[caption id="attachment_366937" align="aligncenter" width="546" caption="Sumber, http://www.transparency.org/cpi2013/results | red = highly corrupt | yellow = very clean"][/caption]Beberapa hari lalu ada berita menarik bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan bus antikorupsi, yang juga disebut Anti-Corruption Learning Centre (ACLC). Secara statistik, Indonesia menempati urutan 114 dari 177 negara berdasarkan laporan Corruption Perceptions Index 2013 (CPI 2013). Meskipun ada peningkatan dari tahun sebelumnya (peringkat 118 dari 176 negara), hal ini masih terasa memprihatinkan.
Sebagaimana diberitakan oleh media, bus ini bernilai Rp 1,3 miliar. Dana tersebut merupakan hasil kerjasama KPK dengan Deutsch Gesselschaft fur Internationale Zusammenrbelt (Badan Kerja Sama Pembangunan Jerman) Jerman. Terkait peringkat CPI 2013, Jerman memang berada di peringkat 12 dari 177 negara, jauh di atas Indonesia. Mathias Muehle, Perwakilan GIZ, mengapresiasi langkah sosialisasi ini yang menurutnya belum dilakukan di Asia dan Eropa.
Fakta bahwa Menteri Agama Suryadharma Ali tidak sadar jika dirinya korupsi, ditambah kejadian lucu dari Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Suprayoga Hadi yang menyuap penyidik KPK, namun penyidik yang disogok itu ternyata gadungan, telah membuka mata publik bahwa nilai antikorupsi memang diperlukan.
Dalam siaran pers “Bus Antikorupsi Siap Menjangkau Pelosok Negeri” di website KPK, terdapat dua komentar positif yang mendukung langkah ini. Secara umum, langkah jemput bola ini memang menarik. Mengutip penyataan dari Wakil Ketua KPK Adnan Panduparaja, bus ini akan berkeliling ke kampus dan sekolah untuk menjelaskan kepada publik apa instrumen antikorupsi dan memutar film antikorupsi.
Namun entah mengapa, saya belum menemukan “sesuatu yang berarti” dari terobosan ini. Jika KPK ingin melaksanakan fungsi edukasi, mengapa tidak langsung saja menyasar ke pejabat publik? Tentu kita masih ingat iklan “katakan tidak pada korupsi” yang dikampanyekan oleh Partai Demokrat. Seakan antitesis, Angelina Sondakh, bintang iklan yang mengucapkan kalimat tersebut, justru masuk penjara karena terlibat kasus Wisma Atlet.
Saya rasa, bus tersebut akan lebih bermanfaat jika dijajal oleh pejabat publik terlebih dahulu. Supaya tidak terkesan hoax, media bisa dipersilahkan untuk meliput kegiatan pejabat publik saat berada di bus tersebut. Jika perlu, pejabat publik wajib mengisi daftar absensi yang nantinya di-scan dan di-upload ke website KPK. Dengan begitu, publik bisa menyaksikan komitmen dari penyelenggara negara untuk tidak korupsi.
Tahun lalu, Wakil Kepala PPATK Bapak Agus Santoso, pernah mengatakan bahwa pertumbuhan dapat mencapai 9% jika tidak ada korupsi. Kenyataannya, Indonesia hanya mencapai 5,78 persen untuk pertumbuhan tahun 2013 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Terdapat selisih 3,22% yang lenyap karena ulah koruptor. Sudah saatnya korupsi dicegah secara serius karena terlalu banyak merugikan negara.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H