang kamu kan sudah dewasa, apa salahnya menuruti kemauannya? Toh rejeki kita lancar berkat restu orang tua."
Ucapannya membuatku banyak berpikir malam ini. Tentang keinginan orang tuaku, tentang letihnya mereka bekerja, tentang perjuangan mereka membesarkanku. Pikiranku jauh melayang, perkataan pacarku ada benarnya.
Aku ingat betul, saat asmaku kambuh. Bibirku membiru menahan sesak tanpa oksigen yang menyentuh paru-paru. Seolah tenggelam di daratan, aku bahkan tidak mampu untuk menjawab panggilan ibuku dengan suara panik. Malam itu, ibu menangis sementara ayah memegang sebuah buku berwarna biru tua, buku tabungan ayah.
Mereka membawaku ke rumah sakit terbaik, tanpa berpikir biaya yang harus dikeluarkan. Sementara aku diberi oksigen, ibu dan ayah tampak berdiskusi. Malam itu hati mereka pasti hancur, kalut, dan bingung. Bersamaan dengan itu, air mataku menetes kala aku diambang kesadaran.
Waktu berjalan begitu cepat, hingga akhirnya aku memasuki bangku SMP. Nilai yang aku peroleh tak mencukupi untuk masuk sekolah negeri impianku. Ayah masih bisa menghiburku, padahal aku tahu dia pasti sangat bingung. Harus kemana ia mencari uang, biaya masuk sekolah swasta sangat mahal.
"Sudah, tidak perlu dipikirkan, Vin. Nanti kamu tidak fokus belajar. Kamu sekolah saja yang rajin, sisanya itu urusan Bapak sama Ibu, kamu tidak perlu pikirkan itu. Bapak ada, kok."
Saat itu aku dengan mudahnya tenang. Detik itu juga, usaha ayah semakin keras. Hingga puncaknya ketika aku kelas tiga, ayah sering sakit dan memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Semua serba sulit. Bahkan ayah yang kupikir kuat, ternyata sama rapuhnya. Di bawah gemintang malam, di teras depan rumah, ayah menangis pada ibu.
"Aku mungkin tidak bisa membiayai sekolah Devin, Bu."
Beruntung selalu ada Ibu di samping Ayah. Menegakkan kembali bahu ayah yang sempat merunduk. Memberi semangat ayah untuk terus sama-sama berjuang, demi masa depanku. Mungkin mereka harus berhutang, yang penting aku tak perlu pusingkan hal-hal yang menghambat pendidikanku.
Sebulan kemudian ibu berulang tahun, aku mengajaknya keliling sekalian membeli beberapa camilan. Hingga atensi ibu jatuh pada sebuah meja klasik di toko mebel dekat rumah.