Mohon tunggu...
Putu Pendit
Putu Pendit Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sekali merdeka, tetap membaca!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebuah Metropolitan Tanpa Perpustakaan yang Setara

4 Maret 2013   13:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:20 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur dan Pemerintah DKI Jakarta bergeming. Bekas Wali Kota Jakarta Selatan tetap dilantik sebagai Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). Protes maupun imbauan agar menempatkan figur yang lebih tepat, tak ada yang mempan. Akankah Jakarta memiliki perpustakaan umum (public library) yang sesuai untuk statusnya sebagai metropolitan?


Dapat kita duga, BPAD akan berprinsip business as usual, setelah akhirnya kini punya Kepala baru. Isu sudah reda dan kritik sudah (di)padam(kan); baik pemerintah maupun masyarakat tampaknya akan segera lupa tentang kasus ini. Harus segera diakui, layanan perpustakaan dan kearsipan tak terlalu masuk hitungan dibandingkan, misalnya layanan kesehatan atau administrasi kependudukan. Iseng-iseng, tanyalah 10 tetangga Anda. Kalau ada 1 orang saja yang menyatakan tahu dan peduli tentang layanan Perpustakaan Umum, Anda sudah beruntung!

Memang membuat miris. Baik pihak pemerintah sebagai penyelenggara layanan maupun pihak masyarakat sebagai pengguna, bersikap skepstis. Pihak pemerintah akan mengatakan bahwa masyarakat tak berminat; sementara pihak masyarakat balik mengatakan bahwa layanan publik ini tak menarik dan  —terlebih lagi— tak berguna untuk kehidupan sehari-hari. Pejabat pemerintah sering mengumandangkan praduga tentang "minat baca" yang rendah, sementara masyarakat juga hanya angkat-bahu jika diajak bicara tentang manfaat perpustakaan.

Namun tentunya itu semua bukan alasan bagi Pemerintah untuk tidak menyelenggarkan perpustakaan untuk umum yang memadai.

Perpustakaan umum sebagai hak masyarakat


Badan dunia seperti UNESCO sebenarnya sudah mengeluarkan manifesto universal (lihat http://bit.ly/3sjBZ2) tentang hak masyarakat untuk mendapatkan layanan perpustakaan, walau mungkin hanya lapisan atas dari kelas menengah dan segelintir akademisi yang tahu tentang kewajiban Pemerintah ini. Hanya jika ada "kejadian luar biasa" yang menyangkut institusi inilah, baru orang-orang akan sadar akan ketidakhadiran perpustakaan di lingkungan mereka. Misalnya, masih ingat kasus Koin Sastra? Setelah beberapa pemerhati dan pegiat media sosial mengangkatnya, barulah masyarakat tersadarkan bahwa Pemerintah DKI luput mengurus salah satu perpustakaan umum mereka.

Bercermin ke isu Koin Sastra juga dapat menyadarkan kita bahwa Pemerintah tetap belum berupaya maksimal. Setelah isu reda, aneka perpustakaan dan pusat arsip tetap tak terlalu terurus dan tetap minim pengunjung. Berita terakhir tentang Jokowi yang blusukan ke Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin itu (lihat http://bit.ly/ZT3Mxt ) membuktikan bahwa Pemerintah ternyata belum memenuhi janji yang disampaikan gubernur terdahulu sewaktu menjawab desakan masyarakat.

Bukan berarti BPAD tak melakukan apa-apa. Sekali lagi, jika melihat anggaran yang tersedia untuk badan ini di DKI Jakarta sebanyak Rp 98 milyar (lihat http://bit.ly/13sVRZ8) jelas ada banyak hal yang dapat dan bahkan mungkin sudah dilakukan BPAD. Namun belum pernah ada upaya mengukur atau melakukan benchmarking tentang layanan Perpustakaan Umum atau Pusat Arsip di Indonesia. Kalau Pemerintah sungguh-sungguh, aneka alat ukur sudah tersedia; baik yang bersifat universal (dari UNESCO, lihat http://bit.ly/Y3xysJ), atau  yang berlaku di berbagai negara untuk diadopsi setelah dimodifikasi. Sudah banyak pula alat ukur dan strategi manajemen perpustakaan yang berkait dengan administrasi publik pada umumnya, dan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance) pada khususnya.

Secara awam saja dapat dilihat bahwa perpustakaan-perpustakaan yang diselenggarakan Pemerintah DKI belum memadai. Apalagi kalau diukur secara cermat dan ilmiah, pastilah hasilnya akan menunjukkan betapa layanan-layanan publik itu sangat kedodoran.

Perpustakaan yang dikelola secara profesional


Dari bukti-bukti sepintas saja kita seharusnya sadar bahwa penyelenggaraan layanan perpustakaan umum bukanlah kegiatan sederhana. Terlebih-lebih untuk sebuah kota sekelas Jakarta, dengan keragaman masyarakat dalam tingkat pendidikan, penghasilan, maupun latarbelakang sosial-budaya. Bukan sekadar membangun fisik gedung dan menyediakan  teknologi mutakhir, tetapi juga menampilkan suasana nyaman, terbuka, dan ramah (welcoming).

Perpustakaan umum memiliki karakter unik dibandingkan perpustakaan jenis lainnya. Perpustakaan perguruan tinggi, misalnya, jauh lebih sederhana dalam hal keragaman layanan mengingat masyarakat penggunanya bersifat homogen dengan satu tujuan yang jelas sebagai sebuah masyarakat ilmiah yang padu (koheren). Perpustakaan khusus (special library atau information bureau) jauh lebih sempit lagi fokusnya. Perpustakaan sekolah jauh lebih kecil dalam hal lingkup pengguna.

Perpustakaan umum adalah sebuah ruang publik dan nyaris pasti adalah sebuah institusi multi-kultural. Semakin besar sebuah kota, semakin kompleks kehidupan masyarakatnya, semakin istimewalah seharusnya perpustakaan umum di kota yang bersangkutan. Ini akan tercermin bukan hanya dalam bentuk gedung yang besar dan megah, tetapi terlebih-lebih dalam bentuk layanan yang disediakan.

Jika perpustakaan-perpustakaan jenis lain berkonsentrasi pada kuantitas dan kualitas koleksi buku atau bahan pustaka lain (baik yang digital maupun yang non-digital), perpustakaan umum biasanya juga giat menyelenggarakan aneka kegiatan (events) sosial-budaya. Tak hanya menyediakan bacaan, melainkan juga memutar film, mengadakan resital musik, atau membuka diskusi aneka topik yang hangat.

Untuk dapat menyelenggarakan semua inilah, sebuah Perpustakaan Umum yang terletak di sebuah kota metropolitan setingkat Jakarta memerlukan orang-orang yang profesional. Sudah ada pendidikan berdasarkan keilmuan yang memproduksi orang-orang profesional di bidang perpustakaan ini, yaitu di jurusan-jurusan ilmu perpustakaan (library science). Ada sedikitnya 13 universitas di seantero negeri ini yang memiliki jurusan itu, baik yang berada di bahwa fakultas budaya, komunikasi, sosiologi, maupun teknologi informasi. Jika melihat ragam "induk"-nya, jelaslah bahwa jurusan-jurusan tersebut bersandar pada ilmu yang lintas-disiplin (trans-disciplinary) maupun beragam-disiplin (multi-disciplinary).

Landasan ilmu yang beragam itu pulalah yang memungkinkan seorang Sarjana Perpustakaan bekerja dalam situasi multi-kultural dan multi-dimensional, walaupun ia secara spesifik memiliki keterampilan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan buku, dokumen, dan informasi.

Arsip dan keterbukaan informasi untuk publik


Hal lain yang juga amat penting dan sering luput dari perhatian kita semua adalah kenyataan (dan harapan!) bahwa Perpustakaan Umum juga memiliki fungsi sebagai pusat informasi pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan. Itulah sebabnya ada kata "dan Arsip Daerah" pada nama BPAD. Di mana-mana di dunia ini, khususnya di negara-negara demokratis yang menyadari pentingnya keterbukaan informasi, Perpustakaan Umum sekaligus merupakan tempat ke mana rakyat datang untuk mencari informasi.

Secara lebih khusus, Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah berkewajiban menyediakan segala informasi yang diperlukan publik untuk berperanserta dalam mengatur kehidupan mereka di masyarakatnya. Inilah esensi demokrasi yang mengajak-serta (involving democracy) sebagai rangkaian dari demokrasi yang bertumpu pada informasi (informing democracy). Ini pula esensi dari UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (lihat di sini : http://bit.ly/YPdk84).

Semakin jelaslah bahwa Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah adalah sebuah ruang publik yang terbuka dan mendorong (encouraging) penerapan hak rakyat khususnya dalam akses ke sumber informasi. Jelaslah bahwa institusi ini bukan institusi pasif yang menunggu kedatangan pengunjungnya, melainkan sebaliknya adalah sebuah institusi yang secara aktif mempromosikan kebebasan akses tersebut.

Dalam konteks Indonesia pada umumnya, dan Jakarta pada khususnya, maka Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah benar-benar perlu menjadi insitusi yang memasyarakat, bukan institusi birokratif. Dari pengalaman dan pengamatan awam saja (tak perlu penelitian ilmiah, tetapi akan lebih baik jika ini dapat dilakukan!) jelas bahwa saat ini perpustakaan-perpustakaan yang dikelola pemerintah pada umumnya adalah lembaga-lembaga birokratis. Kita dapat membuat kesimpulan sederhana, bahwa rasa-rasa (the feel and the look) birokrasi inilah yang menyebabkan lembaga-lembaga perpustakaan dan arsip kurang popular di masyarakat.

Jika ingin mencari akar persoalan yang lebih mendasar lagi, barangkali kita juga harus memeriksa kesungguhan Pemerintah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang keterbukaan. Lalu dengan merujuk ke persoalan ini, kita juga dapat kembali berargumentasi bahwa diperlukan seorang yang benar-benar profesional, dan bukan birokrat, untuk menjalankan Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah.

Jakarta perlu perpustakaan yang setara dan menjadi tauladan!


Dari semua uraian di atas, kiranya argumentasi Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang diajukan dalam bentuk protes kepada Gubernur Jokowi atas keputusannya memindahkan Wali Kota Jakarta Selatan menjadi Kepala BPAD, cukup jelas dan gamblang. Secara sederhana sekali, mereka hanya menginginkan agar Jakarta menjadi contoh bagi daerah-daerah lain dalam membangun dan mengembangkan jasa Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah yang profesional dan pro-rakyat.

Jakarta perlu Perpustakaan Umum yang nyaman dalam layanannya, komprehensif dalam kandungan informasinya, dan terbuka dalam sikapnya. Melihat kondisi kotanya, Perpustakaan Umum tersebut juga seharusnya mencerminkan kelimpahruahan sumberdaya finansial DKI Jakarta, sekaligus keragaman kultural penduduknya. Ini bukan hanya perkara membangun gedung yang megah (yang pasti mudah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta), tetapi juga perkara lokasi, sikap para pengelolanya, dan kemudahan-kemudahan yang disediakannya bagi penduduk Jakarta.

Yang dimaksud dengan penduduk Jakarta, tentu saja, bukanlah hanya anggota-anggota masyarakat kelas menengah atas melainkan terutama anggota-anggota masyarakat kelas lainnya. Terlebih-lebih, sudahlah saatnya bagi Pemerintah untuk memfokuskan layanan Perpustakaan Umum justru kepada kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, baik karena latar belakang ekonomi, pendidikan, maupun gaya-hidup mereka.

Tidaklah cukup bagi Pemerintah untuk balik mengeluh dengan mengatakan bahwa masyarakat kurang memiliki "minat baca", jika yang sebenarnya terjadi adalah masyarakat tak punya kemampuan membeli bacaan. Sangatlah kurang tepat jika Pemerintah berdalih bahwa masyarakat tak membutuhkan informasi karena perut mereka masih lapar, jika yang sebenarnya terjadi adalah informasi tersebut tak tersedia (atau sengaja "disembunyikan").

Pendek kata, tidaklah cukup bagi Pemerintah DKI Jakarta untuk menyerahkan BPAD ke seorang pejabat semata-mata karena pejabat itu memenuhi persyaratan eselonisasi dan karena pejabat itu sudah berpengalaman menjadi pejabat. Pemerintah perlu menempatkan orang-orang profesional di segala lini di unit, bidang, atau apa pun yang berkaitan dengan Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah. Pemerintah DKI Jakarta harus memenuhi kewajibannya untuk memenuhi hak rakyat atas Perpustakaan Umum dan Arsip daerah yang baik, sehingga ia dapat menjadi tauladan bagi bangsa ini.

Itu jika Gubernur Jokowi dan jajarannya memang orang-orang yang reformis!

Putu Laxman Pendit - Anggota Dewan Penasehat Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun