Dalam kasus perpustakaan dewan, tugas menghimpun produk informasi internal ini juga berkaitan dengan akuntabilitas lembaga publik. Sebagaimana dijelaskan di atas, perpustakaan dewan merupakan "markas" para staf ahli yang sehari-hari mendukung kerja para anggota dewan. Pada dasarnya, tugas utama staf ahli ini adalah melakukan riset dan penghimpunan data serta informasi dari berbagai sumber. Hasil pekerjaan mereka seringkali adalah laporan-laporan penelitian dan kertas-kerja yang akan menjadi dasar bagi berbagai keputusan anggota dewan. Inilah produk informasi yang perlu disimpan atau didokumentasi oleh perpustakaan dewan.
Sebagai unit dari lembaga publik, maka produk internal di perpustakaan Dewan ini juga wajib tersedia bagi akses publik. Dengan kata lain, perpustakaan dewan perlu dirancang sebagai pusat dokumentasi yang terbuka untuk umum. Bahkan bukan hanya dokumen pendukung maupun produk legislatif yang harus disediakan, melainkan juga rekam-jejak kinerja Dewan pada umumnya. Itu sebabnya, banyak perpustakaan parlemen di negara-negara lain berfungsi sekaligus sebagai pusat informasi (information centre) atau pusat layanan informasi bagi media (media centre). Demi menjamin integritas dan kualitas layanan informasi publik inilah seringkali perpustakaan Dewan bekerjasama atau bahkan bergabung dengan pusat arsip dan unit-unit lain yang berkaitan dengan dokumentasi dan publikasi.
[caption caption="Sumber: news.okezone.com"]
Itulah sebabnya, di banyak negara dengan sistem pemerintahan demokratis yang terbuka, perpustakaan dewan menjadi salah satu perpustakaan terpenting selain Perpustakaan Nasional (national library) dan Arsip Nasional (national archive). Di masa-masa pra-digital dan pra-internet, peran penting ini seringkali diejawantahkan pula dalam bentuk bangunan fisik yang besar dan megah. Negara-negara Eropa Barat, misalnya, menjadikan perpustakaan parlemen mereka sebagai ikon demokrasi, baik dalam bentuk layanan informasi yang cergas dan terbuka, maupun dalam bentuk gedung yang artistik dan megah.
Belakangan, setelah informasi dapat dikemas lebih ringkas melalui teknologi digital, dan layanan dapat lebih diperluas via Internet, ukuran fisik dan kemegahan ini tinggallah menjadi aspek simbolik dari perpustakaan. Kuantitas dan kualitas layanan informasi perpustakaan di zaman kini tak lagi langsung dikaitkan dengan besar-kecilnya gedung, melainkan dengan ekstensif-tidaknya layanan informasi lewat Internet.
Perlukah Perpustakaan Dewan menjadi Perpustakaan Umum?
Setidaknya ada dua perpustakaan parlemen yang fungsi dan kedudukannya menjadi begitu penting di tingkat nasional, sehingga menjadi perpustakaan nasional di negara tersebut, yaitu The National Diet Library (NDL) (国立国会図書館 Kokuritsu Kokkai Toshokan) di Jepang, dan Library of Congress di Amerika Serikat. Keduanya tentu saja mempunyai sejarah panjang dan kontekstual dengan perkembangan demokrasi di negaranya masing-masing. Baik ukuran fisik jumlah koleksi, maupun keluasan fungsi layanan di dua perpustakaan ini berkembang selama puluhan, bahkan ratusan tahun, sebelum akhirnya menjadi seperti sekarang.
[caption caption="Library of Congress di Amerika Serikat. Sumber gambar: britannica.com"]
Di negara-negara tersebut, perpustakaan parlemen menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pemerintahan yang terbuka bagi umum. Tak dapat pula dipungkiri, masyarakat di negara-negara tersebut juga telah memiliki kesadaran dan kebutuhan yang tinggi akan data, informasi, dan pengetahuan yang berhubungan langsung dengan hukum dan perundang-undangan. Akibatnya, perpustakaan-perpustakaan parlemen di negara tersebut berlomba dengan waktu dan teknologi untuk terus menyempurnakan layanan publik mereka.
Tidaklah mengherankan jika perpustakaan-perpustakaan parlemen di sana tampil secara amat representatif dan profesional. Dari segi bangunan, perpustakaan-perpustakaan itu memang megah dan memiliki ruang baca yang lapang sekaligus nyaman. Masyarakat luas bisa keluar-masuk dengan cukup leluasa dan para penyelenggara perpustakaan atau pustakawan bekerja secara amat profesional untuk menjamin ketersediaan informasi yang cukup.
Tidaklah pula mengherankan jika dana pengembangan dan pemeliharaan perpustakaan-perpustakaan ini menjadi cukup besar dan bahkan menyaingi dana untuk perpustakaan nasional atau perpustakaan ibukota (capital library). Ini yang mungkin dapat menjadi alasan bagi para anggota DPR-RI untuk mengusulkan anggaran sampai lebih dari setengah trilyun. Namun justru karena alasan ini pula sebaiknya anggota DPR-RI membuktikan bahwa kebutuhan akan informasi dan pengetahuan legislatif memang sudah mendesak untuk dipenuhi.
Daripada berdebat dan membuka kontroversi tentang dana yang mencengangkan itu, sebaiknya DPR-RI memeriksa baik-baik kondisi perpustakaan yang sekarang sudah ada, memahami kembali fungsi penting perpustakaan itu di keseluruhan sistem informasi Dewan, dan yang lebih utama lagi: melakukan introspeksi tentang pemanfaatan data, informasi, dan pengetahuan di kalangan anggota dewan yang terhormat.Â