Mohon tunggu...
Putu Mahatma Satria Wibawa
Putu Mahatma Satria Wibawa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa SMAN 1 Denpasar

Seorang pemuda yang tengah mencari jati diri; Mencintai Geografi dan Antropologi Kebudayaan Manusia; Penulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Tetap Elegan dengan Gaya Lukis Kamasan

22 Desember 2023   13:00 Diperbarui: 22 Desember 2023   13:40 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang Kamasan Kalarau karya Anugrah Diatmika

Teriknya matahari siang hari tak membuat saya lelah untuk berjalan mengelilingi kawasan ini. kawasan yang terletak di jantung Kota Klungkung ini begitu membuat saya takjub akan keindahan lingkungannya. Suasana yang bersih, penuh pepohonan rindang di jalur pejalan kaki, serta damainya toleransi antara Pura Pasek Gelgel yang bersebelahan dengan Masjid membuat hati saya syahdu. Indonesia, yang dengan segala keberagamannya masih tetap menjunjung tinggi persatuan. Semakin jauh perjalanan saya, mata saya terpaku pada satu titik. 

Betapa indahnya! Hingga saya tiba di Monumen Kertagosa dan Puri Semarapura, saya melihat lukisan ornamen dewa-dewi pada atap bangunannya. Sebagai seorang wisatawan, dengan sigap saya mengeluarkan kamera saya. Berusaha mengabadikan lukisan indah itu dalam catatan perjalanan saya. Semakin saya amati lebih cermat, lukisan yang menghiasi bangunan Puri Semarapura tersebut membuat saya penasaran. Lukisan tersebut terbuat dari kain kanvas berbahan kasar. 

Saya masuk ke dalam bangunan Kertagosa. Hanya untuk memandang lebih dalam dan penasaran akan apa yang baru saja kulihat. Lukisan yang kulihat adalah lukisan bergaya Kamasan. Lukisan ini merupakan salah satu gaya lukisan yang paling tua. Diketahui, lukisan bergaya Kamasan ini telah ada sejak zaman pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Bali pada abad ke-14. Lukisan ini biasanya menggambarkan cerita pewayangan Bali, Jawa hingga cerita Ramayana dan Mahabratha. Lukisan ini ditetapkan sebagai gaya klasik, karena telah berusia lampau dan tidak banyak orang yang menguasai gaya lukisan ini.

Untuk metode pewarnanannya pun masih secara tradisional dengan memanfaatkan pewarna alami yang berasal dari alam. Lukisan ini sempat didaftarkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WWTB) ke UNESCO, Scientific and Cultural Organization, pada tahun 2022. Yang membuatnya unik adalah bahwa corak lukisan ini hanya dapat diproduksi di Desa Kamasan, Klungkung. Hal ini membuat saya heran. Mengapa kesenian tradisional yang bernilai luhur dan estetika yang tinggi ini semakin tersisihkan dibandingkan dengan corak lukisan modern? Nalar saya bertanya-tanya. Apabila kita berkunjung ke galeri seni di Indonesia, para pelukis biasanya memakai teknik lukis modern pada kanvas dan cat air; metode melukis barat. 

Padahal, Indonesia memiliki metode lukisnya sendiri yang membedakannya dengan corak lukisan negara lain. Mengapa kita selalu mudah terhanyut pada hal-hal baru dari bangsa lain? Mengapa kita tidak menyeleksi kesenian bangsa lain terlebih dahulu untuk dipakai sebagai refrensi pembelajaran pembaharuan kesenian Indonesia ke depannya. Mengapa kita tidak berakulturasi dengan budaya bangsa lain, dan malah menerapkan budaya bangsa lain secara mentah-mentah? Dan yang paling membuat hati saya luka adalah mengapa kita dengan mudahnya meninggalkan tradisi kesenian luhur dari Indonesia? 

Tersisihkannya tradisi kesenian tradisional di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah karena jarangnya orang yang ingin mempelajarinya kembali. Apalagi hal-hal tradisional yang sukar untuk dimengerti para generasi muda di zaman modern. Lukisan gaya Kamasan termasuk corak lukisan yang sulit untuk diterapkan, karena bahan-bahannya yang sangat alami. Pewarnanya berasal dari bahan alam, misalnya warna putih dari tanduk rusa atau tulang babi yang yang dihaluskan, warna hitam dari jelaga lampu minyak, serta warna cokelat muda dari batu gamping. Teknik lukisnya pun tidak bisa dibilang sederhana.

Kain kanvas yang bertekstur kasar akan dicelupkan ke dalam bubuk bubur beras dan dijemur hingga merata. Lalu setelah kainnya kering, akan dilanjutkan dengan melukis sketsa dan memberi warna. Karena kerumitannya, sedikit orang yang masih bisa melukis dengan gaya Kamasan. Bahkan, di Kertha Gosa, aku mengetahui bahwa satu-satunya tempat yang masyarakatnya masih terus melestarikan gaya lukis ini adalah tempat kelahiran gaya lukisan ini. Desa Kamasan. Betapa menyedihkan. Kesenian tradisional yang telah terkenal di seluruh dunia ini terancam punah. Di Monumen Kertha Gosa, aku membaca sejumlah informasi. 

Kuketahui bahwa lukisan bergaya Kamasan ini telah terkenal dan menyebar ke seluruh Bali pada abad ke-18, namun sayangnya, banyak bangunan yang menyimpan lukisan ini hancur. Peruntuh kesenian ini bernama Belanda. Mereka datang ke tanah ini dan merenggut apa yang dimiliki penduduknya. Tangisan dan darah mengalir ke seluruh penjuru Pulau Dewata. Api berkobar dimana-mana. Perang puputan bergelegar dimana-mana. Di Klungkung, Belanda membakar Puri Semarapura. Banyak lukisan lebur menjadi abu. Kecaman dari dunia internasional dikumandangkan. Belanda tidak tinggal diam. 

Untuk meredakan kecaman internasional, Belanda membuat kebijakan Balinitation/Baliseering; upaya para orientalis Belanda untuk menjaga keutuhan tradisi dan budaya Bali. Dari program inilah, cikal bakal pariwisata di Pulau Dewata. Para wisatawan asing yang datang untuk melihat tradisi Bali, begitu terpukau melihat lukisan dengan gaya Kamasan. Upaya pelestarian dan pengembangan digencarkan. Salah satu tokoh penting yang melestarikan kesenian tradisional gaya lukis Kamasan adalah I Nyoman Mandra. Aku bertemu dengannya ketika berkunjung ke Desa Kamasan setelah dari Kertha Gosa. 

Wajahnya yang teduh dan ramahnya senyuman membuat kami dengan mudah terjebak pada obrolan-obrolan. Beliau menceritakan perjalanan hidupnya. Bakat melukisnya; yang orang Bali sebut dengan taksu, telah muncul ketika ia berumur tiga tahun. Ketika Gunung Agung meletus pada 1963, ia mengungsi dan menghimpun anak-anak yang berbakat di bidang seni lukis. Kelak, murid-muridnya akan bertambah banyak dan kesenian ini akan terus dilestarikan. Lukisannya terkenal hingga ke luar negeri. Beliau bahkan pernah melakukan pameran lukisan ke Eropa. Atas jasanya, Beliau mendapatkan anugrah Penghargaan Kebudayaan 2016, Kategori Pelestari dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, aku mendengarkan berita duka. Pada tahun 2018, Bapak I Nyoman Mandra berpulang pada usianya yang ke-73. Teringis hatiku, pedih rasanya. Setiap seniman yang berasal dari Bali sering mendapat pengakuan internasional, namun mengapa jumlah seniman muda di Bali menipis dari tahun ke tahun? Seolah-olah seniman Bali telah kehilangan zaman keemasannya. Ada banyak faktor yang menyebabkan generasi muda Bali enggan menjadi seniman. 

Antara lain tidak terjaminnya kehidupan mereka. Kemana peran pemerintah? Bagaimana nasib para seniman yang telah masa pensiun? Apakah negara menjamin kehidupan orang-orang yang telah menjaga kesenian tradisionalnya? Nalarku bertanya-tanya. Sore hari, matahari hampir tenggelam. Di pinggir jalan, aku melihat seorang wanita tua menjual serombotan. Aku menghampirinya. Membeli dagangannya yang masih segar dan memakan serombotan khas Klungkung dengan lahapnya. Nalarku masih bertanya-tanya. Bagaimanakah kesenian tradisional bisa dilestarikan di Indonesia, apabila para senimannya tidak mendapat apresiasi dan tidak didukung? Kita harus mulai mengapresiasi kesenian tradisional yang mulai tersisihkan di zaman globalisasi. 

Salah satunya lukisan gaya Kamasan. Dewasa ini, aku mendengar bahwa ada banyak workshop kelas melukis yang banyak dilakukan di Taman Budaya Provinsi Bali. Ini merupakan upaya yang bagus dan diharapkan akan tetap bisa dipelajari dengan baik oleh para generasi muda Indonesia, khususnya para remaja Bali. Upaya pelestarian budaya jelas tidak akan berhasil apabila tidak ada kesadaran sendiri dari masyarakatnya. Kita sebagai generasi muda Bali harus menyadari betapa kayanya tradisi dan budaya kita. Bahwa budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari budi luhur manusia. Bahwa budaya tidak tercipta selama semalam. Bahwa budaya adalah proses pemikiran panjang manusia selama berabad-abad. Pelestarian budaya adalah cara bagi kita untuk menghargai pemikiran nenek moyang. 

Senja telah hilang. Taman kota Kertha Gosa mulai ramai dikunjungi para wisatawan yang ingin menyaksikan pertunjukan air mancur yang dilaksanakan seminggu sekali. Serombotan yang saya beli sudah habis. Saatnya menengguk sesapan kopi terakhir. Petualangan hari ini berakhir. Saatnya bagi saya kembali ke kota saya. Selamat tinggal, Klungkung! Semoga tradisi dan kesenianmu tetap terjaga untuk selamanya. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun