Apa yang kita semua takutkan adalah nantinya akan bisa timbul pergeseran budaya ke arah asimilasi, dimana budaya asal ditinggalkan dan digantikan oleh budaya baru.
Budaya “nak mule keto” lambat laun akan menjadi bumerang untuk orang bali sendiri. “Nak mule keto”, ditengah gempuran arus globalisasi, tidak akan membawa Bali ke tempat yang lebih bagus, malah akan membangun masyarakat Bali yang tidak peduli.
Jika ketidakpedulian tersebut terus dipupuk, asal usul suatu adat budaya akan pudar seiring berjalannya waktu. Kelak ketika jawaban “nak mule keto” sudah menjadi sangat kuno dan sangat tidak memuaskan, siapakah yang bisa janji Bali tidak akan luluh dalam krisis kepercayaan? Dengan sendirinya orang-orang militan akan hilang karena tidak ada lagi orang bijak untuk dipercayai.
Apakah Filosofi Gugon Tuhon/Tuwon “nak mule keto” menumpulkan pemikiran kritis atau menguatkan keyakinan?
Tiap masa pasti berulang, masalah sama sering ditemukan generasi-generasi berikutnya, perdebatan pun sebenarnya sudah ada ratusan tahun lalu.
Dalam sejarah kehidupan manusia, pada pemahaman akan indra-indra manusia yang terbatas, tidak semua doa akan terkabulkan, tidak setiap kejadian akan ditemukan jawaban. Yang pintar, bodoh, kuat, lemah, berkuasa, maupun nista seringkali dibenturkan dengan sesuatu kenyataan hidup yang tidak bisa dipecahkan manusia. Kehidupan sebagian besar memang misteri Sang Pencipta.
Dalam arus globalisasi sekarang ini generasi milenial Bali sudah pasti akan kepo dan mengedepankan logika ketika menelaah berbagai hal yang ada dalam keseharian mereka, bisa dipastikan konsep “nak mulo keto” harus memaksa orang-orang suci, kaum intelektual, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, orang tua, harus mengerti dan paham akan berbagai hal yang ada dalam tradisi dan budaya Bali, agar dapat menjelaskan kepada anak cucu mereka dengan logika.
Dikarenaan generasi milenial sekarang ini adalah generasi kenapa begini kenapa begitu. Semua harus ada alasan, dasar logika, acuan sastra atau kitab suci. “Nak mula keto” akan menjadi cemoohan para generasi milenial tersebut jika mereka tidak mendapat jawaban yang logis akan suatu hal, orang yang mengucapkan kata “nak mule keto akan dianggap bodoh. Ketimbang dibilang bodoh, maka semuanya akan bergerak mencari-cari penjelasan dan pembenaran atas apa yang terjadi, hidup, adat istiadat, atau upacara.
Ditambah lagi antusiasme wisatawan atau non-Bali yang tertarik menanyakan hal-hal “unik” kepada orang lokal, maka jawaban harus ditemukan. Kadang jawaban yang kita berikan tak masuk akal serta terlalu naïf dan seolah dibuat-buat. Padahal banyak hal di alam semesta yang tak bisa diterima oleh logika manusia yang terbatas.
Manusia yang mengerti dan memahami, ujung-ujungnya menerima kehidupan ini dengan apa adanya atau selamanya akan berputar-putar pada roda tuntutan dan penderitaan. Pada tahapan ini konsep “Nak mula keto” yang sebelumnya diberi label kebodohan, menjadi statement yang sangat menenangkan.
Kata ini secara turun temurun akan terus terucap oleh tetua Bali yang telah merasakan asam garamnya kehidupan. Jadi konsep “nak mule keto” mesti dikembalikan ke konsep awal yakni: percaya pada yang bijaksana, mempercayai sesuatu dengan bijaksana sesuai sumber sastra. Penerapannya tidak bisa dimulai tanpa adanya kepedulian, oleh karena itu, demi Bali ayo bersama-sama kita peduli akan adat dan buadaya dan bersama-sama menjadi bijaksana dalam menjaganya.