Mohon tunggu...
Putu Djuanta
Putu Djuanta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keen on capital market issues, public relations, football and automotive | Putu Arya Djuanta | LinkedIn | Yatedo | Twitter @putudjuanta | https://tensairu.wordpress.com/ | https://www.carthrottle.com/user/putudjuanta/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Antagonis Saat Berkendara

5 Agustus 2014   00:36 Diperbarui: 3 Agustus 2015   14:33 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mudik melewati tol Cipularang, ada beberapa mobil yang dipacu kencang melewati batas rambu kecepatan maksimal (80 km/jam). Saya yang saat itu menyetir merasa kesal menyaksikan hal tersebut. Bukan cuma kesal karena membahayakan, tapi memang tidak diperbolehkan juga "meladeni" mobil-mobil itu. Istilah yang cocok mungkin geregetan.

Dan tanpa disadari, fenomena tersebut mengingatkan saya pada cerita seorang teman. Ia mengaku selalu menggunakan bahu jalan saat menyetir di jalan tol. Tanpa rasa bersalah, ia juga menobatkan diri sebagai pengguna bahu jalan sejati. Secara logika, hal ini tentu tidak benar. Karena bahu jalan hanya dapat digunakan untuk keperluan darurat. Namun bila dipahami secara seksama, hal ini hanyalah salah satu efek dari kompleksitas kemacetan yang kadang tidak masuk akal. Di Jakarta, jarak tempuh kurang dari 10 Km bisa memakan waktu 1,5 jam ketika peak hours. Secara psikologis, sebagian orang akan merasa “free” ketika berkesempatan untuk melaju kencang di jalan tol yang (idealnya) bebas hambatan.

Setiap hari pengendara mobil harus gambling dengan waktu tempuh perjalanan. Testimoni "kalau berangkat telat 5 menit saja, bisa kena macet parah" sering terdengar dari orang-orang di sekitar kita. Anomali lalu lintas ini membuat pengguna jalan menjadi serba buru-buru dan lupa akan keselamatan.

Kembali ke judul, seseorang memang bisa menjadi antagonis saat berada di balik kemudi. Padatnya lalu lintas sering membuat orang kehilangan kesabaran. Saat kehilangan kesabaran, muncul lah karakter antagonis. Sisi antagonis ini bisa menyebabkan kita mengeluarkan kata-kata kotor ke sesama pengguna jalan, bahkan melakukan manuver yang bisa membahayakan pengguna jalan lainnya.

Berdasarkan pengalaman pribadi, nasihat orang tua "jangan ngebut" seakan terbakar emosi saat disalip kendaraan lain secara tidak santun. Tips safety driving seolah hilang begitu saja. Jalan tol seketika bisa terlihat seperti sirkuit balap mobil. Dalam benak pikiran ini langsung muncul kalimat "you’ve messed with the wrong person, dude!”. Persis seperti di film.

Tidak salah bila ada yang mengatakan bahwa mencegah kecelakaan lalu lintas itu sulit. Di luar jalan tol, sebagian pengendara mobil juga kerap menggunakan jalan yang bukan haknya untuk parkir ataupun melawan arah. Egoisme ini terlanjur membentuk pola kebiasaan bahwa "melanggar itu biasa". Seperti yang dipaparkan di awal, kini sebagian pengendara mobil sudah tidak memperhatikan etika menyalip kendaraan. Jalur kiri dianggap oke untuk mendahului mobil yang lebih lambat.

Namun pada akhirnya, antagonis saat berkendara bukanlah hal yang patut dibanggakan. Setiap tindakan berkendara yang didominasi oleh sisi antagonis bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Adalah tugas kita bersama untuk tetap mentaati peraturan dan etika berlalu lintas, karena kecelakaan hanya akan menimbulkan penyesalan.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun