Maaf sebelumnya, kalau tulisan saya terkesan agak emosional nantinya. Semua ini karena berawal dari sebuah temuan-temuan saya pribadi. Bukan sebuah penelitian empiris, sebab memang tidak ada data-data empiris. Jadi ini hanya pendapat pribadi. Yang setuju mari introspeksi bersama, yang tidak setuju saya tidak memaksa. ^^
Temuan pertama. Jadi ceritanya begini, kemarin malam saya nonton sebuah program, yang judulnya saya sensor..pokoknya isinya tentang monolog lawakan deh. Temanya tentang pendidikan. Lalu ada seorang pelawak kelas nasional yang mengatakan bahwa murid itu sebenarnya jauh lebih pintar dari guru. Dia bilang coba guru selalu bertanya kepada murid, dan harus bisa, lalu muridnya diminta mengerjakan soal, sementara gurunya tidak, diam saja. Lalu tugas guru kan membenarkan mengapa malah menyalahkan? Aah, pokoknya pencintraan guru dibuat dodol, kacau, berantakan, dan tidak manusiawi.
Temuan kedua. Mumpung masih anget tentang isu ujian nasional, maka saya angkat, plus untuk men-counter- isu-isu miring tentang guru/pengawas ujian. Sebab kemarin malam juga, di stasiun swasta nasional, menyinggung perihal ujian nasional. Dibahas tentang siswa yang bisa nyontek alias dapet bocoran. Lalu muncul peratanyaan, mana pengawasnya. Jadi intinya, tetap yang salah adalah guru. Saya boleh kasih alasan, mengapa pengawas selalu "kecolongan" sama siswa seperti itu? Begini ya:
- Asal tahu saja, pengawas silang sebelum mengawas sudah dikumpulkan, diberi pengarahan oleh sekolah-sekolah yang akan diawas ujiannya. Mereka diberitahu bahwa pengawas tidak boleh mengganggu psikologis siswa. Peraturannya, pengawas tidak diperkenankan mondar-mandir alias jalan-jalan ke meja-meja siswa. Pengawas duduk manis saja di bangku yang telah disediakan oleh panitia ujian nasional di sekolah setempat. Itu sama artinya dengan ruang gerak pengawas dibatasi, silakan berpikir sendiri kalau sudah begitu.
- Pengawas diberikan kewajiban administratif yang tidak sedikit. Menuliskan nama siswa sebanyak tiga rangkap (satu kelas ssiwa berjumlah 20), lalu mengisi berita acara yang juga tiga rangkap, mengisi pakta integritas dua rangkap, dan mengedarkan presensi siswa.Itu semua atas instruksi lembaga pendidikan tingkat tinggi. Nah, kalau tugas pengawas banyak seperti itu, maka konsentrasi pengawas akan terbagi bukan? lalu apa yang akan terjadi saat pengawas sedang sibuk menulis tugas administratif seperti? bukankah itu sebuah kesempatan bagi siswa untuk melakukan aksinya.
Lantas yang seperti itu dijadikan bahan pembicaraan media. Dengan gamblang dan vonisan keji mengatakan bahwa pengawas seolah-olah memberi kesempatan siswa untuk melakukan aksi contek-mencontek, pengawas teledor, dan sebagainya.
Temuan ketiga. Dunia pendidikan di Indonesia sedang terpuruk. Banyak sekali oknum guru yang melakukan tindakan tak bermoral, seperti pelecehan inilah, itulah, memukul muridlah..dan bla..bla..blaa..tapi hey!!! lihatlah itu hanyalah segelintir guru. Coba lihat, masih banyak guru bermoral di Indonesia, mengajar tulus dan tanpa mengharap pamrih di pelosok negeri. Tapi sayang sekali yang seperti itu? Tidak diblow-up!! Dan kalian tahu, betapa Indonesia memiliki putra-putri terbaik dalam olimpiade ilmu pengetahuan, bukankah itu ada kehebatan seorang guru di belakangnya? Tapi tak pernah diblow-up. Ya mungkin benar, bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Memang tak perlu dibahas-bahaslah kebaikan para guru itu, nanti amalnya bisa hilang. Tapi bukan berarti keburukan yang dilakukan oknum guru menjadi sesuatu yang digeneralisir.
Coba kita ingat, berapa banyak dari kita yang kalau reuni atau kumpul-kumpul menceritakan kebaikan guru-guru kita? Bukankah yang sellau kita gembar-gemborkan adalah kekurangan yang dimiliki oleh guru tersebut? kealpaannya, kegalakannya, dan lainnya. Manusiawi mungkin, tapi lihat apa yang terjadi hari ini? ketika penghargaan pada guru tidak ada? ujian nasional berantakan, adalah ujian diundur karena sola belum selesai dicetak, adalah bocoran beredar di mana-mana, maaf mungkin terlalu berlebihan kalau saya katakan itu akibat negara ini kurang adanya perhatian pada guru.
Temuan keempat. Parahnya lagi, berapa banyak sinetron di Indonesia yang membuat imaji seorang guru yang aneh. Kolot, pemarah, galak, tidak bisa dibantah, dandaan kuno, dan beberapa image bodoh lainnya. Apakah begitu cara menghormati orang yang pernah memberinya ilmu? Maka tidaklah berlebihan jika negara ini muncul generasi-generasi yang hilang.
Entahlah,..saya prihatin dengan keadaan ini. benar, kebetulan profesi saya juga guru, benar, saya memang terpaksa menjadi guru, ketika kemampuan saya cuap-cuap di depan khalayak dan hanya itu yang saya bisa. Daripada sekedar cuap-cuap tak berbekas, maka saya putuskan cuap-cuap dengan sedikit berbagi. Namun bukan berarti tulisan yang saya buat ini sekedar luapan emosional semata. Saya sadar sekali memutuskan berprofesi menjadi guru sama dengan siap makan hati, ya model gini ini nih. belum urusan keuangan yang pastinya berbeda dengan karyawan yang lain. Tapi bukan itu yang saya persoalkan. Yang saya persoalkan adalah ternyata sebagian besar dari kita tidak tahu bagaimana caranya bersikap baik pada orang yang menjadi tulang punggung sebuah negara. Hello..ketika bom atom menyerang Jepang, setelahnya Kaisar bertanya, "Berapa jumlah guru yang selamat?" Yang ditanya bukan tekhnokrat, bukan dokter, bukan artis apalagi, juga bukan wartawan yang mengabarkan informasi kepada dunia. Bukan mereka, tapi guru!!! lantas bagaimana di Indonesia?
Lupakan saja lagu hymne guru yang dibait awalnya "Terpujilah wahai engkau ibu-bapak guru...bla..bla..blaaa......" lupakan! itu adalah bait-bait verbalis.
Temuan kelima. Saya tidak sepakat dengan ungkapan dari seorang public figure. Dia mengatakan bahwa guru pintar itu wajar, sebab ia hanya mempelajari satu mata pelajaran, sementara siswa harus mempelajari lebih dari sepuluh mata pelajaran. Tok..tok..tok..hallo..?? awalnya guru juga melalui berbagai proses pahit seperti yang siswa rasakan. Harus melalui berbagai macam mata pelajaran baik yang disukai ataupun yang tidak disukai, lantas semakin hari semakin mengecurutlah. Kelak bukankah para siswa juga seperti itu? pesulap begitu mahir dengan atraksi-atraksinya, kenapa? karena ia sudah terspesialisasi. Jadi hal tersebut tak bisa dijadikan bahan perbandingan.
Temuan berikutnya, tahukah kalian orang tua jaman sekarang begitu luar biasanya membela anaknya jika ia bermasalah dengan gurunya. Saya ingat, jaman saya sekolah, saya juga pernah dibentak oleh guru saya hanya karena saya gagap matematika, mungkin bagi saya hanya--tapi itulah cara guru saya agar saya mengerti matematika, dan tak pernah secuilpun saya mengadu pada orang tua kalau hari itu saya dibentak oleh guru saya, sebab sudah pasti orang tua akan tetap menyalahkan saya. Nah, tapi lihat..hari ini...ada orang tua yang dengan berani mengadu pada wali kelas anaknya kalau guru X diganti saja, sebab tidak benar, mendidik kok pakai membentak! nah itulah orang tua sekarang, menitipkan anaknya pada guru, tapi tidak mempercayakan proses pendidikan yang gurunya lakukan. Protes besar hanya karena urusan bentak-mmbentak, apalagi kalau sampai lebih dari itu.
Pendidikan di Indonesia mulai kehilangan ruh, dan tak tahu arahnya akan dibawa kemana. Maka tak heran bahwa departemen yang menaungi pendidikan masuk ke dalam departemen paling korup kedua setelah departemen..... kacau kan? ketika ijazah mulai banyak diperjualbelikan, ketika orang hanya bangga dengan gelar-gelar yang mereka miliki dibanding kompetensi, ketika orang senang pamer dengan tingginya tingkat pendidikan mereka (padahal semakin tinggi padi harusnya semakin menunduk) jangan heran mungkin ini kesalahan kita bersama. Belum lagi masalah pembodohan yang tersistematis, bongkar pasang kurikulum, siswa dijadikan kelinci percobaan, sekolah mahal, dan seabgreg permasalah pendidikan. Dunia pendidikan yang suram, maka tidak terlalu berlebihan..ketika saya bertanya, sebenarnya guru itu mencetak orang model apa? yang pasti seperti lingkaran setan dalam dunia pendidikan.
Mungkin ada yang tidak tepat dalam hal mendidik, bisa jadi ada formula yang tidak pas. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Bapak-Ibu guru, mungkin ini ada yang salah dalam cara kita mendidik putra-putri bangsa. Ada evaluasi besar-besaran yang harus para guru lakukan, mungkin dengan terlalu memanjakan siswa, terlalu banyak excuse dengan siswa, atau mungkin juga karena terlalu keras pada siswa. Entahlah..ini hanya kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Juga untuk kita yang pernah/sedang menjadi murid, juga introspeksi besar. Bisa jadi mungkin karena kita yang tidak tahu/bisa bagaimana caranya menghargai seorang guru, membedakan guru dengan orang tua, dendam ketika kita mendapat perlakuan tidak enak dari guru tersebut, padahal asal tahu saja perlakuan buruk yang kita terima dari guru masih jauh lebih baik daripada perlakuan rival kerja kita nanti. Tak ada satupun guru yang memiliki semangat mendepak muridnya keluar dari sekolah, segalak apapun guru itu. Namun di dunia kerjaan yang serba gila, pastilah semangat mendepak, menyingkirkan akan kita dapatkan.
Sejatinya belajar di sekolah bukan hanya belajar pada deretan angka dan menghafal sejumlah teori. Tapi juga belajar bagaimana memperlakukan seseorang yang sepatutnya.Entah itu murid atau guru. Sekolah adalah tempat belajar bersama. Belajarna murid dan belajarnya guru. Alangkah indahnya jika terjadi situasi harmoni seperti itu, tentunya coreng moreng wajah pendidikan di negara tercinta kita tidak akan terjadi. Jadi entahlah..semua kepedihan di dunia pendidikan ini apakah salah guru atau salah bersama. Jawabnya mungkin, karena kita terlalu banyak mengadopsi pendidikan ala barat yang materialis, sehingga segi-segi pembangunan ahlaq sering kita lupakan, maka beginilah akibat yang kita rasakan.
Allahualambishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H