Mohon tunggu...
Putu Fahrudin
Putu Fahrudin Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar dan bekerja dalam harmoni

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Anime dan Mimpi Besar Indonesianisasi

10 November 2020   17:24 Diperbarui: 10 November 2020   17:43 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(KSG09) Demam tayangan animasi Jepang (anime) yang sampai saat ini masih sangat terasa menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Anime sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan gaya animasi Jepang. Istilah ini berasal "animation" yang disingkat dalam bahasa Jepang romaji menjadi anime. 

Perkembangan anime yang telah mencapai skala global tidak dapat di pisahkan dari peran Osamu Tezuka, sang "bapak manga" yang menjadi pionir animasi TV di Jepang dengan mendirikan production house bernama Mushi Pro. Dari situlah, anime mulai dikenal dunia dengan serial legendaris "Tetsuwan Atom" atau lebih dikenal dengan "Astro Boy" pada Tahun 1963 yang merupakan karya Tezuka.

Dengan pengaruhnya yang begitu besar, dapat dikatakan bahwa anime telah mengekspansi dunia dengan mendistribusikan tayangan tersebut  ke- 112 negara, yang menjangkau sekitar 87,2 persen populasi dunia (japatimes.co.jp). 

Angka ini menurut Kazuaki Nagata yang merupakan jurnalis dari The Japan Times membuat Jepang menjadi 'superpower' dan dikagumi banyak negara. Bagi banyak pekerja seni di berbagai negara, terutama para komikus, anime menjadi inspirasi untuk karya-karya mereka. Gaya rambut unik dan mata besar yang menjadi ciri khas karakter anime seolah telah tertanam di benak para komikus dunia.

Capaian anime yang telah menjangkau pasar global dan hampir ke seluruh populasi dunia, tentu sangat mempermudah produk-produk budaya Jepang yang lain untuk ikut maramaikan pasar global, atau bahkan menguasai. Anime menjadi gerbang utama bagi masuknya kebudayaan Jepang yang lain ke suatu negara. 

Melalui tayangan anime, pesan-pesan yang mengandung unsur kebudayaan Jepang disampaikan secara implisit dengan balutan alur cerita yang emosional dan mendalam, serta dengan dibumbui musik berbahasa Jepang dalam setiap openingnya. 

Jika dilihat melalui teori jarum hipodermik yang dikemukanan Harold Laswell (1971), maka pesan yang terus diulang-ulang menimbulkan efek berupa perubahan sikap, perilaku, ataupun gaya hidup individu atau masyarakat. Maka, saya melihat bahwa seperti itulah maksud tersirat dari Jepang melalui tayangan anime, untuk menanamkan ideologi-ideologi Jepang kepada masyarakat global.

Apa yang telah dicapai oleh Jepang dengan anime-nya membuat Jepang menjadi salah satu negara favorit bagi destinasi pariwisata dunia. Selain itu, dari sisi pengetahuan, Jepang merupakan negara dengan perkambangan riset dan teknologi yang maju. Ini menjadikan Jepang lebih mudah untuk menyebarkan pengaruh kebudayaannnya ke negara-negara berkembang (periferi). Di Indonesia sendiri, pengaruh budaya Jepang begitu kental. 

Terlepas dari Jepang yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 tahun dan menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat pada saat itu, budaya Jepang lebih masif disebarkan melalui media seperti anime, dan melalui kebijakan kerjasama antar negara. 

Kita bisa mengamati sendiri dilingkungan sekitar betapa kebudayaan Jepang telah merasuk ke pikiran kita dengan cara melihat banyaknya masakan atau kuliner Jepang yang beragam (ramen, takoyaki, sushi, mentai), gaya berpakaian, brand-brand Jepang seperti Uniqlo dan Onitsuka, musik-musik, serta bahasa Jepang yang banyak dipelajari. 

Selain itu, pengaruh budaya Jepang yang sangat kuat mengakibatkan sebagian dari kita pasti tumbuh dan berkembang ditemani oleh karakter Doraemon, yang merupakan karaktert favorit anak-anak Indonesia di akhir pekan.

Pengaruh kebudayaan Jepang ini dapat dikategorikan sebagai Imperialisme budaya, yang disampaikan oleh Herbert Schiller (Communication and Cultural Domination) sebagai "memungkinkan media negara maju untuk mendominasi di negara berkembang". Pengaruh imperialisme menjadikan suatu negara kehilangan identitas dan nilai-nilai lokal, dan digantikan dengan budaya global yang dominan. 

Dengan perkembangan teknologi dan usia produktif yang cukup melimpah, apakah Indonesia mampu menyebarkan kebudayaanya kepada masyarakat global melalui kebijakan Indonesianisasi yang merupakan mimpi kita bersama agar Indonesia tidak hanya menjadi konseumen di era global, tapi juga menjadi global player yang tangguh?

Yap, kata Indonesianisasi mungkin sedikit asing di telinga kita. Namun, kata ini telah terdaftar dalam situs kbbi.web.id. Indonesianisasi memiliki arti : proses, cara, per-buatan mengindonesiakan sesuatu; pengindonesiaan. Inti Indonesianisasi jika dikaitkan dengan komunikasi dari analisis saya :

Pertama, melihat bahwa apapun yang kita terima dari media (ideologi, informasi, fenomena, kebijakan politik, ekonomi, sosial), jangan hanyaditerima mentah-mentah, tidak serta merta dipandang hebat, harus dilihat dengan kacamata nilai-nilai lokal Indonesia, apakah itu sesuai atau tidak dengan nilai budaya lokal yang kita pegang. 

Kedua, Indonesianisasi berarti kita tidak menutup diri terhadap budaya global, tidak anti dengan media-media global, akan tetapi memadukan kebudayaan global dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang luhur.

Dari analisis tersebut, sebagai masyarakat, kita perlu menyebarluaskan nilai-nilai lokal Indonesia kepada masyarakat dunia dengan cara menyebarkan konten-konten positif yang menunjukan keunikan dan keberagaman budaya Indonesia melalui berbagai platforms sosial media (YouTube, Instagram, Twitter, Facebook, TikTok). 

Bukan malah sibuk mencari sensasi atau saling hujat demi keuntungan ekonomi. Diluar dari itu semua, peran vital pemerintah sangat dibutuhkan dalam mendukung serta menciptakan kebijakan yang menguntungkan masyarakat lokal dan menjaga keutuhan nilai-nilai budaya Indonesia. Pemerintah perlu membuat grand desain agar Indonesianisasi ini mampu dijalankan dengan baik, supaya kita terjebak menjadi negara konsumen yang terus bergantung terhadap nilai dan budaya dominan.

Sumber Referensi :

Ardian, Heidi Yunan. (2017). KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF IMPERIALISME KEBUDAYAAN. Jurnal PERSPEKTIF Komunikasi UMJ, 1(1). Advance Online Publication.

Kazuaki Nagata. (2010). Anime Makes Japan Superpower. The Japan Times.

JapanTimes

KBBI Web

Goikuzo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun