Mohon tunggu...
Muklis Saputra
Muklis Saputra Mohon Tunggu... Guru - Menjalani profesi sebagai penulis, wirausaha, dan guru

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jul

28 Juni 2024   07:50 Diperbarui: 28 Juni 2024   08:27 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jul masih belum mengerti akan dirinya. Amarahnya berarak kencang saat kenangan itu melanda, bagai beliung yang melaju tanpa arah, menyabet apapun yang dijumpainya. Pria berambut panjang itu memeluk kedua lututnya. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya merah bau anyir menusuk. Juga ada beberapa bercak darah bercecer di wajahnya. Dia tidak menyangka dengan apa yang baru saja dilakukannya. Ia tidak paham maunya sendiri. Ia hanya merasa telah dihianati oleh kehidupan. Matanya menatap kosong, menembus lantai yang digenangi darah.

"Jul, kemari, Nak!" Pria berwajah sayu memanggilnya. Seorang ayah yang cintanya sesejuk embun. Yang begitu erat dengan luka kala bergelut dengan hari demi merayu nafkah. Matanya teduh. Kala memandang dapat menukik telak ke kalbu. Bulir-bulir kasih begitu terasa dari sorotnya.

"Jul, Ayah akan melakukan apapun untukmu. Kamu harus jadi orang hebat, Nak." Telapak tebal menyapu lembut pipi halusnya. Merayapi pundak dan menepuk-nepuknya penuh harap. Berpikir bahwa bahu kecil Jul kelak harus sekuat baja. Mengangkat semua masalah dan mempelantingkannya dalam jurang kekalahan. Bagi pria paruh baya itu, masalah adalah musuh yang harus dikalahkan. Karena kalau tidak, dia dapat menghimpit dada dan mencekik leher hingga tuannya mampus.

"Jul, kamu kenapa, Nak?" Jul tergagap. Lamunannya lebur seketika. Suara itu seolah nyata. Matanya berkeliling mencari sesuatu. Ia menatap langit-langit dapur. Lalu beralih hinggap di tempat lain. Ia bergidik saat ekor matanya menyapu dua manusia terkulai bersimbah darah. Buru-buru ia lempar pandangan. Dia terus menyelidik. Barangkali suara itu benar-benar nyata. Ia harap ada seonggok bayang yang bisa ditanyainya tentang suara yang barusan ia dengar. Suara itu miliknya. Milik pria yang dulu suka menggendongnya di pundak, dan menyanyikan lagu-lagu terbaik negeri ini. Tiab-tiba tubuh Jul kembali menggigil, giginya gemeluk.

***

"Jul itu sudah gila." Kalimat itu sering kali didengarnya. Ia sebenarnya maklum dengan anggapan seperti itu. Ia memang seorang pemarah. Emosinya terserang virus labil kelas wahid. Ia tumbuh menjadi pemuda misterius yang hari-harinya dibasahi minuman perampas kesadaran. Ayahnya digantung warga karena tertangkap basah mencuri ayam seorang warga. Ia menyaksikan sendiri betapa ayahnya berdarah-darah diamuk massa. Sungguh, dia ingin berteriak saat itu. Ia ingin katakan pada manusia-manusia juru keadilan itu bahwa ayahnya orang baik. Ayahnya hanya ingin anaknya makan ayam goreng yang hanya dapat dijumpainya daalm mimpi. Tapi, ia tak berdaya. Tubuh kecilnya dicengkeweng pria kekar hingga ia melihat orang yang begitu sayang padanya berakhir dengan lidah terjulur. Matanya mendelik di penggantungan yang kejam.

Jul yang kemudian diangkat sebagai anak lurah, hidup dalam balutan dendam. Ia bercengkerama sepanjang waktu dengan dendam yang kuat mengakar dalam jiwanya. Terasing dari kehidupan dunia yang indah. Kawannya hanya dendam dan kenangan-kenangan berkesan bersama ayahnya. Ditenggaknya botol demi botol air nista. Ia marah setiap ada yang mendekatinya. Ia mengamuk, meraung dan menerkam siapa saja yang mengusik diamnya. Ia hanya ingin sendiri, tak seorangpun boleh mengganggu.

Jul pernah dihinggapi angin sejuk dari lembah Firdaus. Ia sempat berseteru dengan dendamnya. Akalnya membisikkan kenyataan bahwa dendamnya menghanjurkan hidupnya sendiri. Pelan Jul berubah. Perangai lembutnya mulai kentara. Tuturnya halus, senyumnya malu-malu merekah. Ia mulai bosan dengan alkoholnya. Ia perlahan menghapus keping pahit dari memori otaknya.

Pak Lurah simpati karenanya. Jul dipekerjakan di kantor kelurahan. Jadi tukang kebersihan adalah posisi yang ideal untuk membuang rasa sepinya, juga karena dia memang tidak memiliki keahlian khusus. Jul begitu menikmati, ia merasa hidup kembali. Ia seperti anak katak yang baru pertama kali tahu cara melompat. Jul juga jatuh cinta. Hatinya berbunga saat akhirnya ia dapat menikahi Kamila, yang juga merupakan pegawai kelurahan. Dan dia pun kemudian dipekerjakan di perusahaan milik ayah angkatnya.

Hingga akhirnya, suatu kalimat merubah segalanya. Membuat setan dengan mudah merampas hati Jul. Hingga ia kalap. Dan...........

***

Siang cerah penuh isyarat. Walau mentari gagah bertengger tapi Jul merasa dalam keremangan. Hatinya gundah. Ia ditemui ayahnya dalam mimpi. "Jul, kamu sudah lupa denganku?" Kalimat ayah Jul terus terngiang. Hanya sebaris kata itu yang diucapkannya. Tak ada yang lain sampai tubuhnya raib ditelan kesadaran Jul dari mimpinya.

Jul gontai menyusuri jalan. Syaraf-syaraf pikirnya memaksa untuk dicarikan penyejuk. Ia terus menapaki jalan diiringi bayang-bayang ayah Jul tiada henti. Tergambar jelas bagaimana dulu ayahnya meregang nyawa. Ia seperti seekor kambing kurban yang meronta saat disembelih. Hingga bogem-bogem berkejaran menghantam tubuhnya. Darah segar mengalir. Menganak sungai di lekuk-lekuk kulit tuanya. Matanya, oh matanya. Mengiba untuk dikasihani. Bibirnya bergetar. Lidahnya melolong kesakitan yang tak terperi.

"Ayah, aku semalam mimpi makan ayam goreng." Mulut mungil Jul bertutur lugu. Sang ayah menatap kasih padanya. Ingin ia belikan bocah itu barang sepotong ayam goreng di warung Cak Mani, tapi tak ada sepeserpun uang di kantong. Upahnya sebagai pemecah batu raib entah ke mana. Seingatnya sudah masuk dalam saku celana, tapi saat diraba sudah sirna seketika. Padahal ia belum membayar kontrakan, juga belum beli beras untuk ganjal perut sampai satu bulan ke depan. Dicobanya meminjam pada tetangga, tapi tak ia dapat juga walau selembar Pattimura. Yang ia dapat cibiran kecut dan tatapan hina dari mereka.

Hati pria yang rambutnya cukup beruban itu terasa teriris. Kenyataan telah mempecundanginya. Ia terbanting dan terinjak-injak oleh pahitnya kehidupan. Ia tergilas dan remuk tanpa dapat meraih sesuatu yang dapat dijadikan pegangan untuk berdiri lagi. Uluran tangan? Tangan siapa yang sudi terulur untuk pria sepertinya? Pikirannya kalut. Batinnya terasa seperti terjepit di pegunungan Himalaya.

"Ayah pergi sebentar, Nak. Nanti pulang bawa ayam goreng." Getir rasanya ia ucap kalimat itu. Ayam goreng dari mana? Tapi teriakan girang anaknya memaksa kakinya untuk segera melangkah.

"Horeee................! Akhirnya aku nanti makan ayam goreng." Jul kecil terlihat bersemangat.

"Itu salahku. Tidak seharusnya aku ingin makan ayam goreng." Jul terisak. Dadanya berguncang. Kenangan itu semakin menusuk batinnya. Tubuh ayahnya yang tergantung terasa begitu dekat dengan matanya. Jul semakin kalut. Tangisnya semakin menjadi. Rindunya membuncah dalam sekejap. Rindu yang membuat bibit-bibit dendam dalam jiwanya terbangun dari lelapnya. Jul memegang kepalanya kuat-kuat. Seperti ada jarum yang menacap di otaknya. Dia menjerit.....

***

"Jul, dari mana saja kamu ini?" Jul diam. Ia begitu malas menanggapi pertanyaan isterinya. Ia merasa sangat gugup. Seharian ia bergulat dengan bayang ayahnya. Hingga malam, bayang itu masih sulit ditepisnya. Jul masuk kamar dan menguncinya. Tubuh kurusnya dihempaskan begitu saja di ranjang. Kepalanya masih terasa pening. Ingatannya terus melayang menyusuri masa lalunya. Membuat jiwanya lapuk terserbu rintik-rintik dendam.

"Sayang, ayo kita lakukan! Jul sedang tugas malam, kan?" Sayup terdengar suara dari luar. Tidak terlalu jelas di telinga Jul, tapi ia sangat mengenal suara itu. Ia beranjak dari pembaringan. Berusaha ditepisnya pening yang bercokol di kepalanya. Dibukanya sedikit pintu kamarnya agar matanya bisa menyapu lepas ke luar kamar. Dan ekor matanya mendapati sebuah pemandangan di dapur. Sesuatu yang hampir-hampir mustahil bagi Jul.

"Sstttt.... Jul ada di rumah. Jangan lakukan ini!" Isteri Jul meronta.

"Ah, jangan bergurau! Aku yang mengatur jadwal kerja Jul. Sudahlah, aku sudah tidak tahan, aku sangat merindukanmu." Pria di luar mendekap erat tubuh isteri Jul. Ia tampak kalap oleh birahi.

Jantung Jul terasa ingin meloncat. Ia sama sekali tidak menduga bahwa selama ini dia terbuai oleh muslihat. Kenyataan di depan matanya adalah alasan kenapa ia  diperkerjakan di malam hari. Jul kalut. Tubuhnya terserang demam seketika. Aliran darahnya seperti tersumbat tembaga. Setan-setan melolong kuat di lembah amarah. Membuat giginya gemeretak menahan darah yang berarak bak tsunami. Jul....

***

Jul tidak juga menemukan apa yang dia cari. Suara itu memang terdengar sangat nyata, tapi pemiliknya tiada juga ia temukan wujudnya. Jul kembali menggigil. Tubuhnya basah oleh keringat dan percikan darah. Matanya nanar. Hatinya menjerit-jerit kesakitan. Ia merintih ketakutan. Bayang ayahnya timbul-tenggelam di pelupuk matanya. Ia berusaha menyembunyikan pandangan, mencoba menghindari dua onggok manusia yang tergeletak bersimbah darah di depannya. Dua mayat yang sangat dia kenal, isterinya dan pria yang telah mengangkatnya sebagai anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun